Syariah

3 Tugas Seorang Suami menurut Ajaran Islam

Jum, 9 Februari 2024 | 15:00 WIB

3 Tugas Seorang Suami menurut Ajaran Islam

Ilustrasi keluarga. (Foto: NU Online/Freepik)

Umumnya masyarakat menggambarkan sosok suami sebagai figur pemimpin keluarga yang mengemban tugas berat berupa menghidupi dan membiayai anak dan istrinya, bahkan bisa jadi tugas memberi nafkah dianggap sebagai tugas utama dan satu-satunya yang dimiliki seorang suami dalam kehidupan rumah tangga.

 

Pandangan demikian pada akhirnya menyuburkan kisah yang menceritakan jauh serta kurang baiknya relasi antara seorang suami dengan anak dan istrinya yang disebabkan oleh pola fikir bahwa tugas sang ayah telah selesai dengan hanya mencari biaya hidup untuk keluarga. 

 

Lalu sebenarnya apa saja kewajiban serta peranan seorang suami dalam kehidupan berumah tangga? 

 

Pada dasarnya relasi suami dan istri dibangun dengan konsep yang imbang, artinya suami memiliki tugas dan peranan tersendiri serta istri juga memiliki tugas dan peranan yang berbeda dengan suaminya.

 

Konsepsi ini dibangun karena pernikahan tidak lain merupakan sebuah ikatan yang menetapkan adanya relasi hak dan kewajiban antara dua orang. Berikut ini adalah 3 tugas seorang suami menurut ajaran Islam: 

 

1. Memberi Nafkah 
Seorang pria memang menanggung kewajiban untuk menafkahi anak dan istrinya sebagai bentuk tanggung jawab atas amanah yang telah ia ambil. Hal ini senada dengan yang disebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 233: 

 

وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ 

 

Artinya, “Ibu-ibu hendak menyusui anaknya dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah adalah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut”. 

 

Dalam ayat tersebut digambarkan pembagian peranan yang jelas antara seorang ayah dan seorang ibu, peranan utama ibu adalah merawat anaknya dengan cara memastikan kesehatan dan nutrisinya sedangkan tugas seorang ayah adalah untuk mencarikan biaya dan penunjang hidup untuk keduanya. 

 

Menurut Imam Fakhrur Razi dalam tafsirnya, pembagian tugas tersebut dijalankan pada dasarnya sebagai bentuk upaya agar sang ibu dapat fokus untuk merawat dan menjaga anaknya dan tidak terbebani dengan urusan finansial. (Fakhru al-Razi, Tafsir Fakhru al-Razi, Dar al-Fikr, Jilid II, h.110) 

 

Sikap kerja sama sebagaimana disebutkan di atas dibangun berdasarkan paradigma bahwa pernikahan tidak lain merupakan bentuk kerja sama yang dibidik atas dasar cinta dan kasih sayang. Dengan demikian, masing-masing pasangan perlu untuk melakukan sesuatu yang dapat membuat hati pasangannya ridha dan senang padanya, termasuk di antaranya pembagian tugas yang imbang dan merata. 

 

Berkaitan dengan kewajiban nafkah sebagaimana ayat di atas, terdapat hadits yang secara spesifik menjelaskan tentang wajibnya seorang suami memberi nafkah pada istri dan anaknya yakni hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah Ra:

 

عن عائشة رضي الله عنها قالت دخلت هندبنت عتبة امرأة ابي سفيان على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت يا رسول الله ان ابا سفيان رجل شحيح لا يعطيني من النفقة ما يكفيني ويكفي بني الا ما اخذت من ماله بغير علمه فهل علي في ذالك من جناح؟ فقال خذ من ماله بالمعروف ما يكفيك ويكفي بنيك (متفق عليه 

 

Artinya, “Diceritakan dari Sayyidah Aisyah Ra, Hindun binti Utbah istri dari Abi Sufyan mendatangi nabi kemudian ia berkata: wahai Rasulallah sesungguhnya Abi Sufyan adalah pria yang pelit ia tidak memberikan nafkah yang cukup bagi saya dan anak saya, kecuali saya memenuhinya dengan harta yang saya ambil tanpa sepengetahuannya. Apakah saya berdosa atas hal tersebut? Nabi menjawab ambillah dari hartanya dengan cara yang baik dengan jumlah yang dapat mencukupimu dan anakmu”.  (Muttafaq Alaihi) (Ibn Hajar al-Astqalani, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, h.57)

 

Hadits tersebut menjelaskan bahwa seorang suami memiliki kewajiban untuk memberi nafkah dan mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Dalam kajian fikih kewajiban seorang suami dalam memberi nafkah terhadap istri dan anaknya tidak berlaku secara mutlak namun terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing keduanya. 

 

Adapun syarat kewajiban nafkah suami terhadap istri adalah selama sang istri memasrahkan dirinya dan mematuhi perintah suami. Sedangkan nafkah anak harus dipenuhi jika anak memiliki salah satu tiga sifat yakni masih kecil, mengalami disabilitas, atau fakir. (Muhammad bin Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib al-Mujib fi Syarhi Alfadzi al-Taqrib, Dar al-Kutub al-Alamiyyah, h.187) 

 

2. Mengajarkan Aqidah 
Bisa dibilang kewajiban nafkah merupakan kewajiban yang paling menjadi sorotan karena hal tersebut berkaitan dengan keberlangsungan hidup sebuah keluarga. Namun demikian, pada dasarnya ada kewajiban-kewajiban lain yang juga harus diemban oleh seorang suami. 

 

Di antara bentuk tanggung jawab tersebut adalah mengenalkan pada anak akidah-akidah dasar dalam Islam sebagai dasar keyakinan yang perlu ditanamkan sedini mungkin. Sebagaimana yang dikatakan oleh Habib Abdullah bin Husain Ba’alawi dalam kitabnya 

 

يجب على ولي الصبي والصبية المميزين ان يأمرهما بالصلاة وان يعلمهما بعد سبع سنين ويضربهما على تركها بعد عشر سنين. 

 

Artinya, “Wajib bagi setiap wali anak laki-laki dan anak perempuan yang sudah tamyiz untuk memerintah mereka melaksanakan shalat, dan mengajarkan mereka (rukun dan syarat sholat) setelah berusia tujuh tahun dan memberi mereka pelajaran sebab meninggalkan sholat setelah berumur sepuluh tahun”. (Abdullah bin Husein Ba’alawi, Sullam al-Taufiq ila Mahabbatillahi ala al-Tahqiq, al-Haramain, h.7)

 

Selain mengajarkan akidah ia juga perlu mengajarkan anak tentang mana yang halal dan mana yang haram. Kewajiban di atas pada dasarnya tidak mutlak harus dilakukan langsung oleh seorang ayah, namun juga dapat diwakilkan pada sang ibu atau orang lainnya. 

 

3. Menjadi pembimbing
Sebagai seorang imam dalam rumah tangga seorang suami mendapat wewenang untuk membimbing istrinya menjadi lebih baik dan lebih taat kepada Allah sebagaimana  yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad Salim Ba Bashil al-Syafi’i:

 

ويجب ايضا ضرب زوجة كبيرة على ترك الصلاة ان امن النشوز 

 

Artinya, “Dan wajib bagi seorang suami memberi Pelajaran pada istrinya yang sudah dewasa sebab meninggalkan shalat selama tidak dihawatirkan ia akan membangkang”. (Muhammad bin Salim ba Bashil al-Syafi’i, Is’ad al-Rafiq wa Bughyatu al-Shadiq, al-Haramain, Jilid I, h.73) 

 

Artinya suami mendapat amanah untuk juga membimbing istrinya, tentu bimbingan sebagaimana yang diungkapkan dalam referensi di atas tidak hanya berkaitan dengan urusan shalat, namun juga dalam hal-hal lainnya seperti dalam masalah etis istri dan segala hal yang berkaitan dengan kebaikan dan kemaslahatan istri serta keluarga.

 

Meskipun suami memiliki wewenang untuk mendidik dan memberikan pelajaran pada istri dan anaknya yang melakukan tindakan-tindakan kurang baik atau membahayakan agamanya, namun memilih untuk tidak mengambil tindakan fisik dan mengambil cara persuasif dengan cara memberi nasihat dan bersikap sabar atas perlakuan istrinya tetap menjadi opsi paling utama yang bisa dipilih oleh seorang suami. Wallâhu a‘lam.

 

Shofiyatul Ummah, Pengajar di Pondok Pesantren Nurud-Dhalam, Sumenep.