Sirah Nabawiyah

Kisah Wafatnya Umar bin Abdul Aziz di Bulan Rajab dan Wasiat Terakhirnya

Sab, 19 Februari 2022 | 04:00 WIB

Kisah Wafatnya Umar bin Abdul Aziz di Bulan Rajab dan Wasiat Terakhirnya

Umar bin Abdul Aziz. (Foto: NU Online)

Bulan Rajab mengingatkan pada salah satu peristiwa duka pada masa Dinasti Umayyah. Sebab, salah seorang khalifah terbaiknya, Umar bin Abdul Aziz, meninggal dunia. Kehidupannya yang jauh dari glamor kerajaan, membuat Umar enggan menggunakan fasilitas negara, bahkan tak meninggalkan banyak harta untuk diwarisi putra-putranya.


Khalifah kedelapan Dinasti Umayyah ini wafat pada tanggal 25 Rajab tahun 101 H di Deir Sam’an yang termasuk wilayah Provinsi Homs, Suriah. Ia meninggalkan empat belas orang putra. Posisinya sebagai khalifah kemudian digantikan oleh sepupunya, Yazid bin Abdul Malik (Dr. Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif, Al-‘Alamul Islami fil ‘Ashril Umawi Dirasah Siyasiyyah, [Halab: Darussalam, 2008], h. 163)


Para ulama berbeda pendapat mengenai faktor kematiannya. Imam Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Niahayah menjelaskan bahwa penyebabnya adalah karena mengidap Tuberkulosis (TBC), salah satu penyakit yang mematikan. Adapula yang mengatakan sang khalifah diracun oleh salah seorang budak miliknya. (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Niahayah, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2015], juz V, h. 222)


Ibnu Katsir mengisahkan, seorang budak mencampuri racun pada makanan atau minuman Umar demi bayaran sebesar seribu dinar. Sebelum meninggal, Umar bertanya kepada si budak, “Celaka! Apa yang mendorongmu untuk melakukan ini?” Budak menjawab, “Aku dibayar seribu dinar untuk melakukannya dan dijanjikan akan dibebaskan.” Kendati demikian, Umar tidak marah. Ia justru menyuruh budak tersebut untuk melarikan diri agar nyawanya selamat.


“Pergilah agar tidak ada orang yang melihatmu dan nyawamu selamat,” pinta Umar. (Ibnu Katsir, juz V, h. 222)


Lain lagi dengan sejarawan kontemporer Abdussyafi yang mengritik bahwa riwayat yang mengatakan Umar dibunuh karena diracun oleh budaknya adalah dusta. Ia berpendapat, kematian Umar disebabkan karena dia terlalu memforsir tenaganya untuk mengurusi rakyat, sering begadang untuk mengurusi negara, serta pola makannya tidak teratur karena kesibukannya tersebut. (Dr. Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif, h. 162-163)


Begitu merasa usianya tidak lama lagi, Umar meminta untuk didudukkan, “Dudukkanlah aku.” Setelah didudukkan, Umar berkata, “Duhai Tuhanku, Engkau menyuruhku beribadah, tapi aku lalai. Engkau pun melarangku berbuat dosa, tapi aku tak patuh.” Ia mengatakan demikian sampai tiga kali. “Tapi, tidak ada Tuhan selain Allah,” sambungnya.


Lalu ia menengadahkan wajahnya ke atas dengan tatapan yang tajam. Orang-orang di sekitarnya heran dan berkata, “Pandanganmu begitu tajam, wahai amirul mukminin.” Umar menjawab, “Aku melihat ada yang datang, ia bukan dari bangsa manusia atau jin.” Seketika itu pula ia menghembuskan napas terakhir. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. (Ibnu Katsir, juz, V h. 223)


Dalam riwayat lain dijelaskan, menjelang kewafatannya, Umar meminta untuk ditinggal sendirian di kamar. “Keluarlah, tinggalkan aku sendiri,” pinta sang khalifah pada orang-orang di sekitarnya. Mereka pun keluar, sementara Maslamah bin Abdul Malik dan saudara perempuannya, Fathimah, menunggu di pintu.


Dari luar, orang-orang mendengar Umar berkata, “Selamat datang wahai sosok (malaikat) yang bukan dari bangsa manusia ataupun jin.” Lalu ia membaca Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 83 yang berbunyi:


تِلۡكَ ٱلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ نَجۡعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوّٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فَسَادٗاۚ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلۡمُتَّقِينَ  


Artinya: “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash [28]: 83)


Setelah itu suara Umar tidak terdengar lagi. Orang-orang pun masuk dan mendapati kedua matanya sudah terpejam dalam keadaan menghadap arah kiblat. Sang khalifah berpamit untuk selamanya. (Ibnu Katsir, juz, V h. 223)


Wasiat terakhir

Sebelum kewafatannya, seseorang berkata kepada Umar, “Itu mereka anak-anakmu (ada dua belas). Berilah mereka wasiat terakhir, sungguh mereka semua adalah orang-orang yang fakir.” Lantas Umar membaca Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 196 yang berbunyi:


إِنَّ وَلِـِّۧيَ ٱللَّهُ ٱلَّذِي نَزَّلَ ٱلۡكِتَٰبَۖ وَهُوَ يَتَوَلَّى ٱلصَّٰلِحِينَ  


Artinya: “Sesungguhnya pelindungku ialah Yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang shalih.” (QS. Al-A’raf [7]: 196)


“Demi Allah, saya tidak akan memberikan hak orang lain untuk anak-anakku. Tinggal mereka memilih, mau menjadi orang shalih atau sebaliknya. Jika menjadi orang shalih, maka Allah akan menjaganya. Tapi jika tidak, aku tidak akan menjamin mereka terhindar dari perbuatan maksiat,” kata Umar menandaskan. 


Dari kisah wasiat Umar di atas, tampak bahwa meski menjabat sebagai khalifah, kehidupannya sangat sederhana. Saking sederhananya, sampai-sampai ia tidak meninggalkan banyak harta warisan hingga dikatakan anak-anaknya dalam keadaan fakir. Sepanjang hidupnya, Umar dikenal sebagai sosok khalifah yang zuhud, bahkan ia tidak mau menggunakan fasilitas pemerintahan yang sebenarnya adalah haknya sebagai pemimpin nagara.


Selain seorang yang zuhud, Umar juga diakui sebagai sosok yang menguasai ilmu agama cukup mendalam sampai dijuluki ‘allamah (orang yang sangat pandai) dan mujtahid (orang yang cakap berijtihad). Sejumlah ulama ternama seperti Sufyan ats-Sauri dan Jalauddin as-Suyuti sampai menyebutkan bahwa Umar merupakan khulafaur rasyidin kelima setelah Ali bin Abi Thalib.


Imam Adz Dzahabi dalam kitabnya, Siyaru A’lamin Nubala, berkata tentang Umar dengan menyebut sederet gelar panjang yang menunjukkan betapa agung kedudukannya:


الإمام الحافظ العلامة المجتهد الزاهد العابد السيد، أمير المؤمنين حقًّا، أبو حفص القرشي الأموي المدني ثم المصري، الخليفة الراشد، أشج بني أمية.


Artinya: “Sang imam, sang hafidz, sang ‘allamah, sang mujtahid, sang zahid, sang ahli ibadah, sang sayyid, amirul mukminin sejati, Abu Hafsh al-Qursyi al-Umawi al-Madani al-Mishri, sang kahlifah  cerdas, dan Bani Umayyah yang paling dicintai.” (Adz Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala, [Beirut: Mu’assasah Ar-Risalah, 1982], juz V, h. 114).


Penulis: Muhamad Abror

Editor: Fathoni Ahmad