Sirah Nabawiyah

Rasulullah dan Baitul Maqdis sebagai Titik Temu Perdamaian

Sen, 31 Mei 2021 | 04:30 WIB

Rasulullah dan Baitul Maqdis sebagai Titik Temu Perdamaian

Masjidil Aqsa di Yerusalem Timur.

Baitul Maqdis di Yerusalem menjadi titik pertemuan antara agama-agama samawi, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Baitul Maqdis juga menjadi kiblat pertama umat Islam sebelum Rasulullah SAW memindahkannya ke Masjidil Haram, Makkah pada hari Selasa pertengahan bulan Sya’ban.


Ironisnya saat ini, Baitul Maqdis yang menjadi kiblat bersama tidak cukup menjadikan Palestina dan Israel berdamai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Israel dengan sumber daya dan kekuatannya terus melakukan pendudukan, pencaplokan, perluasan wilayah, dan blokade terhadap wilayah Palestina. Bukan hanya itu, Israel juga melakukan pengusiran warga Palestina dari rumahnya sehingga kerap memicu Hamas untuk menembakkan roket ke Israel.


Baru-baru ini peperangan terjadi di Jalur Gaza antara pihak Hamas dan tentara Israel. Pemicunya ialah berawal dari pengusiran 28 keluarga Palestina dari lingkungan Sheikh Jarrah, Yerusalem yang dilakukan Israel untuk perluasan pemukiman Yahudi. Di Palestina sendiri, faksi Hamas dan faksi Fatah belum bisa bersatu sehingga cukup menyulitkan bagi perjuangan kedaulatan itu sendiri.


Sebelum Hamas dan Israel melakukan gencatan senjata, setidaknya 254 warga Palestina, termasuk 66 anak-anak dan 39 wanita, meninggal dan lebih dari 1.900 terluka dalam 11 hari serangan besar-besaran Israel di Jalur Gaza, menurut otoritas kesehatan Palestina. Akibat tembakan roket Palestina dari Jalur Gaza, 13 warga Israel juga tewas. Serangan tersebut baru berhenti pada Jumat, 21 Mei 2021 di bawah perjanjian gencatan senjata yang diajukan Mesir.

 


Peperangan berakibat kepiluan dan kondisi tragis terhadap kesia-siaan nyawa manusia yang hilang cuma-cuma. Sebab itu, Nabi Muhammad mencontohkan sebuah diplomasi damai dengan mengedepankan titik temu, bukan memperuncing perbedaan yang hanya akan menambah konflik berkepanjangan.


Dijelaskan oleh Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (1980), Rasulullah dahulu melaksanakan kebijakan politik tingkat tinggi dengan mewujudkan “Persatuan Yatsrib” mengingat konflik antar-kabilah atau suku yang berlangsung  selama 120 tahun. Nabi Muhammad juga meletakkan dasar kenegaraan dalam Piagam Madinah itu dengan mengadakan persetujuan dengan pihak Yahudi atas landasan musyawarah dan persekutuan yang erat.


Kaum Yahudi menyambut baik Nabi Muhammad atas tujuannya menyatukan masyarakat Yatsrib. Nabi Muhammad bermusyawarah dengan para kepala suku Yahudi yang selama ini lekat dengan konflik. Baik dari Suku Quraiza, Suku Nadir, dan Suku Qainuqa. Begitu juga dengan kaum Nasrani.


Semua pembesar suku didekatkan oleh Nabi Muhammad. Dasar Nabi Muhammad sederhana karena mereka Ahli Kitab dan kaum monoteis. Lebih dari itu, kaum Muslimin berpuasa dan mereka juga ikut berpuasa karena ajaran umat-umat terdahulu. Bedanya, umat Islam telah disyariatkan dengan jelas oleh Nabi Muhammad.

 


Dari sisi kiblat, pada waktu itu kiblatnya dalam shalat masih sama ke arah Baitul Maqdis, titik perhatian mereka, tempat terkumpulnya keluarga Israil. Dijelaskan oleh Husain Haekal, persahabatannya dengan pihak Yahudi dan persahabatan pihak Yahudi dengan Nabi Muhammad makin hari makin erat.


Kewibawaan Nabi Muhammad begitu jelas terlihat di depan masyarakat Yatsrib karena penuh dengan akhlak mulia, sangat rendah hati, sarat dengan kasih sayang, selalu memenuhi janji, sifatnya yang pemurah, selalu terbuka dengan fakir miskin, dan selalu hadir bagi orang yang hidup menderita.


Nabi Muhammad berhasil menyatukan masyarakat Madinah dengan ikatan perjanjian persahabatan dan persekutuan serta menetapkan kebebasan beragama. Namun, Nabi Muhammad sesuai musyawarah juga menetapkan hukuman bagi siapa saja, dari kaum mana pun, dan dari suku apapun yang melanggar kesepakatan dalam Piagam Madinah.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon