Syariah

Memahami I'tikaf Nabi dengan Tenda di Masjid secara Kontekstual

Sen, 8 April 2024 | 15:45 WIB

Memahami I'tikaf Nabi dengan Tenda di Masjid secara Kontekstual

Hukum itikaf di masjid dengan memasang tenda. (freepik).

Benarkah i’tikaf di masjid pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan harus dengan memakai tenda? Apakah hal itu merupakan sunah Nabi?
 

I'tikaf Nabi dengan Tenda

Dalam hadits memang disebutkan Nabi Muhammad saw membuat tenda ketika i’tikaf di 10 hari terakhir Ramadhan. Antara lain adalah hadits riwayat Aisyah ra. Ia berkata sebagaimana dirilis Imam Muslim:
 

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أراد أن يعتكف صلى الفجر ثم دخل معتكفه. وإنه أمر بخبائه فضرب. أراد الاعتكاف في العشر الأواخر من رمضان. فأمرت زينب بخبائها فضرب. وأمر غيرها من أزواج النبي صلى الله عليه وسلم بخبائه، فضرب. فلما صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم الفجر نظر. فإذا الأخبية. فقال: آلبر تردن فأمر بخبائه فقوض. وترك الاعتكاف في شهر رمضان حتى اعتكف في العشر الأول من شوال
 

Artinya, “Ketika Nabi Muhammad Saw ingin i’tikaf, maka beliau shalat Subuh, kemudian menuju tempat i’tikafnya. Ia memerintah mengambil tenda lalu memasangnya. Nabi saw pernah hendak i’tikaf di 10 hari terakhir bulan Ramadhan, lalu Zainab memerintah mengambil tenda, lalu tendanya dipasang.
 

Begitu juga istri-istri Nabi saw yang lain memerintah mengambil tenda, lalu dipasang. Setalah Nabi saw shalat Subuh dan melihat tenda-tenda itu, lalu beliau bertanya: "Apa kebaikan yang kalian inginkan?"

Kemudian Nabi memerintah mengambil tenda itu dan melepasnya. Nabi meninggalkan i’tikaf di bulan Ramadhan sehingga i’tikaf di 10 hari awal bulan Syawal.”
(HR Muslim).
 

Ketentuan Pemasangan Tenda saat I'tikaf

Namun menurut kutipan Imam An-Nawawi, perintah pemasangan tenda tersebut ketika tidak mengganggu orang lain, dipasang di bagian belakang masjid atau halamannya:
 

Dalam kitab Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, Imam An-Nawawi menjelaskan:

وأنه أمر بخبائه فضرب: قالوا فيه دليل على جواز اتخاذ المعتكف لنفسه موضعا من المسجد ينفرد فيه مدة اعتكافه مالم يضيق على الناس واذا اتخذه يكون في آخر المسجد ورحابه لئلا يضيق على غيره وليكون أخلى له وأكمل في انفراده 
 

Artinya, “Nabi memerintah mengambil tenda, lalu dipasang". Kata ulama, dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengambil tempat di masjid untuk ditempati sendirian selama i’tikaf asalkan tidak mengganggu orang lain.

Jika mengambil tempat untu mendirikan tenda, maka di bagian belakang masjid dan halamannya, agar tidak mengganggu orang lain dan agar lebih fokus dan sempurna menyendirinya.”
(An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, [Mesir: Al-Mathba'atul Mishriyah bil Azhar: 1928], juz VIII, halaman 69).
 

Perintah Nabi saw Mencopot Tenda di Masjid

Perintah Nabi Muhammad Saw untuk mencopot tenda istri-istrinya di masjid sebagaimana diriwayatkan dalam hadits di atas, juga tidak lepas dari alasan mengganggu orang lain di masjid. Hal ini sebagaimana penjelasan Al-Qadhi ‘Iyadh dan dikutip oleh Badruddin Al-'Aini dalam kotab 'Umdatul Qari sebagaimana berikut:
 

وقال القاضي عياض: إنما قال هذا الكلام إنكارا لفعلهن. لأنه خاف أن يكن مخلصات في الاعتكاف بل أردن القرب منه المباهاة به ...  أو لأنهن ضيقن المسجد بأخبيتهن ونحوها
 

Artinya, "Al-Qadhi ‘Iyadh berpendapat: "Perkataan Nabi saw itu (Apa kebaikan yang kalian inginkan? kemudian Nabi memerintah mengambil tenda itu dan mencopotnya), sebagai bentuk penolakan terhadap tindakan istri-istrinya.

Karena Nabi mengkhawaritkan keikhlasan mereka dalam beri’tikaf. Mereka ingin dekat untuk pamer kepada Nabi … atau karena mereka mengganggu masjid dengan tenda-tenda yang dipasang dan alasan lain.” (Badruddin Al-'Aini, 'Umdatul Qari Syarhul Bukhari, [Lebanon: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2001], halaman 211).
 

Argumentasi Larangan Memasang Tenda di Masjid

Faktor mengganggu ini yang kemudian menjadi salah satu 'illat para ulama memutuskan hukum makruh memasang tenda ketika i’tikaf di masjid. Ibnu Rajab dalam Fathul Bari menyatakan:
 

وقد اختلف العلماء في ذلك فكره أحمد للمعتكف أن يضرب خيمة ونحوها في المسجد إلا لشدة البرد
 

Artinya, “Ulama beda pendapat mengenai pemasangan tenda di masjid untuk i'tikaf. Imam Ahmad menghukumi makruh orang yang i’tikaf memasang tenda dan semisalnya di masjid, kecuali karena sangat dingin.” (Ibnu Rajab Al-Hanbali, Fathul Bari, [Madinah, Maktabatul Ghuraba: 1996], halaman 364).
 

Kebolehan Memasang Tenda di Masjid saat Cuaca Sangat Dingin

Kebolehan menggunakan tenda ketika i’tikaf saat cuaca sangat dingin ini sejalan dengan kondisi saat Nabi Muhammad Saw memasang tenda, yaitu musim hujan. Hal itu tergambar dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri. Ia berkata:
 

من كان اعتكف معى فليعتكف العشر الاواخر وقد رأيت هذه الليلة ثم انسيتها وقد رأيتنى في صبيحتها اسجد في ماء وطين فالتمسوها في العشر الاواخر والتمسوها في كل وتر قال أبو سعيد فامطرت السماء تلك الليلة
 

Artinya, ”Barangsiapa i’tikaf denganku, maka i’tikaf di 10 hari terakhir Ramadhan. Malam ini saya bermimpi lailatul qadar kemudian lupa. Sungguh kamu telah meilhatku di pagi harinya aku sujud di air dan lumpur. Karennya, carilah Lailatul Qadar di 10 hari terakhir dan carilah lailatul qadar di setiap hari ganjil. Kata Abu Sa’id: "Lalu langit hujan pada malam itu.”  (HR Al-Bukhari).
 

Ketika hujan, maka lantai masjid basah, karena atap masjid pada saat itu hanya dari tanah liat yang tidak terlalu padat. Sebagaimana dijelaskan oleh As-Samhudi. Tiang masjid dibuat dari batang kurma (judzu’). Atapnya terbuat dari pelepah (jarid) dan daun kurma (khush), dan ditambal dengan tanah liat yang tidak terlalu padat. Apabila hujan, lantai masjid yang dari tanah menjadi basah." (As-Samhudi As-Syafi’i Al-Hasani, Khulashatul Wafa bi Aakhbari Daril Musthafa, [Lebanon: Books-Publisher,], halaman 193).
 

Dengan demikian, pemasangan tenda di musim hujan ketika Nabi Muhammad saw i’tikaf  tidak tepat menjadi rujukan untuk pemasangan tenda dalam kondisi cuaca normal. Apalagi di era sekarang di mana bangunan masjid secara fisik sudah lebih maju daripada masa Nabi.
 

Simpulan

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa i’tikaf di masjid pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan tidak diharuskan memakai tenda. Bahkan hukumnya makruh karena dapat mengganggu orang lain. Wallahu a'lam.
 

Ustadz Muqoffi, Guru Pon-Pes Gedangan & Dosen IAI NATA Sampang Madura