Syariah

Meneguhkan Fiqih yang Dinamis dan Maslahat (3)

Sel, 28 April 2020 | 02:00 WIB

Meneguhkan Fiqih yang Dinamis dan Maslahat (3)

Barangsiapa yang tidak mendalam pemahamannya mengenai maqâshidus syarî‘ah (tujuan syariat/hukum Islam), maka justru ia memahaminya tidak sesuai dengan sasaran syariat tersebut

Urgensi asas-asas pembentukan syariat/hukum Islam tersebut ditegaskan oleh Syamsuddin Abî ‘Abdillâh Muhammad bin Abî Bakr Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah (wafat 751 H) dalam kitabnya, I‘lâmul Muwaqqi‘în ‘an Rabbil ‘Âlamîn:

فإن الشريعة مبناها وأساسها على الحكم ومصالح العباد في المعاش والمعاد، وهي عدل كلها، ورحمة كلها، ومصالح كلها، وحكمة كلها: فكل مسألة خرجت عن العدل إلى الجور، وعن الرحمة إلى ضدها، وعن المصلحة إلى المفسدة، وعن الحكمة إلى العبث؛ فليست من الشريعة وإن أدخلت فيها التأويل؛ فالشريعة عدل الله بين عباده، ورحمته بين خلقه، وظله في أرضه، وحكمته الدالة عليه وعلى صدق رسوله ﷺ أتم دلالة وأصدقها،....

Artinya, ”Sungguh Syariat itu, kontruksinya dan fondasinya, berlandaskan kebijaksanaan dan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Itulah syariat yang secara totalitas berkeadilan, rahmat, kemaslahatan, dan kebijaksanaan (hikmah). Maka setiap masalah yang keluar (menyimpang) dari keadilan ke kezaliman, dari rahmat ke sebaliknya, dari maslahat ke mafsadat, dari hikmah ke kesia-siaan, maka itu bukanlah bagian dari syariat, meskipun dimasuki takwil (interpretasi). Jadi, syariat adalah keadilan Allah di antara hamba-hamba-Nya, rahmat-Nya di antara makhluk-Nya, naungan-Nya di bumi-Nya, dan kebijaksanaan-Nya yang menunjukkan kepada-Nya dan kepada kebenaran rasul-Nya SAW dengan petunjuk yang sempurna dan yang paling tepat, ….” (Al-Jauziyyah, I‘lâmul Muwaqqi‘în ‘an Rabbil ‘Âlamîn, [Beirut, Dârul Fikr: 2003], juz II, halaman 3).

Asas-asas pembentukan syariat/hukum Islam tersebut diberlakukan dalam rangka untuk tujuan global, yaitu memberikan rahmat bagi manusia, dan alam semesta. Imam As-Syâfi‘î r.a. (150-204 H), mengatakan:

فَكُلُّ مَا أُنْزِلَ فِيْ كِتَابِهِ --جَلَّ ثَنَاؤُهُ-- رَحْمَةٌ وَحُجَّةٌ....

Artinya, “Semua ayat yang diturunkan dalam kitab-Nya–yang Maha Terpuji– (Al-Qur’an Al-Karim) adalah rahmat dan hujjah (dalil).... (Al-Imâm As-Syâfi‘î, Ar-Risâlah, [Makkah, Maktabah ‘Abbâs Ahmad Al-Bâz: 1309 M], halaman 19).

Di antara rahmat itu adalah memberikan perlindungan bagi manusia, terutama hifzhun nafs, yakni perlindungan terhadap nyawa (jiwa). Perlindungan jiwa manusia ini merupakan satu tujuan terpenting di antara lima tujuan diterapkannya syariat/hukum Islam (maqâshidus syarî‘ah). Kelima tujuan dimaksud dirumuskan oleh para ulama dalam al-kulliyyatul khams (lima prinsip universal), yaitu hifzhun nafs (melindungi nyawa manusia), hifzhud dîn (melindungi agama), hifzhun nasl (melindungi keturunan/generasi), hifzhul ‘aql (melindungi akal/kebebasan berpikir dan berpendapat) dan hifzhul mâl (melindungi harta/ekonomi).

Tidak memahami maqâshidus syarî‘ah (tujuan syariat/hukum Islam) dengan baik sangatlah berbahaya sebab sebagaimana dikatakan oleh As-Syâthibî:

من لم يتفقه في مقاصد الشريعة فهمها على غير وجهها.

Artinya, ”Barangsiapa yang tidak mendalam pemahamannya mengenai maqâshidus syarî‘ah (tujuan syariat/hukum Islam), maka justru ia memahaminya tidak sesuai dengan sasaran syariat tersebut,” (As-Syâthibî, Kitâb Al-I‘tishâm, [Beirut, Dârul Fikr: 2003 M], juz II, halaman 121).

Selain pemahaman yang baik tentang kemaslahatan sebagai substansi hukum (fiqhul maqâshid) penting pula menggunakan pemahaman yang baik tentang skala prioritas (fiqhul aulawiyyât). Hal ini dimaksudkan agar produk hukum yang dilahirkan benar-benar selaras dengan kemaslahatan yang paling maslahat yang menjadi kebutuhan prioritas manusia (al-ashlah al-aulawiyyah).

Oleh karena urgensi fiqih prioritas itulah, muncul beberapa literatur penting, antara lain Nahwat Tajdîd wal Ijtihâd: Murâjâ‘ât fîl Manzhûmatil Ma‘rifiyyah Al-Islâmiyyah Awwalan Al-Fiqh wa Ushûluh karya guru kami al-ustâdz ad-duktûr Thaha Jâbir Al-‘Alwânî, (T.Tp: Dârut Tanwîr, 2008 M) dan Fî Fiqhil Aulawiyyât wad Dirâsah Jadîdah fî Dhau’il Qur’ân was Sunnah (Kairo, Maktabah Wahbah: tt) karya Yûsuf Al-Qarâdhâwî.

Kedudukan fiqhul maqâshid dan fiqhul aulawiyyât begitu penting dan keduanya mempunyai hubungan yang istimewa dalam rangka melahirkan produk hukum yang maslahat. Hal ini dikatakan oleh Al-‘Alwânî: 

والعلاقة بين الوسيلتين المقاصد والأولويات علاقة جدلية، ففقه المقاصد يمكن من فهم الوحي، وفقه الأولويات يمكن من فهم الواقع، ويقوم عليه التدين، وفقه التنزيل تركيب من هذا وذاك

Artinya, ”Hubungan antara dua media (pendekatan)–untuk mencapai hukum yang maslahat–, yaitu fiqhul maqâshid dan fiqhul aulawiyyât adalah hubungan dialektik (‘alâqah jadaliyyah), fiqih maqâshidi terbentuk dari pemahaman terhadap wahyu (fahmul wahyi), sedangkan fiqih prioritas terbentuk dari pemahaman terhadap realitas (fahmul wâqi‘), dan berpijak padanya cara beragama, dan fiqih aplikatif/praktis tersusun dari fiqih ini dan fiqih itu (fiqih maqashidi dan fiqih prioritas).” (Al-‘Alwânî, 2008 M: 178). (bersambung…)
 

Ustadz Ahmad Ali MD, anggota dewan ahli Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) dan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten.