Syariah

Laki-Laki Wajib Shalat Jamaah di Masjid?

Kam, 23 Mei 2024 | 13:45 WIB

Laki-Laki Wajib Shalat Jamaah di Masjid?

Hukum laki-laki shalat jamaah di masjid (NU Online).

Baru-baru ini beredar pernyataan di salah satu akun dakwah media sosial yang menyatakan bahwa shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki hukumnya wajib. Pernyataan tersebut didasarkan pada salah satu hadits yang tercantum dalam kitab Bulughul Maram, yang diterjemahkan sebagai berikut:
 

"Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang mendengar adzan, namun tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya, kecuali ada udzur.” (HR. Abu Daud no. 551, Ibnu Majah no.793, dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram, 114). 
 

Apakah benar demikian? 
 

Pendapat di atas merupakan salah satu pendapat dalam lingkungan ulama Hanabilah. Menurut mereka hukum shalat berjamaah adalah wajib atau fardhu ‘ain bagi laki-laki merdeka.
 

Terkait tempat pelaksanaannya, terjadi perbedaan riwayat dalam lingkup ulama Hanabilah. Satu riwayat mengatakan wajib dilaksanakan di dalam masjid bagi orang yang dekat, sehingga jika dia tidak melaksanakan jamaah di masjid, maka berdosa meskipun shalatnya tetap dihukumi sah. Sedangkan riwayat lain menyatakan jamaah boleh dilaksanakan di luar masjid. 
 

Ibnu Qudamah menjelaskan dalam kitab Al-Mughni:
 

فَصْلٌ وَيَجُوزُ فِعْلُهَا فِي الْبَيْتِ وَالصَّحْرَاءِ وَقِيلَ فِيهِ رِوَايَةٌ أُخْرَى أَنَّ حُضُورَ الْمَسْجِدِ وَاجِبٌ إذَا كَانَ قَرِيبًا مِنْهُ لِأَنَّهُ يُرْوَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ  لَا صَلَاةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إلَّا فِي الْمَسْجِدِ
 

Artinya, “Pasal: Boleh melakukan jamaah di rumah atau di padang pasir. Dikatakan, ada riwayat lain mengenai hal ini, yaitu wajib menghadiri masjid jika dekat dengannya. Karena diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: "Tidak ada shalat untuk tetangga masjid kecuali di masjid"." (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2008,  juz I, halaman 626).
 

Lantas bagaimana dengan mazhab Syafi’i? 
 

Hukum Shalat Jamaah perspektif Mazhab Syafi'i

Melaksanakan shalat fardhu dengan berjamaah sangat dianjurkan dalam agama. Banyak hadits yang menjelaskan perintah untuk berjamaah. Kendati demikian, terjadi perbedaan pendapat tentang hukum shalat berjamaah.
 

Pendapat pertama menyatakan hukumnya fardhu ‘ain seperti pendapat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Mundzir. Pendapat kedua menyatakan hukumnya fardhu kifayah seperti pendapat mayoritas ulama dan merupakan nash Imam As-Syafi’i. Pendapat ketiga menyatakan hukumnya sunah seperti pendapat Abu Hamid. (An-Nawawi, Al-Majmu’, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: 2011], juz V, halaman 176). 
 

Dalam kitab Fathul Mu’in dijelaskan, pendapat yang kuat mengatakan shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah untuk laki-laki yang sudah baligh dan tidak sedang bepergian (musafir). Pendapat lain mengatakan hukumnya fardhu ‘ain yaitu mazhab Imam Ahmad. Ada yang berpendapat shalat berjamaah menjadi syarat sahnya shalat. Berbeda dengan laki-laki, bagi perempuan anjuran jamaah tidak sekuat anjuran untuk laki-laki. Karena itu, hukum meninggalkan jamaah bagi laki-laki adalah makruh, dan bagi perempuan tidak makruh. (Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, [Beirut, Darul Kurub Al-'Ilmiyah: 2017], halaman 54).
 

Hukum Shalat Jamaah di Masjid perspektif Mazhab Syafi'i

Menurut mazhab Syafi’i, tidak ada kewajiban melaksanakan shalat berjamaah di masjid. Hanya saja bagi laki-laki, tempat yang paling utama untuk melaksanakan shalat fardhu secara berjamaah adalah masjid. Kenapa? karena ada beberapa keunggulan, antara lain:

  1. masjid adalah tempat yang mulia;
  2. adanya pahala bagi orang yang berjalan menuju masjid;
  3. umumnya jamaah di masjid lebih banyak, dan
  4. syiar jamaah akan lebih tampak. 
     

Imam An-Nawawi menjelaskan dalam kitab Al-Majmu’:
 

قَالَ الشَّافِعِيّ فِي الْمُخْتَصَرِ وَالْأَصْحَابُ فِعْلُ الْجَمَاعَةِ لِلرَّجُلِ فِي اْلمَسْجِدِ أَفْضَلُ مِنْ فِعْلِهَا فِي الْبَيْتِ وَالسُّوْقِ وَغَيْرِهِمَا لِمَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْأَحَادِيْثِ فِي فَضْلِ الْمَشْيِ إِلَى اْلمَسْجِدِ وِلِأَنَّهُ أَشْرَفُ وَلِأَنَّ فِيْهِ إِظْهَارَ شِعَارِ الْجَمَاعَةِ 
 

Artinya, “As-Syafi’i mengatakan dalam Al-Mukhtasar dan para murid-muridnya bahwa mengerjakan shalat berjamaah bagi laki-laki di masjid lebih baik daripada mengerjakannya di rumah, di pasar, dan di tempat lain, karena hadits yang kami sebutkan mengenai keutamaan berjalan ke masjid, dan karena masjid lebih mulia, serta dapat menampakkan syiar jamaah.” (An-Nawawi, Al-Majmu’, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2011], juz V, halaman 168).


Kajian Hadits tentang Perintah Shalat Jamaah di Masjid

Hadits yang dijadikan dasar kewajiban shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki, berbunyi: 
 

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
 

Artinya, “Barangsiapa mendengarkan panggilan (azan), kemudian dia tidak datang, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena uzur.” (HR Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim).
 

Ibnu Hajar Al-Asqalani saat menyebutkan hadits di atas dalam kitab Bulughul Maram menyatakan bahwa status hadits tersebut diperselisihkan. Satu pendapat menyatakan itu hadits marfu’, yaitu merupakan pernyataan langsung dari Rasulullah saw, sedangkan pendapat lain menyatakan itu hadits mauquf, yaitu pernyataan shahabat. Salam hal ini adalah pernyataan Ibnu Abbas dan bukan penyataan dari Rasulullah saw.
 

Dari segi makna, terjadi perbedaan pendapat. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal hadits tersebut menunjukkan kewajiban shalat berjamaah. Kemudian para ulama penganut mazhab Hanbali berbeda pendapat, pendapat pertama mengatakan shalat jamaah tidak wajib dilakukan di masjid. 
 

Senada dengan pendapat ini, beberapa pakar hadits dalam syarah-syarahnya menyimpulkan bahwa hadits tersebut menunjukkan anjuran berjamaah, bahkan dapat menjadi landasan kewajiban berjamaah menurut sebagian ulama, namun tidak dikaitkan dengan keharusan dilaksanakan di dalam masjid.
 

Berbeda dengan pendapat pertama, menurut pendapat kedua yang diklaim sebagai pendapat yang unggul dalam mazhab Hanbali menyatakan, shalat berjamaah harus dilaksanakan di dalam masjid. Tidak hanya dengan dasar hadits ini, mereka juga menguatkan pendapat tersebut dengan hadits-hadits lain seperti hadits yang bermakna “tidak ada shalat kecuali di masjid”.
 

Menurut kalangan Syafi’iyah, jika makna hadits dipahami sebagai kewajiban mendatangi masjid untuk shalat berjamaah, dan jika tidak datang ke masjid, maka shalatnya tidak sah, maka pemahaman ini bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama, sehingga makna hadits harus diarahkan hanya sebatas keutamaan saja, dan bukan kewajiban. 
 

وَظَاهِرُ الْحَدِيْثِ أَنَّ الْجَمَاعَةَ فِي الْمَسْجِدِ الَّذِي سَمِعَ نِدَاءَهُ فَرْضٌ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ حَتَّى لَوْ تَرَكَهَا بَطَلَتْ صَلَاتُهُ وَهُوَ خِلَافُ مَا عَلَيْهِ الْجُمْهُوْرُ، فَلَا بُدَّ لَهُمْ مِنْ حَمْلِ الْحَدِيْثِ عَلَى نُقْصَانِ تِلْكَ الصَّلَاةِ أَيْ فَلَا صَلَاةَ لَهُ كَامِلَةٌ
 

Artinya, “Makna yang tampak dari hadis tersebut adalah bahwa jamaah di masjid yang didengar azannya adalah wajib untuk sahnya shalat, bahkan kalaupun dia meninggalkannya maka shalatnya batal, hal ini bertentangan dengan apa yang dipegang mayoritas ulama, sehingga harus  mengartikan hadits sebagai kekurangan dalam shalat itu, artinya shalatnya belum sempurna.” (Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah Al-Khatib Al-'Umari At-Tibrizi, Misykatul Mashabih [Darul buhuts al-Ilmiyah: 1984] , juz III, halaman 524).
 

Simpulan

Pernyataan tentang kewajiban jamaah bagi laki-laki di masjid memang dapat dibenarkan karena merupakan salah satu riwayat pendapat dalam mazhab Hanbali, yaitu bagi laki-laki yang berada dekat dengan masjid. Sedangkan mazhab Syafi’i yang diamalkan oleh mayoritas masyarakat Indonesia mengatakan bahwa shalat berjamaah di masjid merupakan anjuran bukan kewajiban. Wallahu a’lam.
 

 

Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pengasuh Pesantren Fathul Ulum, Wonodadi, Blitar.