M Intihaul Fudola Toha
Kolomnis
Fenomena transgender yang mengubah jenis kelamin melalui operasi, menjadi perhatian cendekiawan Muslim karena implikasinya terhadap hukum Islam, termasuk tata cara ibadah seperti umrah. Beberapa transgender melaksanakan ibadah sesuai jenis kelamin yang baru, bukan asalnya, sehingga memicu kontroversi dan reaksi negatif, karena dianggap menistakan agama.
Namun, sebenarnya bagaimana tata cara ibadah yang tepat bagi seseorang yang telah menjalani perubahan kelamin? Apakah pelaksanaan ibadah seperti umrah yang tidak sesuai dengan jenis kelamin asalnya dapat dianggap sebagai penistaan agama?
Jenis Kelamin dalam Pandangan Islam
Sebelum menjawab pertanyaan ini, penting dipahami terlebih dahulu konsep jenis kelamin dalam pandangan Islam serta hal-hal yang berkaitan dengan gangguan jenis kelamin.
Islam membagi jenis kelamin manusia berdasarkan ciri biologis yang jelas, yakni laki-laki dan perempuan. Laki-laki memiliki alat kelamin pria, testis, saluran sperma, dan prostat.
Ketika beranjak dewasa tanda-tanda pubertas pada laki-laki meliputi perubahan suara menjadi lebih berat, tumbuhnya rambut di wajah seperti jenggot dan kumis, serta kecenderungan terhadap wanita.
Sementara perempuan memiliki vagina, rahim, ovarium, dan saluran tuba falopi, dengan tanda pubertas meliputi siklus menstruasi, pertumbuhan payudara, suara lembut, dan minimnya rambut wajah.
Meski demikian, terdapat individu yang mengalami kondisi kelainan atau ketidaksesuaian dengan jenis kelamin mereka, baik secara fisik maupun psikologis.
Dalam fiqih, terdapat dua istilah penting yang sering dikaitkan dengan kondisi seperti di atas.
Pertama, kelainan jenis kelamin yang timbul dari gejala psikologis, yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Gender Identity Disorder (GID). Kondisi ini merupakan diagnosis medis yang diberikan kepada individu yang mengalami ketidaknyamanan atau kecemasan terhadap jenis kelamin yang dimilikinya sejak lahir.
Secara singkat, GID menggambarkan dorongan tak sadar seseorang untuk merasa lebih cocok menjadi jenis kelamin lain, meskipun kondisi fisiknya sempurna dan alat kelaminnya berfungsi normal.
Individu dengan kondisi seperti ini dikenal dengan istilah mukhannats, yaitu laki-laki yang menyerupai perempuan dalam penampilan, cara berbicara, atau gerak-gerik. Jika perilaku ini disengaja untuk meniru perempuan, maka hukumnya haram, sebagaimana keterangan hadits Nabi Muhammad saw:
لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ، وَالمُتَرَجِّلاتِ مِنَ النِّسَاءِ
Artinya, "Nabi Muhammad saw melaknat laki-laki yang berperilaku seperti perempuan (mukhannats) dan perempuan yang berperilaku seperti laki-laki (mutarajjilat)." (HR Al-Bukhari).
Kedua, orang yang mengalami gangguan fisik berupa keberadaan dua alat kelamin sekaligus. Kondisi ini dalam fiqih dikenal sebagai khuntsa (interseks).
Jika kondisinya membingungkan karena tidak ditemukan tanda dominasi jenis kelamin tertentu, maka ia disebut khuntsa musykil (hermafrodit ambigu). Dalam kasus khuntsa musykil, status jenis kelaminnya ditangguhkan hingga mencapai usia baligh dan dibiarkan memilih berdasarkan kecenderungan wataknya.
Berkaitan hal ini Imam An-Nawawi menjelaskan:
واعلم أن الخنثى ضربان: أحدهما وهو المشهور أن يكون له فرج المرأة وذكر الرجل. والضرب الثاني أن لا يكون له واحد منهما بل له ثقبة يخرج منها الخارج ولا تشبه فرج واحد منهما... قال البغوي: وحكم هذا الثاني أنه مشكل، يوقف أمره حتى يبلغ فيختار لنفسه ما يميل إليه طبعه من ذكورة وأنوثة. فإن أمنى على النساء ومال إليهن طبعه فهو رجل، وإن كان عكسه فامرأة
Artinya, "Ketahuilah bahwa khuntsa terbagi menjadi dua jenis: pertama, yaitu yang umum dikenal, adalah mereka yang memiliki alat kelamin perempuan sekaligus alat kelamin laki-laki. Kedua, yaitu mereka yang tidak memiliki keduanya, melainkan hanya memiliki sebuah lubang tempat keluarnya cairan, yang tidak menyerupai alat kelamin laki-laki atau perempuan.
Al-Baghawi menjelaskan bahwa hukum untuk jenis kedua ini adalah musykil (ambigu), sehingga statusnya ditangguhkan hingga ia mencapai usia dewasa, kemudian ia memilih sesuai kecenderungan wataknya, apakah condong kepada sifat laki-laki atau perempuan.
Jika ia mengeluarkan air mani kepada wanita dan kecenderungannya kepada wanita, maka ia adalah laki-laki. Sebaliknya, jika ia condong pada sifat perempuan, maka ia adalah perempuan." (Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, jilid II, halaman 46).
Merujuk Keputusan Bahtsul Masail Waqi'iyah Muktamar NU ke-34 di Lampung, 22-23 Desember 2021, dari berbagai macam gangguan jenis kelamin yang ada, operasi alat kelamin hanya diperbolehkan dalam kasus khuntsa setelah diketahui status jenis kelaminnya. Operasi ini tidak termasuk kategori pengubahan jenis kelamin, melainkan penegasan status jenis kelamin seseorang (tashihul jinsi).
Muktamar NU ke-34 merumuskan:
“Cara menentukan jenis kelamin dalam kasus ambiguitas kelamin adalah dengan memperhatikan keberfungsian alat kelamin dalam, seperti rahim, indung telur, testis, dan sperma.
Penentuan apakah alat kelamin tersebut berfungsi atau tidak harus didasarkan pada keterangan dari dokter ahli. Jika seseorang memiliki dua alat kelamin yang sama kuat, maka yang menjadi pertimbangan adalah kecenderungan seksualnya.
Operasi penyesuaian kelamin diperbolehkan selama tidak membahayakan pasien. Operasi ini bukan merupakan perubahan jenis kelamin (transgender), melainkan bertujuan untuk menegaskan apakah individu tersebut laki-laki atau perempuan. (Konferensi Pers Komisi Bahtsul Masail Muktamar NU ke-34).
Syekh 'Atiyah Shaqr, mantan Mufti Darul Ifta Mesir, mengutip pendapat pendahulunya, Syekh Jadul Haq, yang menyatakan bahwa penyesuaian alat kelamin melalui operasi dapat menjadi wajib jika telah mendapat rekomendasi dari dokter ahli yang terpercaya terkait status kelaminnya.
Menurutnya, secara hukum orang diperbolehkan untuk melakukan operasi guna menonjolkan organ kelamin laki-laki atau perempuan yang tersembunyi. Bahkan, operasi ini bisa menjadi wajib sebagai bentuk pengobatan jika disarankan oleh dokter yang terpercaya.
Namun, hal ini tidak diperbolehkan semata-mata karena keinginan untuk mengubah jenis kelamin seseorang dari perempuan menjadi laki-laki, atau dari laki-laki menjadi perempuan." (Al-Fatawa Al-Islamiyyah, [Mesir, Majma'ul Buhuts Al-Islamiyah, Al-Azhar As-Syarif], jilid X, halaman 3501).
Pendapat ini sejalan dengan pandangan Syekh Ali Jum’ah yang menyatakan, operasi tersebut diwajibkan untuk menghindari dosa tasyabbuh (menyerupai lawan jenis), terutama jika status kelamin individu interseks telah ditentukan secara jelas berdasarkan analisis medis dan kecenderungan alami.
Masih menurut Syekh Ali Jum'ah, gangguan (identitas gender) yang bersifat tidak disengaja adalah ujian penyakit yang harus diobati. Dalam pengobatannya, perlu dilakukan penelaahan terhadap tanda-tanda biologis dari sifat laki-laki atau perempuan. Identitas pasien kemudian ditentukan berdasarkan tanda-tanda tersebut.
Pada kondisi ini, diperbolehkan melakukan operasi bedah dan terapi lain yang diperlukan setelah identitas gendernya ditentukan, untuk menonjolkan identitas aslinya. Hal ini didasarkan pada kaidah syariat, "Bahaya harus dihilangkan".
Tidak diragukan lagi bahwa ketidakjelasan atau kesamaran ini adalah suatu kerugian, sehingga menghilangkannya menjadi kewajiban sesuai kemampuan. Sebab, membiarkan kondisi ini ketika masih mungkin untuk diatasi akan membuat penderitanya terjerumus dalam dosa menyerupai lawan jenis, yang menyebabkan pelakunya mendapat laknat. (Al-Fatawa Al-Islamiyah, Darul Ifta Al-Mishriyah, Kairo).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, operasi kelamin hanya diperbolehkan bagi individu yang mengalami interseks untuk menegaskan identitas kelaminnya. Sementara itu, operasi pergantian kelamin dengan tujuan mengganti jenis kelamin asal hukumnya haram. Konsekuensinya adalah semua ketentuan ibadah yang dijalani oleh individu yang melakukan transgender harus sesuai dengan jenis kelamin mereka sejak lahir.
Asumsi Penistaan Agama dalam Konteks Ibadah Umrah Transgender
Sayyid Muhammad Husein bin Salim menjelaskan, penistaan agama mencakup segala bentuk keyakinan, perbuatan, atau ucapan yang secara eksplisit maupun implisit menunjukkan penghinaan atau pelecehan terhadap Allah, kitab suci-Nya, para nabi, syiar-syiar agama, serta ajaran-ajarannya, seperti salat, haji, masjid, Ka'bah, dan hal-hal serupa.
Jika tindakan seperti itu dilakukan dengan sengaja untuk merendahkan hal-hal tersebut, maka pelakunya dinilai telah keluar dari agama Islam (murtad). Namun, jika dilakukan tanpa maksud merendahkan, hukumnya dapat menjadi haram, tergantung pada tingkat pengetahuan dan pemahaman pelakunya atas ajaran agama.
وَحَاصِلُ تِلْكَ الْعِبَارَاتِ يَرْجِعُ إِلَى أَنَّ كُلَّ عَقْدٍ أَيْ اعْتِقَادٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ قَوْلٍ يَدُلُّ عَلَى اسْتِهَانَةٍ أَوِ اسْتِخْفَافٍ بِاللَّهِ أَوْ كُتُبِهِ أَوْ أَنْبِيَائِهِ أَوْ مَلَائِكَتِهِ أَوْ شَعَائِرِهِ أَوْ مَعَالِمِ دِينِهِ أَوْ أَحْكَامِهِ أَوْ وَعْدِهِ أَوْ وَعِيدِهِ كُفْرٌ أَيْ إِنْ قَصَدَ قَائِلُ ذَلِكَ الِاسْتِخْفَافَ أَوِ الِاسْتِهْزَاءَ بِذَلِكَ أَوْ مَعْصِيَةٌ مُحَرَّمَةٌ شَدِيدَةُ التَّحْرِيمِ إِنْ لَمْ يَقْصِدْ ذَلِكَ
Artinya, "Simpulan dari pernyataan-pernyataan tersebut adalah sungguh setiap keyakinan, perbuatan, atau ucapan yang menunjukkan penghinaan atau pelecehan terhadap Allah, kitab-kitab-Nya, para nabi-Nya, malaikat-Nya, syiar-syiar agama-Nya, tanda-tanda agama-Nya, hukum-hukum-Nya, janji-Nya, atau ancaman-Nya adalah kekufuran, bila pelakunya berniat merendahkan atau memperolok-olok hal-hal tersebut.
Jika tidak ada maksud demikian, maka perbuatannya tergolong kemaksiatan yang diharamkan dengan tingkat keharaman yang berat." (Sulamut Taufiq, halaman 61).
Lalu apakah umrah seorang transgender yang telah mengubah jenis kelaminnya menjadi perempuan dikategorikan menistakan agama?
Orang yang telah mengubah jenis kelaminnya tetap dibebani hukum agama sesuai jenis kelamin asalnya. Sebab, perubahan yang terjadi sejatinya hanya pada fisiknya saja, sedangkan secara kodrat ia tetap dihukumi sebagai laki-laki.
Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan:
ولو تصور الرجل بصورة المرأة أو عكسه فلا نقض في الأولى وينتقض الوضوء في الثانية للقطع بأن العين لم تنقلب , وإنما انخلعت من صورة إلى صورة ا هـ
Artinya, "Ketika seorang laki-laki berubah wujud menjadi perempuan atau sebaliknya, maka dalam kasus pertama, tidak batal wudhu laki-laki yang menyentuhnya; sedangkan dalam kasus kedua wudhu menjadi batal. Hal ini karena secara zat aslinya ia tidak berubah, melainkan hanya berubah bentuk dari satu rupa ke rupa yang lain." (Tuḥfatul Muḥtaj, juz I, halaman 24).
Di sisi lain dalam konteks ibadah umrah, apabila seorang transgender yang secara fisik telah bertransformasi menjadi perempuan diharuskan menggunakan pakaian ihram laki-laki, maka hal itu justru berpotensi menimbulkan fitnah yang besar.
Karena itu, berdasarkan sudut pandang ini, ibadah umrah yang dilakukan oleh seorang transgender tidak dapat dianggap sebagai bentuk penistaan terhadap agama. Dalam situasi seperti ini, diperkenankan untuk memilih alternatif yang mendatangkan mafsadah yang lebih kecil:
إِذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ رُوعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
Artinya, “Apabila berhadapan dua mafsadat, maka yang harus diperhatikan mana yang lebih besar bahayanya, dengan cara mengerjakan yang lebih ringan madlaratnya.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazhair, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah], halaman 87).
Namun demikian, individu tersebut tetap berkewajiban untuk berupaya secara bertahap kembali pada fitrahnya, serta berusaha semampunya menjalankan ibadah sesuai dengan jenis kelamin asalnya.
، وَأَمَّا مَنْ كَانَ ذَلِكَ مِنْ أَصْلِ خِلْقَتِهِ فَإِنَّمَا يُؤْمَرُ بِتَكَلُّفِ تَرْكِهِ وَالْإِدْمَانِ عَلَى ذَلِكَ بِالتَّدْرِيجِ، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ وَتَمَادَى دَخَلَهُ الذَّمُّ، وَلَا سِيَّمَا إِنْ بَدَا مِنْهُ مَا يَدُلُّ عَلَى الرِّضَا بِهِ
Artinya, "Sedangkan bagi mereka yang memiliki sifat bawaan sejak lahir, mereka diperintahkan untuk berusaha meninggalkan sifat tersebut secara bertahap. Jika mereka tidak berusaha dan terus melakukannya, maka hukumnya haram. Terutama jika menunjukkan tanda-tanda keridhaan terhadap keadaan tersebut." (Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bari, [Beirut, Darul ], juz X, halaman 345).
Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas dapat disimpulkan, tindakan umrah oleh transgender yang tidak sesuai dengan jenis kelamin asalnya tidak dapat dikategorikan sebagai penistaan agama.
Individu seperti ini justru memerlukan dukungan positif untuk membantu mereka mencapai kehidupan yang lebih baik, selaras dengan nilai-nilai agama dan fitrah manusia. Bukan justru dikucilkan atau dihujat dengan tuduhan melakukan penistaan agama.
Pemerintah dan pihak-pihak yang berkemampuan memiliki tanggung jawab untuk membantu dalam proses penyembuhan dengan cara memberikan progam rehabilitasi dan semisalnya. Sebab, banyak transgender sebenarnya ingin menjalani kehidupan yang normal tetapi kesulitan menemukan jalan untuk mewujudkannya. Wallahu a'lam.
Ustadz M Intihaul Fudola, Pegiat Literasi Santri dan Aktivis Bahtsul Masail Banyuwangi.
Terpopuler
1
Ketum PBNU: NU Berdiri untuk Bangun Peradaban melalui Pendidikan dan Keluarga
2
Harlah Ke-102, PBNU Luncurkan Logo Kongres Pendidikan NU, Unduh di Sini
3
Badan Gizi Butuh Tambahan 100 Triliun untuk 82,9 Juta Penerima MBG
4
Ansor University Jatim Gelar Bimbingan Beasiswa LPDP S2 dan S3, Ini Link Pendaftarannya
5
LP Ma'arif NU Gelar Workshop Jelang Kongres Pendidikan NU 2025
6
Banjir Bandang Melanda Cirebon, Rendam Ratusan Rumah dan Menghanyutkan Mobil
Terkini
Lihat Semua