Syariah

Keutamaan Berdagang dalam Islam

Rabu, 5 Februari 2025 | 17:30 WIB

Keutamaan Berdagang dalam Islam

Berdagang dalam Islam (NU Online).

Bekerja dalam kehidupan seseorang adalah pilar utama, dan bahkan menjadi aspek penting yang tidak boleh terlepas dari kehidupan. Setiap orang harus bisa dan berusaha untuk bekerja, Al-Hafizh As-Sakhawi pernah mengutip satu riwayat:
 

إن الله يكره الرجل البطال
 

 Artinya, "Sesungguhnya Allah SWT membenci orang yang malas (orang yang bergantung pada orang lain ketika dia sehat dan bugar". (Al-Maqhasid al-Hasanah, Ed: Muhammad Utsman Al-Khasyat, [Beirut, Darul Kutub Al-'Arabi: 1985], halamab 209).
 

Atas dasar inilah banyak para ulama yang memiliki perhatian dan ketertarikan khusus untuk  menjelaskan hukum-hukum terkait pekerjaan (Al-Kasb). Salah satu contohnya Muhammad bin Hasan As-Syaibani dengan karyanya yang berjudul Kitab Al-Kasb.
 

Abdul Fattah Abu Ghudah dalam pengantar kitab tersebut menyatakan, Islam sendiri membolehkan bahkan mendorong umatnya untuk bekerja dengan pekerjaan yang halal. Karena sejatinya pekerjaan merupakan pokok kehidupan dunia dan penopang keberlangsungan hidup.
(Muhammad Hasan As-Syaibani, Kitab Al-Kasb, Ed: Abdul Fatah Abu Ghudah, [Halb, Darul Basyair: 1997], halaman 14).
 

Namun demikian, walaupun dalam Islam terdapat anjuran untuk bekerja, akan tetapi tidak sedikit dari orang-orang masih terhalang "rasa malu" untuk memulai suatu pekerjaan. Seperti halnya dalam hal berdagang. tidak sedikit dari mereka yang merasa "malu" untuk berdagang di pinggir jalan, menjadi pedagang asongan, menjadi pedagang keliling dan lain sebagainya.
 

Padahal dalam Islam sendiri, bekerja untuk mencari rezeki halal tidak dibatasi atau dikhususkan pada profesi tertentu. Al-Mawardi,  menjelaskan bahwa bekerja itu mencakup segala jenis pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup seseorang. (Adabud Dunya wad Din, [Beirut, Dar Maktabat Al-Hayah: 1986], halaman 210).
 

Ibnu Khaldun juga menyatakan bahwa al-kasb/al-ma’asy adalah istilah yang merujuk pada usaha seseorang dalam mencari penghidupan. (Tarikh Ibn Khaldun, [Beirut, Darul Fikr; 1981], juz I, halaman 479).
 

Dari dua definisi ini sudah jelas, tidak ada batasan profesi tertentu dalam mencari nafkah, sehingga berdagang (dengan segala jenisnya) termasuk dalam kategori al-kasb/al-ma’asy.
 

Selain itu, berdagang atau berjualan adalah salah satu dari tiga pokok utama pekerjaan (ushulul makasib). Sikemukakan oleh Al-Mawardi, ketiga pokok tersebut adalah az-zira’ah (bertani), at-tijarah (berdagang), dan as-shina’ah (kerajinan atau produksi). (Al-Hawil Kabir, ed:Ali Muhammad Mu’awadh, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: 1999], juz XV, halaman 153).
 

Secara historis, ketiga pekerjaan ini dianggap sebagai profesi pertama manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sesuai dengan fitrah mereka. (Maulud Al-Hadi, Al-Mufadhalah Baina Ushul al-Makasib; Dirasah Fiqhiyah Ta’shiliyah, [Majalah Kuliyat As-Syariah wal Qanun: 2024], vol 5, No 1, halaman 105-106).
 

Sebagian ulama bahkan memandang berdagang sebagai pekerjaan yang paling utama. (Al-Mawardi, XV/153).
 

Dalil-dalil yang mereka gunakan dalam beristinbath sehingga menghasilkan kesimpulan seperti di atas adalah sebagai berikut: 
 

وَاٰخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِى الْاَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ
 

Artinya, "Dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah serta yang lain berperang di jalan Allah." (QS Al-Muzammil: 20).
 

Sebagian mufassir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ad-dharb atau berjalan dalam ayat adalah at-tijarah (berdagang). (Abu Bakr Al-Jashash, Ahkamul Quran, ed: Muhammad Shadiq Al-Qamhawi, [Beirut, Dar Ihyait Turats Al-'Arabi: 1405 H], juz III, halaman 132).
 

Kemudian hadits sahih menyebutkan:  
 

التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الْأَمِينُ يُحْشَرُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
 

Artinya, "Seorang pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada, dan orang-orang saleh pada hari kiamat."
 

Menurut Ibnu Hajar, hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw kerap terlibat dalam aktivitas perdagangan. Tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad pernah bertani atau menjadi pengrajin. Begitu juga pemilihan perdagangan sebagai pekerjaan Rasulullah tentu mengandung hikmah, karena Allah tidak mungkin memilih sesuatu untuk Rasul-Nya tanpa ada keutamaan di dalamnya. (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Haditsiyiah, [Beirut, Darul Fikr: t.t], halaman 32).
 

Lalu terdapat atsar juga yang mengatakan bahwa kebanyakan para sahabat Rasul saw bekerja sebagai seorang pedagang. (Al-Mawardi, XV/153).
 

Dari semua dalil-dalil ini, secara tersirat tampak bahwa pekerjaan menjadi seorang pedagang adalah pekerjaan yang paling mulia di antara yang lainnya, apalagi jika dibarengi dengan sikap jujur dan amanah. 
 

 

Ustadzh Mutiara Intan Permatasari, Alumnus Darus-Sunnah Internasional Institute For Hadith Science & Akuntansi UIN Jakarta