Syariah

5 Hari yang Diharamkan Berpuasa

Ahad, 17 Maret 2024 | 16:00 WIB

5 Hari yang Diharamkan Berpuasa

Ilustrasi hari-hari yang dimakruhkan dan diharamkan berpuasa. (NU Online)

Puasa merupakan rukun keempat dalam pondasi agama Islam setelah zakat. Umat Islam seluruh dunia wajib melaksanakannya pada bulan Ramadhan dan pada puasa-puasa yang dinazari untuk dilakukan.
 

Kewajiban puasa diatur sedemikian rupa dengan landasan nash Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183:
 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ 
 

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183).
 

Dalam pelaksanaannya, ibadah puasa memiliki aturan termasuk hari pelaksanaannya. Ada yang dihukumi makruh berpuasa, ada juga yang sampai taraf haram berpuasa di dalamnya.
 

5 Hari yang Diharamkan Berpuasa

Dalam hal ini ada lima hari dalam setahun yang haram bagi umat Islam melaksanakan puasa di dalamnya. Hari-hari tersebut ialah dua hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, serta tiga hari Tasyriq yaitu 11, 12, 13 Dzulhijjah. Selain dihukumi haram, berpuasa pada hari-hari ini juga tidak dihukumi sah.
 

Syekh Al-Khatib As-Syirbini dalam kitabAl-Iqna’ menjelaskan:
 

وَيَحْرُمُ صِيَامُ خَمْسَةِ أَيَّامٍ) أَيْ مَعَ بُطْلَانِ صِيَامِهَا وَهِيَ (الْعِيدَانِ) الْفِطْرُ وَالْأَضْحَى بِالْإِجْمَاعِ الْمُسْتَنِدِ إلَى نَهْيِ الشَّارِعِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي خَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ (وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ) الثَّلَاثَةُ بَعْدَ يَوْمِ النَّحْرِ وَلَوْ لِمُتَمَتِّعٍ لِلنَّهْيِ عَنْ صِيَامِهَا كَمَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَفِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ: أَيَّامُ مِنًى أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى
 

Artinya, “Haram melaksanakan puasa pada lima hari serta batalnya puasa di dalamnya. Hari-hari tersebut ialah dua hari raya Idul Fitri dan Idul Adha dengan dalil ijma' ulama yang disandarkan pada larangan pembawa syariat yaitu Nabi Muhammad saw dan disebutkan pula dalam hadits Al-Bukhari Muslim. 
 

Juga haram melaksanakan puasa pada hari-hari Tasyriq yaitu tiga hari setelah hari raya Idul Adha (11, 12, 13 Dzulhijjah), meskipun orang yang melaksanakan haji Tamatu’, sebab adanya larangan melaksanakan puasa di dalamnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Muslim: “Hari-hari Mina adalah hari makan dan minum serta berdzikir kepada Allah Ta’ala”. ( Al-Khatib As-Syirbini, Al-Iqna’ fi Halli Alfadzi Abi Syuja’, [Beirut: Darul Fikr], juz I, halaman 239).
 

Hari yang Dimakruhkan Berpuasa

Adapun hari yang makruh dilaksanakan berpuasa di dalamnya ialah hari keragu-raguan (yaumus syak) yaitu tanggal 30 Sya’ban. 
 

Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi dalam kitabn Fathul Qarib berkata:
 

ويوم الشك هو يوم الثلاثين من شعبان إذا لم ير الهلال ليلتها مع الصحو، أو تحدث الناس برؤيته ولم يعلم عدل رآه، أو شهد برؤيته صبيانٌ أو عبيدٌ أو فسقةٌ
 

Artinya, “Hari syak (ragu) ialah tanggal 30 Sya’ban jika tidak terlihat hilal pada malam harinya padahal dalam keadaan terang atau beberapa orang bercerita telah melihat hilal, namun tidak diketahui orang adil yang melihatnya, atau orang yang bersaksi melihatnya ialah anak kecil, seorang budak atau orang fasik”. (Muhammad bin Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 2005], halaman 139).
 

Dalam hal inipun ulama fiqih berbeda pendapat terkait ambang kemakruhan. Ada yang berpendapat makruh yang dimaksud ialah makruh tanzih (makruh murni). Ada juga yang berpendapat bahwa melaksanakan puasa pada 30 Sya’ban dihukumi makruh tahrim (makruh haram).
 

Al-Ghazi dalam Fathul Qarib berpendapat, melaksanakan puasa pada 30 Sya’ban dihukumi makruh tahrim.
 

ويكره) تحريما (صوم يوم الشك) بلا سبب يقتضي صومه
 

Artinya, “Dimakruhkan dengan taraf tahrim (haram) berpuasa pada hari keragu-raguan (30 Sya’ban) dengan tanpa sebab yang menuntut untuk puasa”. (Al-Ghazi,139).
 

Sementara itu, Syekh Khatib Al-Syirbini berpendapat bahwa kadar kemakruhan pada puasa yaumus syak dihukumi makruh tanzih. Pendapat ini dijelaskan oleh Al-Isnawi dan didukung oleh mayoritas ulama. Tapi pendapat yang dianggap kuat dalam mazhab adalah yang mengharamkannya. Dalam Al-Iqna' dijelaskan:
 

وَيكرهُ صَوْم يَوْم الشَّك) كَرَاهَة تَنْزِيه. قَالَ الْإِسْنَوِيّ وَهُوَ الْمَعْرُوف الْمَنْصُوص الَّذِي عَلَيْهِ الْأَكْثَرُونَ وَالْمُعْتَمد فِي الْمَذْهَب تَحْرِيمه كَمَا فِي الرَّوْضَة والمنهاج وَالْمَجْمُوع لقَوْل عمار بن يَاسر من صَامَ يَوْم الشَّك فقد عصى أَبَا الْقَاسِم صلى الله عَلَيْهِ وَسلم. تَنْبِيه يُمكن حمل كَلَام المُصَنّف على كَرَاهَة التَّحْرِيم فيوافق الْمُرَجح فِي الْمَذْهَب
 

Artinya, “Dimakruhkan puasa pada hari ragu dengan taraf makruh tanzih. Al-Isnawi berkata: "Pendapat ini yang diketahui dan disebutkan secara terang-terangan (manshus) yang diambil oleh mayoritas ulama.
 

Adapun pendapat mu'tamad dalam mazhab Syafi'i adalah mengharamkan puasa pada hari syak sebagaimana dalam kitab Raudhah, Al-Minhaj dan Al-Majmu’. Hal itu didasarkan pada riwayat Ammar bin Yasir yang berkata, “Barangsiapa yang berpuasa pada hari ragu maka ia telah menyelisihi Abu Qasim (Nabi Muhammad saw)”.
 

Sebagai pengingat, ungkapan makruh dari penulis kitab Taqrib, Abu Syuja', dapat diarahkan pada makruh tahrim sehingga sesuai dengan pendapat yang diunggulkan dalam mazhab Syafi'i”. (As-Syirbini, I/239).
 

Namun kemakruhan berpuasa pada hari ragu-ragu tersebut dapat gugur jika hari itu berrtepatan dengan hari di mana ia biasa berpuasa sunah; atau bertepatan dengan qadha puasa atau puasa nazar.
 

Syekh Ibnul Qasim Al-Ghazi berkata:
 

 وأشار المصنف لبعض صُوَر هذا السبب بقوله: (إلا أن يوافق عادة له) في تطوعه، كمن عادته صيام يوم وإفطار يوم؛ فوافق صومُه يومَ الشكِّ، وله صيام يوم الشك أيضا عن قضاء ونذر
 

Artinya, “Penulis kitab Taqrib memberikan isyarat pada sebagian sebab yang dapat membatalkan kemakruhan puasa hari syak dengan ucapannya: "Kecuali jika hari itu sesuai dengan kebiasaannya" dalam berpuasa sunnah.
 

Seperti halnya seseorang yang kebiasannya berpuasa sehari dan buka sehari (puasa dawud) dan kebetulan puasanya bertepatan pada hari syak. Seseorang juga dapat berpuasa pada hari ini sebab mengqadha ataupun nazar”. (Al-Ghazi, 139). Wallahu a’lam.

 

Ustadz Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Khas Kempek, Mahasantri Mahad Aly Saiidussiddiqiyah Jakarta