Syariah

Ini Dalil Al-Qur’an Hadits tentang Dam Wajib dalam Haji dan Penjelasan Lengkapnya

Jum, 8 September 2023 | 12:30 WIB

Ini Dalil Al-Qur’an Hadits tentang Dam Wajib dalam Haji dan Penjelasan Lengkapnya

Petugas Rumah Penyembelihan Hewan (RPH) Al-Ukaisyiyah di Makkah menyiapkan kambing-kambing yang akan disembelih untuk pembayaran dam para petugas dan jamaah haji. (Foto ilustrasi: MCH)

Dalam waktu dekat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan menggelar Munas dan Konbes NU 2023. Banyak permasalahan aktual yang akan dibahas di dalamnya, di antaranya adalah Optimalisasi Tata Kelola dam Manfaat Dam Haji yang akan dibahas di dalam forum bahtsul masail Komisi Waqi’iyah. Berkaitan hal itu, tulisan ini menjelaskan dalil Al-Qur'an hadits dan penjelasannya tentang dam Haji.

 

Secara umum, ketentuan ibadah haji dan umrah berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadits. Termasuk pula lima dam wajib haji dan umrah. Namun secara detail ijtihad ulama menjelaskan secara lebih luas dalam hal-hal yang belum tercover secara tekstual oleh dalil Al-Qur’an dan hadits.

 

Masing-masing lima macam dam wajib ini berdasarkan dalil Al-Qur’an atau hadits, kecuali dam karena melakukan jimak di tengah-tengah ihram haji atau umrah.

 

Pertama, dalil dam karena meninggalkan ibadah yang diperintahkan dalam ihram, yaitu surat Al-Baqarah ayat 196, khususnya pada frasa: 

 

فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ

 

Artinya, “Maka siapa yang mengerjakan umrah sebelum haji (tamatu’), dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Akan tetapi, jika tidak mendapatkannya, dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (masa) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali.”

 

Frasa ayat menunjukkan bahwa siapa saja yang melakukan ibadah haji dan umrah secara tamattu’, yaitu ihram umrah dulu kemudian baru ihram haji tanpa keluar dahulu ke miqat, maka ia wajib membayar dam tersebut karena ia meninggalkan kewajibah haji berupa ihram dari miqat.

 

Ayat di atas hanya menjelaskan dam tamattu’. Adapun dam lainnya, yaitu dam qiran, dam fawat, dam karena meninggalkan ibadah yang telah dinazarkan, dam karena tidak mabit di muzdalifah dan di mina, dam karena tidak melempar jumrah, dan tidak melakukan thawaf wada’, oleh para ulama diqiyaskan padanya.

 

Kedua, dalil dam karena mencukur rambut dan taraffuh (mengambil kenyamanan) seperti memakai wewangian, minyak rambut dan semisalnya, juga berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 196, tepatnya dalam frasa:

 

وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ

 

Artinya, “Dan jangan mencukur (rambut) kepalamu sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepala (lalu dia bercukur), dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban..”

 

Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang sakit secara umum atau sakit kepala (gatal karena kutu dan semisalnya), lalu mencukur rambut kepalanya, maka wajib menunaikan dam seperti dalam ayat.  Memang yang disebutkan oleh ayat hanya mencukur rambut karena sakit. Namun demikian, orang yang mencukur rambut tanpa uzur sakit disamakan dengannya. Cukur rambut karena sakit saja kena dam, apalagi hanya iseng-iseng belaka, tentu lebih layak diwajibkan dam kepadanya.

 

Demikian pula orang yang melakukan taraffuh (mengambil kenyamanan) seperti memakai wewangian, minyak rambut dan semisalnya, baik karena uzur atau tidak, maka sama seperti itu, wajib membayar dam secara opsional, memilih antara puasa (3 hari), sedekah (makanan pokok 3 mud), atau menyembelih kambing. (As-Suyuthi, Tafsirul Jalalain, juz I, halaman 38).

 

Tiga opsi dam ini juga dijelaskan dalam hadits riwayat Ka’ab bin ’Ujrah yang menjadi penyebab turunnya ayat di atas. Diriwayatkan:

 

عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَرَّ بِهِ زَمَنَ الْحُدَيْبِيَةِ فَقَالَ لَهُ: آذَاكَ هَوَامُّ رَأْسِكَ. قَالَ: نَعَمْ. فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم: احْلِقْ رَأْسَكَ ثُمَّ اذْبَحْ شَاةً نُسُكًا أَوْ صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ أَوْ أَطْعِمْ ثَلاَثَةَ آصُعٍ مِنْ تَمْرٍ عَلَى سِتَّةِ مَسَاكِينَ. (متفق عليه

 

Artinya, “Diriwayatkan dari Ka’ab bin ’Ujrah ra: “Sungguh Rasulullah saw melewatiku di waktu perjanjian Hudaibiyah, lalu ia bersabda: “Apakah kutu kepalamu membuatmu sakit?”. Ka’ab menjawab: “Iya.” Lalu Nabi saw bersabda kepadanya: “Cukurlah rambut kepalamu, lalu sembelihlah kambing sebagai nusuk (ibadah menunaikan dam), puasa tiga hari, atau memberi makan (makanan pokok) sejumlah tiga sha’ kurma kepada enam orang miskin.” (Muttafaq ’alaih).

 

Ketiga, dalil dam yang wajib karena ihshar atau terhalang dari semua jalan untuk menyempurnakan nusuk (haji atau umrah) sampai selesai. Ini berdasarkan frasa awal ayat 196 surat Al-Baqarah sebagai berikut:

 

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ

 

Artinya, “Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah. Lalu jika kalian terhalangi untuk menyempurnakannya, maka kalian wajib membayar dam yang mudah (menyembelih kambing).”

 

Pelaksanaan dam ihshar seperti ini pernah dipraktikan oleh Rasulullah saw dan para sahaat dengan menyembelih kambing saat terhalang untuk umrah pada tahun 6 Hijriah saat perdamaian Hudaibiyah. Diriwayatkan:

 

عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَدْ أُحْصِرَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم، فَحَلَقَ وَجَامَعَ نِسَاءَهُ وَنَحَرَ هَدْيَهُ حَتَّى اِعْتَمَرَ عَامًا قَابِلًا. (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ). وفي روايه له:   فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ قَضِيَّةِ الْكِتَابِ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ( صلى الله عليه وسلم ) لأصْحَابِهِ : قُومُوا فَانْحَرُوا ، ثُمَّ احْلِقُوا

 

Artinya, “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: “Rasulullah saw benar-benar terhalang menyempurnakan umrah (pada tahun perjanjian Hudaibiyah). Lalu ia (bertahallul dengan) mencukur rambut, menggauli istri-istrinya, dan menyembelih kambing, sampai umrah di tahun berikutnya.” (HR Al-Bukhari).

 

Dalam riwayat Al-Bukhari lainnya disebutkan: “Seusai penulisan perjanjian Hudaibiah Rasululla saw bersabda kepada para sahabatnya: “Berdirilah kalian, lalu sembelihlah hewan hadyu (dam) kalian, dan cukurlah rambut kalian.”

 

Secara teknisnya, penyembelihhan hewan dam ihshar ini harus didahulukan, baru kemudian bercukur, sesuai petunjuk frasa ayat:

 

وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ 

 

Artinya, “Dan jangan mencukur (rambut) kepalamu sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya.”

 

Keempat, dalil dam yang wajib karena membunuh atau melumpuhkan hewan buruan dan karena memotong pohon tanah haram Makkah. Dam ini berdasarkan surat Al-Maidah ayat 95:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ 

 

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh hewan buruan, ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, dendanya (ialah menggantinya) dengan hewan ternak yang sepadan dengan (hewan buruan) yang dibunuhnya menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadyu (hewan kurban) yang (dibawa) sampai ke Ka‘bah atau (membayar) kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa, seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, agar dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan perbuatan yang telah lalu. Siapa kembali mengerjakannya, pasti Allah akan menyiksanya. Allah Mahaperkasa lagi Maha Memiliki (kekuasaan) untuk membalas.”

 

Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang sedang ihram haji atau umrah haram membunuh hewan buruan tanah haram, jika membunuhnya maka wajib membayar dam secara takhyir atau opsional, yaitu memilih antara menyembelih hewan yang sepadan, sedekah makanan pokok seharga hewan yang sepadan kepada fakir miskin tanah haram, atau pindah pada penggantinya dengan puasa sehari untuk setiap mud makanan pokok tersebut. (As-Suyuthi, juz I, halaman 158).

 

Merujuk mazhab Syafi’i, hal ini berlaku baik pembunuhan hewan buruan itu dilakukan secara sengaja atau tidak, meskipun ayat sekilas terlihat menyarat adanya kesengajaan. Sebab setiap sesuatu yang sengajanya harus ditanggung dengan harta, demikian pula ketidaksengajaannya.  Hal ini seperti kasus merusak harta orang lain, sengaja atau tidak tetap harus mengganti rugi. (As-Syirazi, Al-Muhaddzab, juz I halaman, 211).

 

Demikian ini dam yang wajib karena membunuh atau melumpuhkan hewan buruan. Adapun dam karena memotong pohon tanah haram Makkah, maka disamakan padanya. Imam An-Nawawi menyatakan, dam pemotongan pohon tanah haram seperti dam hewan buruan. (An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, juz III, halaman 184).

 

Kelima, dalil dam yang wajib karena melakukan jimak di tengah-tengah ihram, yaitu Jimak yang dilakukan dalam kondisi berakal, sengaja, mengetahui keharamannya dan atas kehendak sendiri tanpa paksaan, adalah atsar fatwa dari para sahabat. Dalam hal ini Imam Malik meriwayatkan:

 

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ وَقَعَ بِأَهْلِهِ وَهُوَ بِمِنًى قَبْلَ أَنْ يُفِيضَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَنْحَرَ بَدَنَةً

 

Artinya, “Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, sungguh ia pernah ditentang lelaki yang menyetubuhi istrinya semntara ia sedang (ihram) di Mina sebelum menyelesaikan urusan nusuknya, lalu ia memerintah orang itu untuk menyembelih onta.” (Imam Malik, Muwattha`, juz III, halaman 563).

 

Fatwa seperti ini juga diriwayatkan dari Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar dan Abu Hurairah. Sedangkan dalam kondisi tidak menemukan onta, maka beralih menyembelih sapi, lalu tujuh ekor kambing, karena keduanya sama dengan onta dalam kebolehan digunakan berkurban.

 

Adapun dalam kondisi tidak mampu kemudian boleh menggantinya dengan sedekah makanan pokok seharga onta, dan bila hal ini juga tidak mampu maka boleh menggantinya dengan puasa sehari untuk setiap mud sejumlah makanan pokok tersebut, hal itu karena syariat memindah pembayaran dam dari menyembelih hewan pada sedekah makanan dan puasa secara takhyir (opsional), maka dalam kondisi tidak mampu pembayaran dam dikembalikan pada keduanya secara tartib (berurutan, sedekah dahulu dan jika tidak mampu maka baru berpuasa). (Musthafa Dib Al-Bugha, At-Tadzhib, halaman 123). Wallahu a'lam

 

Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online