Sirah Nabawiyah

Ketika Rasulullah Dirayu Pemuka Quraisy untuk Menghentikan Dakwah

Jum, 28 Mei 2021 | 15:00 WIB

Ketika Rasulullah Dirayu Pemuka Quraisy untuk Menghentikan Dakwah

Rasulullah ﷺ menyikapi tuntutan dan bujukan kaum Quraisy dengan tegas.

Rasulullah adalah uswah (teladan) paling sempurna bagi umatnya. Meneladani beliau merupakan konsekuensi yang logis dari iman akan adanya Nabi Muhammad sebagai Rasulullah (utusan Allah). Beriman kepada Rasulullah adalah meyakini dan mempercayai dengan sepenuh hati bahwa Allah memilih di antara manusia untuk dijadikan rasul-Nya dan menyampaikan semua perintah dan larangan-Nya kepada umat manusia.

 

Rasulullah sebagai pamungkas para nabi dan rasul diutus oleh Allah ﷻ seraya untuk memperbaiki akhlak manusia dan menjadi sebaik-baiknya teladan. Syekh Said Ramadhan al-Buthi menyampaikan dalam kitab Fiqhus Sirah Nabawiyah, di antara sikap Rasulullah yang harus diteladani adalah berdakwah dengan ikhlas karena Allah ﷻ tanpa tujuan yang lain.

 

Syekh al-Buthi menyebutkan, dalam riwayat Ibnu Hisyam dari Ibnu Ishaq bahwa Utbah bin Rabiah (seorang cerdik dan pandai dari suku Quraisy) berkata kepada para pemuka Quraisy yang berkumpul untuk merundingkan sikap dan langkah mereka menghadapi gerakan dakwah Nabi Muhammad. Dia mengatakan, “Wahai Quraisy, mungkin langkah yang baik adalah aku menemui dan ngobrol langsung dengan Muhammad, lalu menawarinya beberapa hal. Barangkali dia mau menerima salah satu yang kita tawarkan kemudian kita memberinya apa pun yang dia inginkan agar dia tak lagi menyusahkan kita.”

 

Mereka menjawab, “Benar, wahai Abu al-Walid, kami menyetujui usulmu. Pergi dan bicaralah kepadanya.

 

Maka, Utbah datang menemui Rasulullah lalu berkata, “Wahai anak saudaraku, kau adalah bagian dari kami. Sungguh sejak dulu kami telah mengenal kejujuran, kesantunan, dan kemuliaan silsilah keluargamu. Namun, kau telah membawa masalah yang sangat besar kepada kaummu. Apa yang kaubawa itu telah merusak persatuan mereka dan merendahkan cita-cita mereka. Jadi, dengarkanlah baik-baik. Aku datang sebagai utusan kaummu untuk menawarimu beberapa hal, mungkin kau mau menerima salah satunya.”

 

Rasulullah ﷺ menjawab, “Katakanlah, wahai Abu al-Walid, aku menyimaknya.

 

Utbah bin Rabiah berkata, “Wahai anak saudaraku, jika dengan yang kaubawa ini kau menghendaki harta maka kami rela menghimpun sebagian harta kami untukmu sehingga kau menjadi orang terkaya di antara kami. Jika dengan yang kaubawa ini kau menginginkan kemuliaan, kami rela mengangkatmu sebagai pemimpin sehingga kami tidak akan memutuskan persoalan apa pun tanpa persetujuanmu. Jika yang kauinginkan adalah kerajaan maka kami rela menobatkanmu sebagai raja. Dan, jika yang mendatangimu adalah jin yang tidak dapat kautangkal maka kami bersedia mencarikan tabib bagimu atas biaya kami hingga kau sembuh.”

 

Rasulullah bertanya kepada Utbah, “Apakah kau telah mengatakan semua yang ingin kausampaikan, wahai Abu Al-Walid?

 

Utbah menjawab, “Ya.”

 

Kemudian, Rasulullah bersabda, “Sekarang, dengarkanlah aku.” Saat itu, Rasulullah membaca Surah Fussilat dari ayat pertama. Namun, situasi berubah ketika bacaan Nabi sampai pada ayat ke-13:

 

فَإِنْ أَعْرَضُوا فَقُلْ أَنْذَرْتُكُمْ صَاعِقَةً مِثْلَ صَاعِقَةِ عَادٍ وَثَمُودَ

 

Artinya, “Jika mereka berpaling maka katakanlah, ‘Aku telah memperingatkan kamu akan (bencana) petir seperti petir yang menimpa kaum ‘Ad dan kaum Samud” (QS Fussilat: 13).

 

Tuntas Nabi Muhammad ﷺ membaca ayat itu, serta-merta Utbah menutup mulut Rasulullah dengan tangannya dan memohon untuk berhenti membaca, karena dia takut mendengar acaman yang dilantangkan ayat-ayat itu. Kemudian, Utbah kembali menemui kaum Quraisy yang menanti-nanti kedatangannya. Mereka bertanya, “Bagaimana hasilnya, wahai abu Al-Walid?”

 

Utbah menjawab, “Aku mendengar suatu perkataan yang belum pernah kudengar seperti itu sebelumnya sepanjang hidupku. Demi Allah, perkataan itu bukan syair, bukan sihir, dan bukan mantra dukun. Wahai kaum Quraisy, turutilah kata-kataku, biarkanlah orang itu (Muhammad) dengan urusannya. Biarkanlah dia! Demi Allah, menurut perkataan yang kudengar darinya, sungguh akan terjadi sesuatu yang sangat mengemparkan! Jika bangsa Arab (lain) membunuhnya, berarti kalian menghentikannya lewat orang lain. Dan, jika dia mengalahkan bangsa Arab (lain), kerajaannya adalah kerajaan kalian juga, kemuliannya adalah kemuliaan kalian juga.”

 

Kaum Quraisy berujar marah, “Demi Allah, dia (Muhammad) telah menyihirmu dengan kata-katanya, wahai Abu al-Walid.” Utbah menukas, “Demikianlah pendapatku tentang dirinya. Jika tidak mau mendengarku, lakukanlah apa saja sesuka kalian” (Syekh Said Ramadhan al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, [Beirut: Dar al-Fikr 2020], h. 96).

 

Ada tiga pelajaran penting dari kejadian di atas, sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh al-Buthi. Pertama, menjelaskan secara rinci tentang hakikat dakwah Rasulullah ﷺ yang bersih dari segala kepentingan dan tujuan pribadi yang biasanya menjadi motivasi para pengusung propaganda baru serta para penyeru revolusi dan reformasi.

 

هل النبي ﷺ يضمر من وراء دعوته الوصول الى ملك؟ أو لعله يضمر الوصول الى مستوى رفيع من الزعامة أو الغني, أو لعل الأمر لايعدو خيالات تتراءى له بسبب مرض يعانيه.

 

Artinya, “Apakah Nabi Muhammad ﷺ berdakwah dengan tujuan untuk meraih kekuasaan, atau kepemimpinan, atau kekayaan yang berlimpah? Atau, apakah dakwahnya merupakan akibat dari penyakit yang diidapnya?” (al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, 2020: 97)

 

Berbagai pertanyaan itu kerap disampaikan para pelaku perang pemikiran dan musuh-musuh Islam. Namun, betapa agung rahasia kehidupan yang telah dipersiapkan Tuhan semesta alam bagi rasul- Nya. Allah ﷻ telah memenuhi kehidupan rasul-Nya dengan berbagai peristiwa yang menghancurkan semua kemungkinan itu, dan menyingkirkan segala bisikan buruk, dan membuat musuh-musuh Islam kebingungan mencari cara yang tepat untuk menyerang dan merendahkan Rasulullah.

 

Salah satu kebijaksanaan Allah ﷻ adalah menetapkan agar kaum musyrik beberapa kali menemui Nabi Muhammad untuk membujuknya menghentikan dakwah. Sebenarnya mereka telah memperkirakan bahwa Rasulullah akan menolak rayuan mereka. Sebab, mereka sangat mengenal karakter Rasulullah, tabiat dakwahnya, dan tujuan jangka panjang dari risalahnya. Mereka tahu betul bahwa Nabi Muhammad tidak akan takluk oleh bujuk rayu mereka. Namun, begitulah kehendak Allah, agar sejarah dapat membongkar kebohongan semua orang yang menebarkan keraguan. Di samping itu, pelajaran yang juga penting yaitu, kehidupan sehari-hari Rasulullah sangat selaras dengan ucapannya. Rasulullah menampik kekuasaan dan kekayaan tidak hanya dengan lisannya. Penolakannya itu tergambar jelas dalam sikap, perilaku, dan perbuatannya. Rasulullah makan dan minum dengan sangat sederhana, menjalani kehidupan layaknya orang miskin.

 

Kedua, kejadian di atas juga menunjukkan kebijaksanaan Rasulullah ﷺ yang telah menjadi sifatnya. Falsafah agama ini didasarkan atas pilar-pilar kehormatan dan kejujuran, baik dalam sarana maupun tujuannya. Tujuan hanya boleh ditegakkan dengan kejujuran, kehormatan, dan kebenaran. Sama halnya, sarana untuk meraih tujuan itu juga harus didasari kejujuran, kehormatan, dan kebenaran. (al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, 2020: 98)

 

Syekh al-Buthi kembali menegaskan, akan sangat keliru jika prinsip kebijaksanaan dalam dakwah dianggap hanya digunakan untuk memudahkan finansial juru dakwah atau demi menghindari kesulitan. Justru, rahasia keberhasilan dakwah adalah menempuh sarana yang paling dekat dengan akal dan pikiran masyarakat. Artinya, ketika kondisi silih berganti dan halangan serta rintangan menghalangi jalan dakwah, maka kebijakan yang harus diambil adalah mempersiapkan diri untuk mengorbankan harta dan nyawa. Hikmah atau kebijaksanaan seperti yang menjadi sifat Nabi Muhammad adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.

 

Kesimpulannya, tidak seorang pun boleh mengubah hukum dan prinsip Islam, atau melanggar dan meremehkan aturan-aturannya, dengan dalih “menempuh kebijaksanaan dalam berdakwah”. Sebab, suatu kebijakan hanya disebut bijak jika sesuai dengan aturan, prinsip, dan ketetapan syariat.

 

Ketiga, Rasulullah ﷺ menyikapi tuntutan dan bujukan kaum Quraisy dengan tegas. Mereka mengajukan semua tuntutan itu sebagai syarat agar mereka bisa mengikutnya. Sikap tegas Rasulullah ini didukung oleh Allah ﷻ. Berkaitan dengan hal ini, sebagaimana disebutkan semua ahli tafsir, Allah berfirman:

 

وَقَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْأَرْضِ يَنْبُوعاً أَوْ تَكُونَ لَكَ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَعِنَبٍ فَتُفَجِّرَ الْأَنْهَارَ خِلالَهَا تَفْجِيراً

 

Artinya, “Dan mereka berkata, ‘Kami tidak akan percaya kepadamu (Muhammad) sebelum engkau memancarkan air dari bumi untuk kami, atau engkau mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu engkau alirkan di celah-celahnya sungai yang deras alirannya” (QS Al-Isra’: 90-91).

 

Alasan Allah ﷻ tidak mengabulkan permintaan mereka bukanlah karena Rasulullah tidak diberi mukjizat selain mukjizat Al-Qur’an, sebagaimana sangkaan sebagian orang, melainkan karena Allah mengetahui bahwa mereka menuntut semua itu sebagai ungkapan kekafiran, keangkuhan, dan penghinaan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Ini tampak jelas dari cara mereka meminta dan mengajukan tuntutan. Seandainya Allah mengetahui bahwa mereka jujur dan berniat baik dalam mengajukan tuntutan sebagai upaya menegaskan kebenaran kata-kata Nabi, pastilah Allah sudah mengabulkan permintaan mereka. Namun, sikap kaum Quraisy itu sesuai dengan karakteristik yang digambarkan Allah dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

 

وَلَوْ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَاباً مِنَ السَّمَاءِ فَظَلُّوا فِيهِ يَعْرُجُونَ لَقَالُوا إِنَّمَا سُكِّرَتْ أَبْصَارُنَا بَلْ نَحْنُ قَوْمٌ مَسْحُورُونَ

 

Artinya, “Dan kalau Kami bukakan kepada mereka salah satu pintu langit, lalu mereka terus menerus naik ke atasnya, tentulah mereka berkata, ‘Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang yang terkena sihir.” (QS Al-Hijr: 14-15)

 

 

Sunnatullah, santri sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.