Syariah

Hukum Pewarna Makanan dari Serangga menurut Syekh Ali Jum'ah

Sab, 28 Oktober 2023 | 06:00 WIB

Hukum Pewarna Makanan dari Serangga menurut Syekh Ali Jum'ah

Pewarna buatan. (Foto: Nu Online/Freepik)

Otoritas fatwa Mesir Darul Ifta al-Mishriyah mengeluarkan fata pada 23 Januari 2011 nomor 868 dengan mufti Al-Ustadz Ad-Duktur Ali Jum'ah Muhammad mengeluarkan fatwa tentang pemakaian warna pada makanan yang diekstrak dari kulit jenis serangga yang banyak digunakan pada makanan dan permen. 


Bagaimana hukum Islam mengenai warna yang digunakan pada makanan yang disebut Red 40? Warna tersebut diambil dari cangkang serangga yang berwarna merah. Cangkangnya dicairkan untuk mengekstrak warna merah untuk digunakan pada banyak permen seperti M & MS. Bolehkah makan pewarna tersebut?


Dalam pandangannya berdasarkan hukum Islam, diperbolehkan menggunakan zat perwarna ini dengan memasukkannya ke dalam makanan dan manisan atau permen, kecuali terbukti berbahaya bagi kesehatan manusia. Hukum syara' dalam masalah ini didasarkan pada istihalah dalam menghilangkan sifat najis, atau diperbolehkannya untuk di konsumsi. Lebih lanjut beliau menjelaskan: 


والاستحالة: هي تَحَوُّل الأعيان وانقلاب الحقائق عن طبيعتها وأوصافها؛ حيث ترتب وصف النجاسة أو الاستقذار على حقيقة بعينها، وقد زالت، فيزول الوصف بزوالها، وهذه المواد المستخلصة من قشرة هذا النوع من الحشرات تجري عليها تفاعلات فيزيائية وكيميائية تغير من بنيتها الكيميائية تغييرًا كاملًا حينما تتحول إلى مادة مكسبة للون، مما يجعلها في نهاية المطاف طاهرة يجوز أكلها، بشرط عدم الضرر، هذا عند من يقول بتحريم تناول الحشرات؛ لاستقذارها أو نجاستها، وهم جمهور الفقهاء


Artinya: "Istihalah adalah tranformasi atau perubahan sesuatu dari sifat aslinya sekiranya sifat aslinya yang najis atau yang menjijikan menghilang, sifatnya menjadi hilang dengan hilangnya sesuatu tersebut. Zat yang diekstraksi dari cangkang atau kulit serangga jenis ini mengalami reaksi fisika dan kimia yang mengubah struktur kimianya sepenuhnya ketika diubah menjadi zat pewarna. Dan pada akhirnya, hal ini menjadikannya suci dan diperbolehkan memakannya, asalkan tidak menimbulkan bahaya. Ini bagi ulama yang mengharamkan memakan serangga karena menjijjkannya atau kenajisannya, yakni pendapat mayoritas fuqaha'." 


Madzhab Maliki berbeda dalam permasalahan ini, mereka memperbolehkan memakan serangga dengan syarat disembelih. Dan menurut mereka, penyembelihanya cukup dengan segala sesuatu yang mematikannya. Imam Ibnu Hajib al-Maliki dalam kitabnya Jami'ul Umahat halaman 224 mengatakan: "Khasasul ard (cacing tanah) dapat dimakan dan penyembelihanya sebagaimana belalang. Bila khasas (hewan melata) terjatuh ke dalam ketel ia dapat dimakan, ulatnya makanan tidak haram dimakan bersama makanan."


Kemudian berkaitan dengan penyembelihan belalang beliau menyebutkan penjelasan Ibnu Rusyd dalam kitabnya al-Bayan Wat Tahshil sebagai berikut: 


اختُلف في الجراد، فقيل: إنه لا يُحتاج فيه إلى ذكاة ويجوز أكل ما وُجِدَ منه ميتًا، وقيل: إنه لا بد فيه من الذكاة، وذكاتها: أن يفعل بها ما تموت به معجلًا باتفاقٍ، كقطع رؤوسها، أو نقرها بالإبر أو الشوك، أو طرحها في النار أو الماء الحار، وما أشبه ذلك، أو أن يفعل ما تموت به وإن لم يكن معجلًا على اختلافٍ، كقطع أرجلها وأجنحتها، وإلقائها في الماء البارد، وما أشبه ذلك؛ لأن سحنون وغيره لا يرى فيها ذكاة،  وقد قيل: إنَّ أخْذَها ذكاةٌ، وتُؤْكَل إن ماتت بعد أخذها بغير شيء فُعِلَ بها، وهو قول ابن حبيب من أصحاب مالك] اهـ.


Artinya: "Ulama berbeda pendapat terkait belalang. Satu pendapat mengatakan: "Belalang tidak butuh disembelih, dan diperbolehkan memakan belalang mati." Adapun penyembelihannya yang disepakati  adalah dengan memperlakukannya dengan cara yang dapat mematikannya dengan cepat, seperti memotong kepalanya, melubanginya dengan jarum atau duri, atau dimasukkan ke dalam api, air panas dan yang serupa dengannya. Terdapat perbedaan pendapat ulama terkait penyembelihan dengan diperlakukan cara yang dapat mematikannya sekalipun tidak secara cepat seperti memotong kaki-kaki, sayap-sayapnya, menjatuhkannya ke dalam air dingin dan yang menyerupainya, hal ini karena Imam Sahnun dan selainnya tidak memandangnya sebagai menyembelih." 


Pendapat lain mengatakan: "Mengambil belalang adalah bentuk penyembelihan, ia dapat dimakan bila mati setelah diambil dengan tanpa diapa-apakan sebelumnya. Ini merupakan pendapat Ibnu Habib dari Ashab Maliki." (Ibnu Rusyd, al-Bayan wat Tahshil, [Darul Ghurob al-Ismali: tt]  juz III halaman 306).


Abu Barakat Ahmad ad-Dardiri dalam Syarhul Kabir mengatakan terkait hewan-hewan yang dapat dimakan adalah seperti kalajengking, kumbang, kutu, kecoa, jenis belalang, semut, ulat dan ngengat.


Berdasarkan penjelasan ini, Syekh Ali Jum'ah Muhammad memutuskan diperbolehkan menggunakan zat pewarna yang berasal dari kulit serangga dalam makanan selama tidak membahayakan kesehatan manusia. Wallahu a'lam bisshawab.


Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo