Syariah

Fiqih Zakat: Hukum Membayar Zakat dengan Piutang

Jum, 14 April 2023 | 11:00 WIB

Fiqih Zakat: Hukum Membayar Zakat dengan Piutang

Ilustrasi: uang - rupiah (freepik).

Terkadang pihak pemberi zakat dan mustahiq zakat memiliki hubungan utang piutang, sehingga tak jarang ditemukan praktek pembayaran zakat dengan cara membebaskan tanggungan utang.

 

Zakat adalah salah satu ibadah wajib yang menjadi bukti nyata perhatian syariat terhadap kondisi ekonomi sosial kemasyarakatan. Dengan zakat kelompok masyarakat yang membutuhkan akan terbantu memenuhi kebutuhan sehari-seharinya. Harta zakat yang dikeluarkan pada hakikatnya tidak berkurang, bahkan terus bertambah karena keberkahan mengeluarkannya dan doa pihak penerima zakat. Di samping itu, zakat dapat menyucikan muzakki dari dosa dan menjadi saksi keseriusannya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
 

Selain zakat, ibadah yang bernilai pahala besar adalah mengutangkan harta kepada pihak yang membutuhkan. Sebab di dalamnya mengandung unsur menghilangkan beban kesusahan pihak lain. Bahkan merujuk sebuah hadits, Allah mengganjar orang yang mengutangkan harta dengan dihilangkan penderitaan di hari kiamat kelak (HR Muslim).
 

Fuqaha menyebut akad iqradh (mengutangkan) dengan akad irfaq (berderma). Karenanya tidak diperbolehkan mensyaratkan pelunasan utang melebihi nominal utang. Dalam iqradh, tidak ada ruang mengambil keuntungan sama sekali, murni untuk berderma dan membantu orang lain.
 

Dari sini dapat dipahami, antara zakat dan utang memiliki korelasi peran berupa membantu meringankan beban orang yang membutuhkan. Keduanya merupakan ibadah sosial yang memiliki kontribusi nyata dalam membantu sesama.
 

Yang menarik, terkadang pihak pemberi zakat dan mustahiq zakat memiliki hubungan utang piutang, sehingga tak jarang ditemukan praktek pembayaran zakat dengan cara membebaskan tanggungan utang. Dalam arti zakatnya muzakki dikeluarkan dalam bentuk pembebasan hutang atas pihak yang berhutang.
 

Hal ini dapat diilustrasikan semisal Zaid mengutangkan uang senilai 700.000 kepada Umar. Pada saat Zaid berkewajiban mengeluarkan zakat tijarah misalnya, ia memilih untuk menunaikannya kepada Umar namun dalam bentuk pembebasan hutang 700.000 Umar kepadanya.
 

“Hutangmu senilai 700.00 kepadaku saya bebaskan atas nama zakatku”, demikian Zaid berujar kepada Umar.
 

Lalu apa hukum membebaskan piutang dijadikan zakat sebagaimana praktek tersebut? Atau apa hukum membayar zakat dengan pituang yang ada pada orang lain?

 

Perlu diketahui, dalam setiap transaksi disyaratkan adanya dua pihak yang memiliki peran berbeda, yaitu pihak penyerah barang dan pihak penerima. Semisal dalam transaksi jual beli, penjual sebagai pihak yang menyerahkan barang dan pembeli sebagai pihak penerimanya.
 

Menurut pendapat yang kuat, dualisme peran menyerahkan dan menerimakan barang oleh satu pihak tidak diperbolehkan, dalam fiqih diberi istilah “ittihadul qabidh wal muqbidh”. Mengapa tidak boleh? Karena berpotensi memberikan kerugian kepada salah satu pihak. Sebab bila orang berperan sebagai penerima barang untuk dirinya, tentu dengan sekuat tenaga ia akan berhati-hati supaya tidak rugi. Namun bila ia juga berperan menyerahterimakan atas nama orang lain, belum tentu ia dapat melaksanakannya dengan jujur.
 

Potensi kecurangan dan stigma negatif/ kesalahpahaman (tuhmah) tidak dapat dihindari. Kaidah ini sekaligus sebagai tindakan preventif untuk menutup rapat pintu kecurangan dalam sebuah transaksi. Sebab tingkat kejujuran seseorang tidak dapat dibatasi. Karena itu fiqih melarang praktek ittihadul qabidh wal muqbidh, sebagaimana diungkapkan oleh Imam As-Suyuthi:  
 

اتحاد القابض والمقبض ممنوع لأنه إذا كان قابضا لنفسه احتاط لها وإذا كان مقبضا وجب عليه وفاء الحق من غير زيادة فلما تخالف الغرضان والطباع لا تنضبط امتنع الجمع ولهذا لو وكل الراهن المرتهن في بيع الرهن لأجل وفاء دينه لم يجز لأجل التهمة واستعجال البيع 
 

Artinya, “Tunggalnya pihak penerima dan penyerah barang tidak diperbolehkan, sebab orang yang berstatus penerima untuk diri sendiri akan melakukan kehatian-hatian (agar dirinya tidak dirugikan), sedangkan peran sebagai penyerah barang mempunyai tanggung jawab memenuhi hak tanpa adanya tambahan apapun. Karenanya kedua tujuan itu akan saling berlawanan dan karakter orang tidak mungkin dapat dibatasi, sehingga kedua peran tersebut tidak boleh berada dalam diri satu orang. Karenanya apabila orang yang menggadaikan barang mewakilkan penjualan barang gadaiannya kepada pihak penerima gadai agar bisa digunakan untuk melunasi hutangnya, maka tidak mencukupi (tidak sah), sebab rawan terjadi kesalahpahaman mempercepat penjualan harta gadaian.” (Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazhair, juz II, halaman 26).
 

Atas dasar prinsip di atas, wakil penyaluran zakat tidak boleh memberikan zakatnya muzakki kepada dirinya sendiri. Sebab ia berperan ganda sebagai penerima untuk dirinya, dan sebagai pihak yang menyerahkan sebagai wakil dari muzakki. Syekh Abdullah bin Hijazi As-Syarqawi mengatakan:
 

ولا يجوز للوكيل الأخذ منها لاتحاد القابض والمقبض نعم إن عين له قدرا جاز لأن المقبض حينئذ هو المالك

 

Artinya: “Tidak diperbolehkan bagi wakil untuk mengambil dari zakat sebab akan terjadi ketunggalan pihak penerima dan pemberi. Namun apabila pihak muzakki sudah menentukan kadar tertentu baginya (wakil), maka diperbolehkan sebab orang yang menyerahterimakan adalah si pemilik harta (muzakki).” (Abdullah bin Hijazi bin Ibrahim AS-Syarqowi, Hasyiyah As-Syarqawi, juz II, Halaman 108).
 

Demikian pula dalam kasus penunaian zakat dari pembebasan piutang atas orang lain, hukumnya tidak sah dan tidak mencukupi sebagai zakat menurut pendapat Al-Aujah (yang lebih kuat). Sebab terdapat unsur ittihadul qabidh wal muqbidh, atau tunggalnya pihak penerima dan pihak yang menyerahkan. Dalam hal ini, pihak mustahiq zakat yang juga pihak yang berutang berperan ganda sebagai pihak yang menyerahkan harta zakat atas nama muzakki dan penerima zakat atas nama dirinya sendiri. 
 

Menurut pendapat ini, solusi supaya terhindar dari praktek yang dilarang adalah didahului proses serah terima pelunasan utang terlebih dahulu, kemudian pihak muzakki memberikannya lagi kepada mustahiq zakat dengan niat membayar zakat. Yang demikian sah dan mencukupi.
 

Akan tetapi praktek membayar zakat den​​​​​​​gan piutan​​​​​​​g kepada orang yang berutang​​​​​ menurut pendapat yang lemah diperbolehkan dan sah sebagai zakat. Sebab disamakan dengan praktek harta titipan yang berada di tangan mustahiq zakat, kemudian pihak pemilik harta memberikan hak kepemilikannya atas harta tersebut kepada pihak mustahiq yang dititipi tersebut atas nama zakat. Maka sah dan mencukupi sebagai zakat.
 

Ikhtilaf tersebut sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fathul Mu’in dan Hasyiyah I’anatut Thalibin sebagai berikut:
 

ولو قال لغريمه جعلت ما عليك زكاة لم يجزئ على الأوجه إلا إن قبضه ثم رده إليه
 (قوله: ولو قال) أي الدائن لغريمه، أي المدين.(قوله: لم يجزئ) أي لم يجزئ ما جعله له عن الزكاة لاتحاد القابض والمقبض. (قوله: على الأوجه) مقابله يجزئ، كالوديعة إذا كانت عند مستحق للزكاة فملكه المالك إياها زكاة، فإنه يجزى.(قوله: إلا إن قبضه الخ) أي إلا إن قبض الدائن دينه من المدين، ثم رده على مدينه بنية الزكاة، فإنه يجزئ عن الزكاة

 

Artinya, “Jika pihak yang mengutangkan berkata kepada orang yang berutang, “Saya jadikan utang yang menjadi tanggunganmu sebagai zakat”, maka menurut pendapat yang kuat hukumnya tidak mencukupi, kecuali apabila ia menerimanya, kemudian mengembalikannya kepada pihak yang berutang. Ungkapan mushanif “tidak mencukupi”, maksudnya adalah tidak mencukupi sebagi zakat karena tunggalnya pihak yang menyerahkan dan menerima harta. Ungkapan mushanif “menurut pendapat yang kuat”, menurut pendapat pembandingnya adalah cukup sebagai zakat, seperti harta titipan yang berada pada mustahiq zakat yang kemudian dialihkan kepemilikannya oleh pemilik harta kepada pihak mustahiq tersebut sebagai zakat, maka mencukupi sebagai zakat. Ungkapan mushanif “kecuali apabila ia menerimanya dan seterusnya”, maksudnya kecuali apabila pihak pemberi utang menerima pelunasan utangnya dari orang yang berhutang, kemudian ia mengembalikannya kepada orang yang berutang dengan niat zakat, maka mencukupi sebagai zakat.” (Zainuddin Ahmad bin Abdil Aziz Al-Malibari dan Abu Bakar bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Fathul Mu’in dan Hasyiyah I’anatut Thalibin, juz II, halaman 218).

 

Simpulan Hukum

Walhasil, praktek pembayaran zakat dari pembebasan utang atas mustahiq zakat hukumnya tidak sah dan tidak mencukupi menurut pendapat yang kuat, kecuali didahului skenario serah terima utang terlebih dahulu, baru kemudian dilanjutkan serah terima zakat dari pihak muzakki kepada mustahiq zakat. Hal i​ni ​ber​beda de​nga​n pe​ndapat lemah ya​ng me​nga​bsahka​n​nya. Wallahu a’lam.


 

 

Ustadz Mohammad Mubasysyarum Bih, Wakil Ketua LBM PWNU Jawa Barat dan Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.