Syariah

Bolehkah Tinggalkan Shalat Jumat karena Jadi Panitia Kurban? Ini Penjelasan Ulama

NU Online  ·  Kamis, 5 Juni 2025 | 19:00 WIB

Bolehkah Tinggalkan Shalat Jumat karena Jadi Panitia Kurban? Ini Penjelasan Ulama

Hukum tinggalkan Shalat Jumat karena jadi panitia kurban

Pada hari raya Idul Adha dan hari-hari Tasyriq (11-13 Dzulhijjah), kaum Muslimin disibukkan dengan pelaksanaan ibadah Kurban. Tak jarang, para panitia penyembelihan hewan Kurban bekerja dari pagi hingga sore hari demi memastikan amanah umat dapat dilaksanakan dengan baik.
 

Namun, bagaimana jika hari penyembelihan itu jatuh pada hari Jumat? Apakah para panitia Kurban boleh meninggalkan shalat Jumat karena alasan sibuk menyembelih dan mengurusi daging Kurban?
 

Menjadi panitia Kurban bukanlah uzur atau alasan yang memperbolehkan untuk meninggalkan shalat Jumat. Shalat Jumat merupakan kewajiban, sedangkan penyembelihan Kurban memiliki batas waktu yang longgar, sehingga dapat dilakukan di selain waktu shalat Jumat.  
 

Waktu Menyembelih Kurban

Ulama telah sepakat bahwa waktu yang paling utama untuk menyembelih Kurban adalah pada tanggal 10 Dzulhijjah. Hal ini disampaikan oleh Wahbah Az-Zuhaili:
 

“Ulama sepakat bahwa waktu yang paling utama untuk menyembelih qKurban adalah hari pertama sebelum bergesernya matahari, karena itu yang disunnahkan.” (Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, juz IV, halaman 255).
 

Meski demikian, Penyembelihan Kurban tetap dapat dilaksanakan selama empat hari, mulai dari pagi tanggal 10 Dzulhijjah sampai sore tanggal 13 Dzulhijjah. Jadi, Kurban memiliki batas waktu yang longgar. 
 

Zainuddin Al-Malibari menjelaskan:

“Waktunya qurban dimulai sejak naiknya matahari pada hari nahar (idul adha) sampai akhir hari tasyrik.” (Fathul mu'in Hamisy I’anatuth Thalibin, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2018], juz II, halaman 553).
 

Uzur Meninggalkan Shalat Jumat

Shalat Jumat hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap Muslim laki-laki yang baligh, berakal, merdeka, dan tidak memiliki uzur syar’i. Namun, Islam juga memberikan keringanan (rukhshah) bagi mereka yang memiliki uzur syar’i, yaitu alasan yang sah menurut syariat.
 

Abdullah bin Abdurrahman Bafadhl Al-Hadhrami menjelaskan beberapa uzur yang dibenarkan untuk tidak mengikuti shalat jamaah dan jumat, antara lain sebagai berikut:
 

  1. Turunnya hujan yang membasahi pakaian dan tidak tersedia pelindung untuk menghindarinya.
  2. Mengalami sakit parah yang menyulitkan untuk hadir ke masjid.
  3. Harus merawat orang sakit yang tidak memiliki siapa pun untuk mengurusnya.
  4. Menemani kerabat yang sedang dalam kondisi kritis atau menjelang wafat.
  5. Merasa terancam terhadap keselamatan diri atau harta bendanya.
  6. Sedang berhadapan dengan penagih utang, namun tidak mampu membayar, dan berharap diberi keringanan.
  7. Dalam keadaan menahan hadats dan masih memiliki cukup waktu untuk shalat di rumah.
  8. Tidak memiliki pakaian yang pantas atau layak untuk digunakan shalat berjamaah.
  9. Terlalu mengantuk hingga mengganggu konsentrasi dan kekhusyukan.
  10. Merasakan kelaparan, kehausan, atau kedinginan yang mengganggu.
  11. Sedang bepergian bersama sahabat dekat dan tidak mungkin ditinggalkan.
  12. Baru saja mengonsumsi makanan yang berbau tidak sedap dan tidak bisa dihilangkan baunya.
  13. Atap pasar atau tempat umum runtuh, mengancam keselamatan.
  14. Terjadi gempa bumi yang menimbulkan kekhawatiran.(Al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah, juz I, halaman 90–91)


 

Sayyid Abdurrahman Ba'alawi menjelaskan, diantara kondisi yang dianjurkan untuk menunda shalat (bukan meninggalkan shalat), adalah ketika seseorang sedang sibuk menyembelih binatang yang akan mati.
 

فَائِدَةٌ يُنْدَبُ تَأْخِيرُ الصَّلَاةِ عَنْ أَوَّلِ وَقْتِهَا فِي سَبْعٍ وَعِشْرِينَ صُورَةً … وَخَائِفٍ عَلَى مَعْصُومٍ وَمُشْتَغِلٍ بِذَبْحِ بَهِيمَةٍ مُشْرِفَةٍ عَلَى الْهَلَاكِ أَوْ إِطْعَامِهَا أَوْ قَتْلِ نَحْوِ حَيَّةٍ وَلِشِدَّةِ الْحَرِّ
 

Artinya, “Faidah: Disunnahkan menunda pelaksanaan shalat dari awal waktunya dalam dua puluh tujuh keadaan … di antaranya orang yang khawatir terhadap keselamatan orang yang terjaga darahnya (ma‘ṣūm), orang yang sedang sibuk menyembelih hewan yang hampir mati, memberi makan hewan tersebut, atau membunuh binatang berbahaya semisal ular, dan karena sangat panas." (Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2016] halaman 47).
 

Dari paparan di atas, tugas menyembelih Kurban bukanlah uzur yang memperbolehkan untuk meninggalkan shalat Jumat, kecuali dalam kondisi yang mengkhawatirkan seperti hilangnya binatang qurban atau akan mati, karena termasuk dari khawatir keselamatan diri atau harta.
 

Jadi, shalat Jumat adalah kewajiban besar yang tidak bisa ditinggalkan hanya karena kesibukan biasa. Namun jika panitia Kurban benar-benar menghadapi kondisi darurat, dan kepergian mereka akan mengacaukan pelaksanaan qurban, maka dibolehkan tidak menghadiri Jumat, dengan catatan menggantinya dengan shalat Zuhur.
 

Kendati demikian, semaksimal mungkin panitia hendaknya tetap menunaikan shalat Jumat, dan mengelola waktu serta personel secara profesional agar tidak terjadi tabrakan antara dua ibadah agung: shalat Jumat dan penyembelihan Kurban.
 

Berikut ini beberapa rekomendasi saat penyembelihan Kurban bersamaan dengan hari Jumat:
 

  1. Utamakan pelaksanaan penyembelihan setelah shalat Jumat, jika memungkinkan.
  2. Jika penyembelihan dilakukan pagi hari, jeda sementara untuk shalat Jumat, lalu dilanjutkan setelahnya.
  3. Siapkan jumlah panitia yang cukup, agar tugas lebih ringan dan bisa tetap menunaikan shalat Jumat. Wallahu a’lam bisshawab.
     

Ustadz Muhammad Zainul Millah, Wakil Katib PCNU Kab. Blitar