Sirah Nabawiyah

Kaum Yahudi Madinah pada Zaman Nabi Muhammad

Ahad, 30 Mei 2021 | 09:45 WIB

Kaum Yahudi Madinah pada Zaman Nabi Muhammad

Ilustrasi masyarakat Madinah zaman dulu. (Foto: islamic-center.or.id)

Kota Yatsrib (Madinah) sebelum kedatangan Nabi Muhammad dan para sahabatnya merupakan daerah yang penuh konflik antar-suku. Terutama dua suku besar kala itu, yakni Suku ‘Aus dan Suku Khazraj. Bak air dan minyak, dua suku tersebut tidak pernah akur dan berkonflik sepanjang tahun.


Salah satu dorongan hijrah Nabi Muhammad dan para sahabatnya ke Yatsrib ialah menyatukan seluruh masyarakat di negeri Madinah. Sebelumnya Nabi Muhammad yang tersohor dengan kejujuran dan akhlak mulianya diminta oleh beberapa warga Yatsrib yang bosan dengan konflik untuk menyatukan dan memberi kedamaian.


Nabi Muhammad pun diterima dengan baik oleh warga Yatsrib, terutama oleh para sahabat Anshar yang memang sudah mengikuti ajaran Nabi Muhammad. Ia dan para sahabatnya tidak memaksakan agama Islam kepada penduduk Madinah yang memang dari awal sudah dikenal majemuk (beragam, plural). Ada kaum Muslim, Nasrani, dan Yahudi.


Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (1980: 220) menjelaskan, sebelum memulai langkah untuk menyatukan masyarakat Madinah, tentu saja Nabi Muhammad terlebih dahulu menyatukan umat Islam, yaitu kaum Muhajirin dan Anshar. Sebab, di tengah upayanya tersebut, ada beberapa kaum munafik yang berupaya menciptakan konflik antara kaum Muhajirin dan Anshar serta menjerumuskan kaum Muslimin ke dalam peperangan antara Suku ‘Aus dan Khazraj.

 


Upaya kaum munafik tersebut berhasil dibaca oleh Nabi Muhammad sehingga kaum Muslimin tidak terjebak dan terjerumus dari upaya-upaya jahat itu. Kemudian Nabi Muhammad merangkul seluruh kaum dan mengikatnya dalam sebuah konsensus negeri Madinah, yakni Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah).


Diceritakan oleh Husain Haekal, Nabi Muhammad melaksanakan kebijakan politik tingkat tinggi dengan mewujudkan “Persatuan Yatsrib”. Nabi Muhammad juga meletakkan dasar kenegaraan dalam Piagam Madinah itu dengan mengadakan persetujuan dengan pihak Yahudi atas landasan musyawarah dan persekutuan yang erat.


Kaum Yahudi menyambut baik Nabi Muhammad atas tujuannya menyatukan masyarakat Yatsrib. Nabi Muhammad bermusyawarah dengan para kepala suku Yahudi yang selama ini lekat dengan konflik. Baik dari suku Quraiza, Suku Nadhir, dan Suku Qainuqa. Begitu juga dengan kaum Nasrani.


Semua pembesar suku didekatkan oleh Nabi Muhammad. Dasar Nabi Muhammad sederhana karena mereka Ahli Kitab dan kaum Monoteis. Lebih dari itu bahwa ketika kaum Muslimin berpuasa, mereka juga ikut berpuasa karena ajaran umat-umat terdahulu. Bedanya, umat Islam telah disyariatkan dengan jelas oleh Nabi Muhammad.

 


Dari sisi kiblat, pada waktu itu kiblatnya dalam shalat masih ke arah Baitul Maqdis, titik perhatian mereka, tempat terkumpulnya keluarga Israil. Dijelaskan oleh Husain Haekal, persahabatannya dengan pihak Yahudi dan persahabatan pihak Yahudi dengan Nabi Muhammad makin hari makin erat.


Kewibawaan Nabi Muhammad begitu jelas terlihat di depan masyarakat Madinah karena penuh dengan akhlak mulia, sangat rendah hati, sarat dengan kasih sayang, selalu memenuhi janji, sifatnya yang pemurah, selalu terbuka dengan fakir miskin, dan selalu hadir bagi orang yang hidup menderita.


Nabi Muhammad berhasil menyatukan masyarakat Madinah dengan ikatan perjanjian persahabatan dan persekutuan serta menetapkan kebebasan beragama. Namun, Nabi Muhammad sesuai musyawarah juga menetapkan hukuman bagi siapa saja, dari kaum mana pun, dan dari suku apapun yang melanggar kesepakatan dalam Piagam Madinah.


Jelasnya, sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, atau saat kota terakhir masih bernama Yatsrib, di sana terdapat dua kabilah besar yang saling bertikai ratusan tahun lamanya. Dua kabilah besar di Yatsrib tersebut adalah Kabilah Aus dengan sekutu Yahudi Bani Quraiza dan Kabilah Khazraj dengan sekutu Yahudi Bani Nadhir.

 


Tercatat sekitar 120 tahun dua kabilah tersebut bertikai. Kendati demikian, kedua kabilah tersebut sebenarnya merindukan perdamaian, tetapi tidak menemukan sosok yang menyatukan mereka. Akibat perseteruan dua kelompok suku di Yatsrib itu, setidaknya telah terjadi empat perang besar, yaitu Perang Sumir, Perang Ka’b, Perang Hathib, dan Perang Bu’ats. Ratusan korban sudah berjatuhan dari kedua belah pihak.


Oleh sebab itu, sejak dua tahun sebelum hijrah (620 Masehi), Nabi Muhammad SAW sering dihubungi oleh beberapa tokoh dari Yatsrib, baik asal Kabilah Aus dan Khazraj. Meski Nabi Muhammad SAW memiliki banyak musuh di Makkah, ia tetap terkenal atas reputasinya sebagai al-Amin, orang yang jujur dan terpercaya, serta pernah menyelesaikan perselisihan terkait peletakan Hajar Aswad saat pemugaran Ka'bah.


Para pemuka kabilah di Yatsrib menyadari bahwa keadaan sosial politik di kota itu mengalami krisis sehingga membutuhkan seorang hakam atau arbitrator yang mampu menyelesaikan sengketa dua suku besar. Dan, mereka lantas sepakat bahwa Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang layak dan kapabel untuk menjadi sang arbitrator guna menyelesaikan konflik tersebut.

 


Pada saat bersamaan, perjuangan dakwah Nabi Muhammad SAW di Makkah juga mengalami jalan buntu. Maka itu, Rasulullah SAW mengajak kaum Muslim di Makkah, yang masih berjumlah sedikit untuk hijrah menuju Yatsrib, setelah mendapatkan perintah dari Allah.


Tentu dengan harapan, dakwah Islam disambut lebih baik oleh warga kota Yatsrib. Lantas, pada 622 Masehi atau tahun pertama hijriah, Nabi Muhammad SAW membuat perjanjian dengan pelbagai kalangan yang terdiri dari beragam suku, ras, dan agama di Yatsrib, yang dikenal dengan sebutan Piagam Madinah.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon