Syariah

Maulid Nabi menurut Imam al-Hafiz al-Iraqi

Sen, 9 Oktober 2023 | 21:00 WIB

Maulid Nabi menurut Imam al-Hafiz al-Iraqi

Maulid Nabi menurut Imam al-Hafiz al-Iraqi. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Maulid Nabi Muhammad saw akan menjadi sejarah istimewa bagi umat Islam yang akan terus diperingati dalam setiap tahunnya, tepatnya pada bulan Rabiul Awal. 14 abad yang lalu. Pada bulan ini lahirlah manusia termulia dan teragung yang akan mengangkat derajat manusia yang hina menjadi mulia, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan keluhuran.


Dalam setiap tahunnya, perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad akan terus dikenang dan dirayakan di mana-mana. Pada acara itu pula menjadi momentum terbaik untuk mengenalkan sosok seorang rasul terakhir yang sangat mulia, menceritakan semua kisah dan keteladanannya untuk dicontoh oleh semua umatnya.


Perayaan maulid nabi sebagaimana lumrah adanya adalah berkumpulnya umat Islam di satu tempat, baik di masjid, mushala, atau rumah masing-masing setiap orang, kemudian di tempat itu dibacakan shalawat, sirah nabawiyah dan hal-hal lain yang berkaitan dengan nabi, kemudian tuan rumah memberikan jamuan kepada semua jamaah untuk dimakan bersama-sama di tempat tersebut.


Nah, berikut ini penulis akan menjelaskan hukum merayakan maulid nabi menurut Imam al-Hafiz Abdurrahim al-Iraqi sekaligus dengan biografi singkatnya.


Maulid Menurut al-Hafiz al-Iraqi

Imam al-Hafiz al-Iraqi dalam salah satu fatwanya mengatakan bahwa semua perayaan walimah dengan bentuk apa pun yang di dalamnya terdapat hidangan makanan oleh orang yang memiliki acara untuk diberikan kepada orang-orang yang hadir pada acara tersebut merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan dalam Islam dalam setiap waktu.


Walimah dengan cara seperti di atas sangat dianjurkan, baik di bulan Rabiul Awal, Rajab, Ramadhan, dan bulan-bulan yang lainnya. Sebab, dengan mengadakan acara jamuan maka ia akan membahagiakan orang lain dan juga bisa membantu orang-orang yang sedang kelaparan.


Lantas jika acara jamuan yang di dalamnya tidak ada tujuan apa-apa saja sudah dianjurkan, bagaimana jika dalam walimah tersebut terdapat bentuk cinta dan bahagia atas kelahiran Nabi Muhammad saw? Tentu hal ini menjadi lebih dianjurkan,


قَالَ الْحَافِظُ عَبْدُ الرَّحِيْمِ الْعِرَاقِي: اِنَّ اتِّخَاذَ الْوَلِيْمَةِ وَاِطْعَامَ الطَّعَامِ مُسْتَحَبٌّ فِي كُلِّ وَقْتٍ، فَكَيْفَ اِذَا انْضَمَّ اِلىَ ذَلِكَ الْفَرْحُ وَالسُّرُوْرُ بِظُهُوْرِ نُوْرِ رَسُوْلِ اللهِ فِي هَذَا الشَّهْرِ الشَّرِيْفِ، وَلاَ يَلْزَمُ مِنْ كَوْنِهِ بِدْعَة كَوْنه مَكْرُوْهًا. فَكَمْ مِنْ بِدْعَةٍ مُسْتَحَبَّةٌ قَدْ تَكُوْنُ وَاجِبَةً


Artinya, “Telah berkata Imam al-Hafiz Abdurrahim al-Iraqi: sungguh menjadikan acara jamuan dan memberikan makanan adalah anjuran dalam setiap waktu, lantas bagaimana jika di dalamnya terdapat bentuk senang dan bahagia dengan datangnya cahaya Rasulullah pada bulan yang mulia ini, dan tidak mesti karena hal itu bid’ah kemudian menjadi dibenci, karena betapa banyak  bid’ah yang dianjurkan bahkan ada juga bid’ah yang wajib.” (Imam as-Siddiqi, al-Qaulut Tamam fi Syarh Mulakhkhishil Imam, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], halaman 49).


Pada penjelasan di atas, seolah Imam al-Hafiz al-Iraqi hendak menegaskan bahwa jika acara jamuan yang di dalamnya sekadar memberikan makanan kepada orang lain saja di anjurkan, maka tentu mengadakan acara jamuan untuk memuliakan hari kelahiran Nabi Muhammad lebih dianjurkan lagi, sebagai bentuk bahagia dan senang atas kelahirannya.


Padahal, acara-acara maulid nabi yang masyhur tidak hanya acara jamuan belaka, namun di dalamnya juga menceritakan kisah-kisah dan sejarah Nabi Muhammad selama hidupnya, keteladanan akhlaknya yang luhur, budi pekertinya yang mulia, bagaimana cara nabi berbicara, bagaimana cara nabi makan dan minum, serta semua hal-hal yang berkaitan dengan nabi.


Meski perayaan seperti ini tidak dijumpai pada zaman nabi, bahkan tergolong sesuatu yang bid’ah (baru), namun tidak semua perbuatan bid’ah itu dilarang dan harus ditinggalkan. Karena banyak hal-hal baru yang tidak dijumpai pada zaman nabi namun bernilai sunnah, bahkan ada yang wajib. Termasuk juga perayaan maulid nabi seperti yang sudah sering terjadi, sekalipun tidak dijumpai pada zaman nabi, namun sangat dianjurkan karena di dalamnya menceritakan sirah nabawiyah dan membaca shalawat kepadanya.


Biografi Singkat Imam al-Hafiz al-Iraqi

Salah satu deretan ulama Ahlussunnah yang membolehkan perayaan maulid dan orang yang merayakannya akan mendapatkan pahala dari Allah swt adalah Imam al-Hafiz al-Iraqi. Ia merupakan ulama yang berqidah Ahlussunnah dan bermazhab Syafi’iyah yang lahir pada tahun 725 Hijriah dan wafat pada tahun 806 H, kemudian dimakamkan di Kairo Mesir.


Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Mausu’atul Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Imam al-Hafiz al-Iraqi bernama lengkap Abul Fadl Zainuddin Abdurrahim bin Husain bin Abdurrahman bin Abu Bakar bin Ibrahim al-Iraqi al-Mishri asy-Syafi’i.


Imam al-Hafiz al-Iraqi merupakan tipikal ulama yang sangat alim dan mulia. Semua itu bermula karena ia tumbuh menjadi anak yang mendapatkan asupan ilmu agama sejak masih sangat kecil dari kedua orang tuanya. Ayahnya adalah ulama tersohor sementara ibunya adalah wanita shalihah yang ahli ibadah. Di bawah bimbingan kedua orang tuanya itu, ia tumbuh menjadi anak yang haus akan ilmu agama.


Setelah belajar kepada kedua orang tuanya, al-Iraqi kemudian melanjutkan studi keilmuannya kepada para ulama saat itu, tidak hanya di Mesir saja, namun ia pergi ke Damaskus, Makkah, Madinah dan lainnya untuk mendalami ilmu agama.


Setelah pengembaraan panjang itu selesai, akhirnya al-Iraqi menjadi ulama hebat yang keilmuannya tidak diragukan lagi. Semua cabang-cabang ilmu syariat berhasil ia hapal dan ia kuasa dengan mudah,


كَانَ عَالِمًا فَاضِلاً، صَاحِبَ التَّصَانِيْفِ فِي الْأُصُوْلِ وَالْفُرُوْعِ بَرَعَ فِي الْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ وَأُصُوْلِهِ وَالْعَرَبِيَّةِ


Artinya, “al-Hafiz al-Iraqi adalah sosok yang alim dan mulia, ia memiliki banyak karya tentang pokok-pokok syariat dan cabang-cabangnya. Ia sangat mendalami ilmu hadits, fiqih dan ushul fiqih, serta ilmu gramatika Arab.” (Lihat, Mausu’atul Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz II, halaman 401).


Demikian penjelasan perihal perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad atau maulid perspektif Imam al-Hafiz al-Iraqi, sekaligus biografi singkatnya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.