Syariah

Hukum Ojek Membonceng Perempuan yang Bukan Mahram

Sab, 25 November 2023 | 08:00 WIB

Hukum Ojek Membonceng Perempuan yang Bukan Mahram

Ojek online. (Foto: NU Online/Freepik)

Salah satu topik pembahasan yang sangat kompleks dan perlu dikaji secara mendalam adalah hukum boncengan laki-laki dan perempuan. Topik yang satu ini menjadi pembahasan yang cukup rumit dan sering kali menjadi subjek perdebatan. 


Boncengan laki-laki dan perempuan pada hakikatnya bukanlah suatu kejadian baru yang hanya terjadi belakangan ini setelah munculnya ojek online. Bahkan sejak masa Rasulullah pun boncengan antara laki-laki dan perempuan juga pernah terjadi. Misal Rasulullah pernah membonceng Asma bint Abu Bakar, sebagaimana disebutkan dalam satu riwayat, yaitu:


حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ أَخْبَرَنِى أَبِى عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِى بَكْرٍ قَالَتْ فَجِئْتُ يَوْمًا وَالنَّوَى عَلَى رَأْسِى فَلَقِيتُ رَسُولَ اللَّهِ وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَدَعَانِى ثُمَّ قَالَ « ِخْ إِخْ». لِيَحْمِلَنِى خَلْفَهُ قَالَتْ فَاسْتَحْيَيْتُ


Artinya, “Telah menceritakan kepadaku Abu Samah dari Hisyam, ayahku telah bercerita kepadaku dari Asma binti Abu Bakar, ia berkata: Pada suatu hari aku membawa kurma diletakkan di atas kepalaku. Di tengah jalan aku bertemu Rasulullah serta beberapa orang dari sahabat-sahabatnya, kemudian nabi mengajak-ku sambil berkata “ikh! Ikh!” (Kata beliau untuk menghentikan untanya) untuk membonceng-ku di belakangnya. Kemudian Asma berkata: kemudian aku malu.” (HR Bukhari).


Lantas, bagaimana sebenarnya hukum tukang ojek membonceng wanita yang bukan mahramnya? Berikut penjelasan detailnya.


Pembahasan tentang hukum laki-laki dan perempuan di suatu tempat merupakan salah satu pembahasan yang sangat kompleks dalam ilmu fiqih. Termasuk juga ketika membahas tentang boncengan laki-laki dan perempuan. Para ulama pun menilai hukumnya tergantung pada motif dari keduanya. Jika seorang laki-laki membonceng mahramnya, maka hukumnya diperbolehkan karena aman dari terjadinya fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan.


Sedangkan hukum laki-laki membonceng perempuan yang bukan mahramnya boleh jika dapat dipastikan aman dari fitnah dan dari hal-hal yang tidak diinginkan. Pendapat ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam salah satu kitabnya, berdasarkan hadits Rasulullah yang membonceng Asma binti Abu Bakar di atas, ia mengatakan:


وَفِيْهِ جَوَازُ اِرْدَافِ الْمَرْأَةِ الَّتِى لَيْسَتْ مَحْرَمًا اِذَا وُجِدَتْ فِى طَرِيْقٍ قَدْ أُعِيَتْ لاَ سِيَّمًا مَعَ جَمَاعَةِ رِجَالٍ صَالِحِيْنَ وَلاَ شَكَّ فِى جَوَازِ مِثْلِ هَذَا


Artinya, “Dalam penjelasan hadits ini (hadits Asma) terdapat kebolehan membonceng seorang wanita yang bukan mahramnya, hal itu apabila wanita itu ditemukan di jalan dan dalam keadaan lelah, terlebih lagi bersama kumpulan laki-laki saleh, maka tidak ada keraguan dalam kebolehan masalah seperti ini.” (Imam Nawawi, Syarah an-Nawawi ‘alal Muslim, [Beirut, Darul Ihya at-Turats: 1392], juz XIV, halaman 166).


Namun demikian, boncengan laki-laki dan perempuan untuk konteks saat ini perlu dikaji dan ditelaah lebih mendalam lagi. Setidaknya ada dua poin inti dalam hal ini, yaitu: (1) tidak terjadi khalwah; dan (2) tidak terjadi ikhtilath antara keduanya. Mari kita bahas dua poin ini satu persatu.


Khalwah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama ahli fiqih adalah berkumpulnya laki-laki dan perempuan di tempat yang sepi tanpa ada ikatan pernikahan atau tidak ada hubungan mahram antar keduanya. Hal ini sangat dilarang dalam Islam berdasarkan salah satu hadits Rasulullah dalam riwayat Imam Ahmad, yaitu:


لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ


Artinya, “Jangan sampai seorang laki-laki berduaan dengan perempuan di tempat sepi, karena yang ketiganya adalah setan.


Dengan demikian, boncengan laki-laki dan perempuan sebagaimana yang sudah terjadi tidak bisa dinilai sebagai khalwah yang diharamkan, karena hal itu dilakukan di tempat-tempat ramai dan tidak dengan tujuan untuk berduaan. Kebolehan berduaan laki-laki dan perempuan di satu tempat ini sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain Baalawi, dalam kitabnya ia mengatakan:


لَوْ دَخَلَتْ اِمْرَأَةٌ الْمَسْجِدَ عَلىَ رَجُلٍ لَمْ تَكُنْ خَلْوَةً لِأَنَّهُ يَدْخُلُهُ كُلُّ أَحَدٍ. وَإِنَّمَا يُتَّجَهُ ذَلِكَ فِي مَسْجِدٍ مَطْرُوْقٍ لاَ يَنْقَطِعُ طَارِقُوْهُ عَادَةً، وَمِثْلُهُ فِي ذَلِكَ الطَّرِيْقُ أَوْ غَيْرُهُ


Artinya, “Jika ada seorang wanita memasuki masjid yang di dalamnya terdapat satu laki-laki, maka hal ini tidak bisa disebut khalwah yang diharamkan, karena masjid biasa dimasuki oleh setiap orang. Namun yang bisa dijadikan pedoman dalam hal ini hanyalah masjid yang sudah menjadi tempat lalu lalangnya manusia (bukan masjid pedalaman yang jarang didatangi orang-orang), dan dinilai sama dengan masjid adalah jalan atau lainnya.” (Sayyid Abdurrahman, Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut: Darul Fikr: tt], halaman 416).


Sedangkan yang dimaksud dengan ikhtilath adalah sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abu Bakar Syata ad-Dimyathi dalam kitab I’anatut Thalibin, beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ikhtilath yang diharamkan adalah bersentuhan badan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. (Lihat, I’anatut Thalibin ‘ala Halli Alfazi Fathil Mu’in, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz I, halaman 313).


Dari beberapa penjelasan ini, maka dapat dipastikan bahwa dalam praktik ojek tidak bisa dikatakan terjadi khalwah yang diharamkan dan ikhtilath yang diharamkan. Sebab, praktik ojek yang ada melalui jalan-jalan umum yang biasa dilewati oleh manusia, dan tidak sampai terjadi persentuhan antara kulit laki-laki dan perempuan.


Dengan demikian, maka hukum tukang ojek membonceng wanita yang bukan mahramnya adalah diperbolehkan, sepanjang masih menjaga etika-etika yang telah diatur dalam syariat Islam, seperti tidak sampai menyentuh kulit penumpang wanitanya dan tidak ada tujuan-tujuan negatif selama perjalanan. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.