Sirah Nabawiyah

Mengapa Abrahah Kalah tapi Qaramithah Menang saat Serang Ka’bah?

Jum, 24 Juni 2022 | 11:30 WIB

Mengapa Abrahah Kalah tapi Qaramithah Menang saat Serang Ka’bah?

Ka'bah tempo dulu. (Foto: C. Snouck Hurgrounje)

Dalam perjalanan sejarah, Ka’bah tidak luput dari sentuhan orang-orang jahat yang berniat buruk untuk menghancurkannya. Sebut saja pasukan Abrahah dan tentara Qaramithah, keduanya memiliki catatan hitam berkaitan dengan bangunan yang sekaligus menjadi kiblat umat Muslim itu. Meski keduanya sama-sama menyerang Ka’bah, tapi ending-nya berbeda.


Dikisahkan, Abrahah telah membangun gereja Al-Qullais di Shan’a, Yaman. Ia kemudian terinspirasi dengan bangunan Ka’bah yang memiliki magnet begitu kuat hingga mampu mengundang orang-orang beribadah. Singkat kisah, setelah menyiapkan pasukan dan persenjataan lengkap berikut gajah-gajah sebagai tunggangannya, ia bertolak ke Makkah untuk menghancurkan Baitullah.


“Dengan musnahnya Ka’bah, orang-orang pasti akan menjadikan Al-Qullais sebagai pusat ibadah yang mendunia,” pikir Abrahah.


Setibanya di Makkah, tentara Abrahah yang terkenal perkasa dengan batalion gajahnya itu tak sedikit pun mampu menyentuh Ka’bah. Bahkan Allah swt mengirim bala tentara Ababil yang membawa batu-batu api dari neraka untuk menghujani pasukannya.


Ibnu Hisyam dalam As-Sîrah an-Nabawiyah melaporkan, bentuk serombongan Ababil itu mirip burung layang-layang hitam dan burung jalak. Tiap-tiap burung membawa batu kecil seukuran biji kacang: dua batu di kedua kaki dan satu lagi di paruh. Butiran batu itu menghujani tentara Abrahah hingga binasa. Peristiwa ini kemudian diabadikan dalam Al-Qur’an surat Al-Fil. (Ibnu Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyah, 1985: juz 1, h. 40)


Menurut pendapat yang sahih, peristiwa ini terjadi pada Muharram atau Februari 570 M. Tepat 50 hari setelah itu Nabi Muhammad saw lahir. (Shalih ‘Abduh al-Barkani, Al-Umam al-Hâlikah fil Yaman, 2018: h. 247)


Pada tahun 317 H/ 886 M Ka’bah kembali menjadi sasaran amuk. Kali ini dari pasukan Qaramithah yang dipimpin oleh Abu Thahir. Berbeda dengan Abrahah, pasukan Abu Thahir tidak merasakan ‘kualat’ apa-apa sebagaimana dulu dialami Abrahah.


Qaramithah berhasil meluluhlantakkan kota suci Makkah: menjarah dan membantai banyak penduduk Makkah termasuk jamaah haji, merusak Ka’bah, bahkan Hajar Aswad ia curi dan baru dikembalikan lagi 22 tahun kemudian. Para sejarawan menyebut peristiwa Tragedi Qaramithah (Fitnatul Qaramithah).


Dengan congkak Abu Thahir merasa berbangga dengan aksinya itu. “Saya dengan Allah dan Allah bersama saya. Dialah yang menciptakan makhluk-makhluk, dan sayalah yang akan membinasakan mereka,” katanya jumawa. Dia juga dengan angkuh menantang tentara Ababil yang dulu menghancurkan Abrahah. “Mana burung-burung Ababil itu?! Mana batu-batu yang katanya dari nekara Sijjil itu? Hah!”


Seorang ahli hadits yang menjadi saksi sejarah berdarah itu menyenandungkan syair duka,


ترى المحبّينَ صرعى في ديارهُمُ # كَفِتْيَةِ الكَهْفِ، لا يَدرونَ كمْ لَبِثوا


Artinya, “Engkau melihat para kekasih dibantai di rumah-rumah mereka sendiri. Laksana Ashabul Kahfi yang tidak tahu berapa lama mereka tertidur di dalam gua.” (Ibnu Kastsir, Al-Bidayah wan Niahayah, 2015: juz XII, h. 172-173)


Hikmah peristiwa

Membandingkan dua kisah penyerangan di atas pasti menyisakan pertanyaan besar bagi pembaca. Keduanya sama-sama menyerang Ka’bah, tapi mengapa berakhirnya beda. Tentara Abrahah kalah sementara Qaramithah menang dan mulus melancarkan amukkannya.


Lebih jauh lagi, bukankah kondisinya seharusnya terbalik: Abrahah yang menang dan Qaramithah yang kalah. Mengingat dari sisi akidah masing-masing. Abrahah beragama Nasrani sehingga lebih mulia dari Qaramithah yang, sebagaimana disebutkan Ibnu Katsir, kafir sekaligus zindiq. Bahkan dikatakan mereka adalah kaum penyembah berhala.


Saat Abrahah menyerang Ka’bah, konteksnya adalah menjelang kelahiran Nabi Muhammad saw, kurang lebih 50 hari setelahnya. Sebagai bentuk penghormatan kepada Baginda Nabi, Allah swt menggagalkan aksi Abrahah dengan cara yang menakjubkan, yaitu mengutus tentara Ababil yang membawa kerikil-kerikil api dari neraka.


Alasan ini akan semakin kuat jika kita melihat dari sisi akidah. Abrahah beragama Nasrani sedangkan penduduk Makkah adalah musyrik penyembah berhala. Tentu, semestinya kaum Nasrani sebagai Ahlul Kitab lebih mulia secara teologis dibanding orang-orang musyrik. Karena Abrahah lebih mulia secara akidah, seharusnya dia yang menang, bukan penduduk Makkah. 


Akan tetapi, Allah sengaja memberi kemenangan pada pihak Makkah bahkan tanpa harus melakukan perlawanan. Tidak lain hal ini karena Allah swt ingin melindungi tempat suci yang menjadi tempat kelahiran Nabi tidak lama setelah peristiwa tersebut. Dalam diskursus Islam peristiwa ini dinamakan irhâsh, yaitu hal menakjubkan yang menjadi pertanda akan diutusnya Nabi.


Berbeda saat Qaramithah menyerang. Saat itu syariat Islam sudah mapan dan keimanan masyarakat Makkah sudah cukup kuat. Dari realita ini kita menemukan bisa dua alasan mengapa seolah tidak ada ‘kualat’ apapun yang menimpa kelompok perusuh saat membuat onar di Tanah Suci.


Pertama, tidak ada lagi nabi yang  muncul setelah tragedi Qaramithah mengingat Nabi Muhammad adalah utusan terakhir. Sehingga, tidak ada alasan bagi Allah melindungi Ka’bah demi memuliakan calon nabi sebagaimana dulu dialami Abrahah.


Kedua, status penduduk Makkah yang sudah Muslim dan mapan secara akidah menjadi alasan berikutnya mengapa Allah membiarkan kemenangan pada pihak Qaramithah. Semua ini dilakukan untuk menguji keimanan umat Muslim bahwa kendati Qaramithah menang, tetapi semua itu hanya di dunia, sedangkan di akhirat mereka akan mendapat balasan lebih pedih.


Kemudian, dengan bekal keimanan yang sudah mantap, tanpa Allah menghancurkan Qaramithah seketika itu juga, umat Muslim sudah paham melalui ajaran agama yang mereka yakini selama ini bahwa Qaramithah berada di pihak yang salah dan terkutuk, tanpa harus Allah tampakkan murka-Nya di dunia.


Sengaja Allah memberikan istidraj pada pasukan yang dipimpin Abu Thahir itu. Istidraj adalah pembiaran terhadap pelaku maksiat, mereka tidak merasa berdosa akibat perbuatan zalimnya sehingga membuatnya semakin tenggelam dalam kemaksiatan. 


Berbeda saat tragedi Abrahah. Saat itu penduduk Makkah masih musyrik dan belum memiliki wawasan tentang siksa neraka bagi orang-orang yang zalim. Sehingga, untuk membuktikan bahwa Abrahah bersalah, seketika itu juga Allah menghancurkan si pasukan perusuh. Dengan begitu, orang-orang musyrik paham bahwa kebenaran berada di pihak mereka. (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Niahayah, 2015: juz XII, h. 173-174)


Penulis: Muhamad Abror

Editor: Fathoni Ahmad