Syariah

Cara Rasulullah Memperlakukan Wanita Haid

Rab, 23 Agustus 2023 | 16:00 WIB

Cara Rasulullah Memperlakukan Wanita Haid

Cara Rasulullah Memperlakukan Wanita Haid. (Foto: NU Online/Freepik)

Semua perbuatan dan perilaku Rasulullah dalam setiap harinya selalu menjadi teladan yang harus dijadikan contoh oleh semua umatnya, termasuk dalam memperlakukan wanita yang sedang haid. Nabi mengajarkan kita semua bahwa wanita haid bukanlah wanita yang harus ditakuti, dijauhi, dan ditempatkan di tempat yang terpisah dengan keluarganya, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu sebelum datangnya Islam.


Salah satu tradisi buruk dan tidak manusiawi yang terjadi sebelum datangnya Islam menurut Syekh Muhammad Mutawalli ay-Sya’rawi adalah istibdha’, yaitu pernikahan untuk mendapatkan keturunan yang unggul dengan cara suami memerintahkan istrinya untuk berzina dengan laki-laki terpandang yang memiliki kehormatan, tukar menukar istri, dan memperlakukan wanita haid dengan tidak manusiawi. (Syekh Sya’rawi, Fiqhu al-Mar’ah al-Muslimah, [Maktabah Taufiqiyah: 2019], halaman 8-9).


Itulah gambaran sederhana keadaan wanita haid sebelum datangnya Islam. Mereka benar-benar tidak mendapatkan keadilan, diperlakukan dengan tidak manusiawi, dan tidak mendapatkan kehormatan sama sekali, bahkan keberadaan mereka hanya dianggap sebagai komoditi pemuas syahwat saja. Keberadaannya dihinakan dan hak-haknya banyak terabaikan.


Islam Datang Memberikan Kemuliaan pada Wanita

Setelah tradisi yang tidak manusiawi itu terus berkembang dan berlanjut, akhirnya Allah swt mengutus Rasulullah untuk kembali menyerukan ajaran kebenaran yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sehingga hak-hak wanita dan kehormatannya tidak terabaikan. Mereka hidup sebagai manusia yang terhormat dan mulia. Sedangkan ketika haid, Islam hanya melarang untuk menggauli mereka, bukan menjauhi atau menganggap najis kulitnya. Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an:


وَيَسْأَلونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذىً فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ


Artinya, “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu, jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.” (QS Al-Baqarah [2]: 222).


Merujuk pendapat Imam Abu Abdillah Syamsuddin al-Qurthubi (wafat 671 H) dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa penyebab turunnya ayat ini adalah karena sikap orang-orang Yahudi yang memberlakukan wanita tidak pada semestinya. Mereka tidak mau makan bersamanya, tidak mau serumah dengannya, dan tidak mau mendekat dengannya.


Kebiasaan yang tidak manusiawi itu akhirnya mendapatkan respon dari Allah dengan turunnya ayat di atas. Kemudian Nabi Muhammad saw bersabda:


اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ


Artinya, “Kerjakanlah setiap sesuatu kecuali nikah (bersetubuh).”


Selang beberapa waktu setelah ayat ini turun, sampailah berita ini kepada orang-orang Yahudi. Mereka kemudian berkata, “Tidak ada sesuatu yang dikehendaki laki-laki ini (Rasulullah) untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang ada pada kami, kecuali kami akan berselisih dengannya.


Kemudian datanglah Usaid bin Hudhair dan Abbad bin Basyir mendatangi Rasulullah untuk menceritakan sikap yang ditampakkan orang Yahudi, sekaligus untuk menanyakan sikap yang sebenarnya kepada Rasulullah. Ia berkata: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya orang-orang Yahudi berkata demikian dan demikian. Apakah kami tidak boleh menyetubuhi wanita saat haid sekalian?


Mendengar penjelasan dan pertanyaan tersebut, seketika itu wajah Rasulullah berubah hingga terlihat marah dari wajahnya. (Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Darul Alimil Kutub: 2003], juz III, halaman 81).


Perlakuan Rasulullah Pada Wanita Haid

Dalam memperlakukan wanita haid, Rasulullah merupakan tipikal insan terbaik yang harus dijadikan contoh ketika memperlakukan istrinya yang sedang haid. Nabi tidak pernah menjauhi istrinya di saat itu, apalagi menempatkannya di tempat yang tidak layak, bahkan ia sering bersama dengan istrinya yang sedang haid. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat Sayyidah Siti Aisyah, ia berkata:


كُنْتُ أَشْرَبُ وَأَنَا حَائِضٌ وَأُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ فَيَشْرَبُ وَأَتَعَرَّقُ الْعَرْقَ وَأَنَا حَائِضٌ وَأُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ


Artinya, “Aku (Aisyah) minum ketika aku sedang haid, kemudian aku memberikannya kepada Nabi Muhammad saw, lalu ia meletakkan mulutnya pada tempat mulutku. Aku juga pernah menggigit daging ketika aku sedang haid, kemudian (sisa dagingnya) aku berikan kepada nabi, maka ia meletakkan mulutnya di tempat mulutku.” (HR Aisyah).


Dengan demikian, bercumbu rayu dengan istri yang sedang haid, duduk dengannya, makan bersama, mengambil sisa-sisa makanan dan minumannya diperbolehkan, bahkan dengan cara ini juga bisa menjadi alternatif untuk membangun keluarga yang semakin harmonis dan romantis.


Tidak sebatas itu, dalam riwayat yang lain juga menyebutkan bahwa Rasulullah pernah membaca Al-Qur’an di pangkuan istrinya yang sedang haid. Hal ini sebagaimana dalam riwayat Sayyidah Siti Aisyah, ia berkata:


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَّكِئُ فِى حِجْرِى وَأَنَا حَائِضٌ فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ


Artinya, “Rasulullah saw bersandar di pangkuanku (Aisyah) ketika aku haid, kemudian ia membaca Al-Qur’an.”


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ  يُدْنِى إِلَىَّ رَأْسَهُ وَأَنَا فِى حُجْرَتِى فَأُرَجِّلُ رَأْسَهُ وَأَنَا حَائِضٌ


Artinya, “Rasulullah mendekatkan kepalanya kepadaku ketika aku ada dalam kamarku, kemudian aku rapikan rambutnya, dan (saat itu) aku sedang haid.


Dari beberapa penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa betapa Rasulullah memuliakan istrinya yang sedang haid dengan sangat mulia dan terhormat. Nabi tidak pernah menjauhi mereka, bahkan nabi yang selalu mendekat kepadanya dan memanjakannya. Karena itu, anggapan bahwa wanita haid harus dijauhi karena kulitnya najis tidak bisa dibenarkan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.