Syariah

Jual Beli dengan Penyerahan Barang Masih Ditunda

Sab, 27 Juli 2019 | 14:00 WIB

Jual Beli dengan Penyerahan Barang Masih Ditunda

Ilustrasi/NU Online

Terkadang dalam melakukan transaksi jual beli, kita dihadapkan pada pilihan, yaitu segera melakukan transaksi penyerahan harga, sementara barangnya harus ditunda penyerahannya esok hari atau sebulan lagi. Para pengrajin seringkali menghadapi hal semacam ini. Padahal barang belum selesai dibuat, tapi sudah ada pembeli yang tertarik. Para pembeli ini umumnya mengaku tertarik karena terpikat dengan motif dan model barang, serta kemanfaatan barang yang tergambar dalam bayangannya seiring keterangan yang diperoleh dari penjual yang memiliki reputasi.

 

Adapun harga kadang diserahkan sepenuhnya oleh pembeli, karena khawatir diborong orang lain. Namun, ada juga pembeli yang disyaratkan menyerahkan separuh harga yang ditawarkan. Semua syarat ini disampaikan oleh penjual kepada pembeli setelah pembeli menerima penjelasan.

 

Adapula pembeli yang malah justru mensyaratkan jika boleh barang yang ada di hadapan pembeli saat itu untuk dibawa, maka penjual bisa mengambil harganya esok hari, atau selang beberapa hari setelah barang itu diserahkan. Penyebabnya karena pembeli kebetulan tidak membawa uang cash atau tidak punya e-banking untuk mentransfer. Jadi, ia perlu pulang terlebih dulu untuk mengambil uangnya atau setidaknya pergi ke ATM untuk melakukan penarikan tunai. Lalu ada yang bertanya, apakah model jual beli dengan syarat penyerahan salah satu barang yang diitunda ini diperbolehkan dalam syariat hukum Islam? Bagaimana bila barang itu adalah berupa barang ribawi?

 

Dalam hal ini ada sebuah penjelasan dari ulama dengan merinci jenis barang yang dibeli dan cara pembayaran. Pertama, barang harus ditentukan terlebih dahulu soal dibeli secara kredit, atau tempo, atau secara cash. Penentuan ini harus disepakati terlebih dahulu dengan penjual serta pembelinya di majelis tersebut (khiyar majlis). Jika disepakati secara cash, maka harus dibayar cash. Bila disepakati secara tempo maka harus ditentukan waktu penyerahannya dan besaran harganya. Dan demikian pula, apabila ditentukan secara kredit, maka harus ditentukan harga finalnya (ra'su al-mâl), dan model angsuran (تأجيل) yang dimainkan. Syarat penyerahan barang ditunda sampai pembeli membayar atau sebaliknya penyerahan harga yang ditunda sampai penjual menyerahkan barang secara penuh, merupakan syarat yang dibenarkan dalam transaksi (syarat shahih). Syekh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan:

 

الشرط الصحيح هو ما كان موافقا لمقتضى العقد أو مؤكدا لمقتضاه أو جاء به الشرع أو جرى به العرف مثال الشرط الذي يقتضيه العقد اشتراط البائع تسليم الثمن أو حبس المبيع حتى أداء جميع الثمن اشتراط المشتري تسليم المبيع أو تملكه

 

Artinya: "Syarat yang shahih adalah syarat yang sepakat dengan tujuan diselenggarakannya transaksi, memperkuatnya, atau syarat yang dibenarkan oleh syara', atau sesuai dengan kebiasaan ('urf) yang berlaku. Contoh dari syarat yang sesuai dengan tujuan transaksi, misalnya penjual mensyaratkan keharusan menyerahkan harga terlebih dahulu kepada pembeli, atau barang tetap di tangan penjual sampai semua tanggungan harga dibayar oleh pembeli, atau sebaliknya pembeli mensyaratkan barang diserahkan kepadanya terlebih dahulu, atau dikuasakan kepadanya terlebih dahulu." (al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.: 4/477).

 

Kedua, harus mengenal terlebih dahulu apakah barangnya termasuk barang ribawi atau bukan. Jika termasuk barang ribawi, maka menurut pendapat yang menganggap bahwa uang adalah bagian dari barang ribawi, konsekuensinya adalah penyerahan harga oleh pembeli harus dibarengi dengan penyerahan barang. Contoh barang ribawi adalah emas, perak, dan bahan makanan. Jadi, kalau pembaca membeli beras (misalnya), maka penyerahan beras oleh penjual harus diikuti dengan penyerahan uangnya. Karena pertukaran barang ribawi melazimkan adanya wajib kontan dan serah terima barang.

 

Jika uang dianggap sebagai bukan barang ribawi, maka diperbolehkan penundaannya dengan catatan sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam ketentuan pertama. Jadi, jika anda membeli beras, maka diperbolehkan penundaan penyerahan salah satunya, misalnya adalah harganya.

 

Bagaimana jika barang yang dijualbelikan bukan termasuk barang ribawi? Apakah boleh dengan disyaratkan penundaan salah satunya?

 

Jika barang yang diperjualbelikan bukan termasuk baramg ribawi, maka diperbolehkan syarat penundaan penerimaan salah satunya.

 

والشرط الذي ورد به الشرع: مثل اشتراط الخيار أو الأجل لأحد المتعاقدين

 

Artinya: "Termasuk syarat shahih yang dibenarkan oleh syariat adalah misalnya permintaan syarat kebolehan khiyar (bila dijumpai aib atau barang tidak sesuai pesanan) dan bolehnya tempo penyerahan (harga atau barang) dari salah satu muta'aqidain." (al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.: 4/477).

 

Jual beli yang disertai dengan tempo termasuk kategori bai' bi al-ajal (jual beli tangguh). Bila temponya itu berupa tempo penyerahan barang, sementara harga sudah dibayar duluan, maka jual beli semacam dinamakan bai maushufin fi al-dzimmah atau jual beli salam. Kedua jual beli ini dibenarkan oleh syariat dengan catatan harga barang dan tempo pelunasan harus diketahui secara jelas. Wallâhu a'lam bish shawâb.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur