Syariah

Metode Ijtihad: Mengungkap Cara Ulama Memproduksi Hukum

Sen, 15 Januari 2024 | 14:00 WIB

Metode Ijtihad: Mengungkap Cara Ulama Memproduksi Hukum

Ilustrasi: Usul fiqih 2.

Metode pengambilan hukum (manhaj istinbathul ahkam) merupakan metode yang digunakan para ulama dalam memproduksi hukum syariat. Adapun aktivitas pengambilan hukum (istinbathul ahkam) yang dilakukannya, terkenal dengan sebutan ijtihad. Sedang para ulama yang mempunyai kompetensi dan menekuni bidang ijtihad disebut sebagai mujtahid.
 

Ijtihad, seperti dijelaskan dalam Lubbul Ushul-kitab ushul fiqih yang sangat terkenal karya Syekh Abu Yahya Zakaria al-Anshari (841-925 H), adalah: 
 

 إستفراغ الفقيه الوسع لتحصيل الظن بالحكم

 

Artinya, “Upaya besar seorang fakih hingga sampai pada dugaan kuat dalam menentukan suatu hukum syariat.” (Zakariya Al-Anshari, Lubbul Ushul, [Al-Hidayah, Surabaya], halaman 147).

 

Faqih yang dimaksud dalam definisi di atas adalah mujtahid. Sebab, Syekh Zakaria Al-Anshari menerangkan, wal mujtahid al-faqih kama qalu al-faqih al-mujtahid, seorang mujtahid adalah faqih, sebagaimana juga tersebar bahwa seorang fakih adalah mujtahid). Pendeknya, faqih dan mujtahid adalah dua profesi yang melekat pada satu orang. Hal demikian dapat terjadi, lantaran fiqih dan ushul fiqih adalah dua disiplin ilmu yang saling bertalian erat. Tak dapat terlepas. Dapat dipastikan, seseorang yang mempunyai kompetensi dalam ijtihad, pasti menyimpan ilmu fiqih yang dalam. Sebaliknya, seseorang yang pakar ilmu fiqih, jelas kompeten dalam ijtihad.

 

Syarat-syarat Mujtahid

Menjadi seorang yang benar-benar faqih atau mujtahid, tentu bukan perkara enteng. Untuk dapat menyandang gelar besar tersebut, seseorang membutuhkan kepakaran dalam banyak hal besar. Berkaitan syarat-syarat sebagai mujtahid, Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh menyampaikan enam poin kompetensi yang harus dimiliki:
 

  1. Pakar dalam ilmu gramatika Bahasa Arab serta seluk-beluknya.
  2. Mumpuni dalam bidang ilmu ushul fiqih.
  3. Memahami betul ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an.
  4. Memahami hadis-hadis hukum secara etimologi dan terminologi.
  5. Mengerti konsep ijma’ dari segala aspeknya.
  6. Mendalami betul konsep qiyas berikut kajian-kajian di dalamnya.
 

Mencapai standar sempurna dalam enam kompetensi di atas memang bukan hal mudah. Penguasaan dalam gramatika Arab saja tidak hanya mencakup ilmu nahwu dan sharaf. Tetapi juga mantiq dan balagah yang mencakup bayani, ma’ani dan badi’.


Berikut kami sertakan beberapa contoh ijtihad, dengan maksud memberi gambaran bahwa menjadi seorang mujtahid tak seenteng yang dibayangkan. Di antaranya, yaitu hukum keharaman menikahi ibu. Hukum ini hanya diambil dari surat an-Nisa’ ayat 23:
 

حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ
 

Artinya, “Diharamkan atas kalian ibu-ibu kalian.” (QS. An-Nisa’:23).
 

Metode ini dalam buku-buku ushul fiqih disebut ta'wil 'an nushush (menakwil teks). Tanpa ilmu gramatika Arab yang tinggi, ketajaman nalar ushul fiqih, penguasaan asbabun nuzul, dan seterusnya, tentu akan kesulitan menentukan kalimat mana yang paling layak untuk menyempurnakan ayat di atas. Apakah yang diharamkan adalah mencium ibu (sebagai bentuk kasih sayang), meminum air basuhan kaki ibu, pergi merantau dan meninggalkan ibu selama bertahun-tahun, atau menikahi ibu, atau bahkan keharaman menyakiti ibu diwakili juga oleh ayat tadi? Jelas membutuhkan kompetensi dalam enam poin tersebut agar dapat menentukan salah satu yang paling relevan untuk menyempurnakan kalimat dalam penggalan surat an-Nisa’ ayat 23 itu.
 

Contoh yang lain, adalah seperti hukum kebolehan mengeluarkan qimah (harga) pada zakat biji-bijian, kambing dan unta. Padahal baginda Nabi saw sedikitpun tak pernah menyebut-nyebut harga dalam hadisnya. Itu karena tujuan pensyariatan zakat telah berhasil terbaca oleh para fuqaha, yakni mengeluarkan mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) dari kondisi sempit menuju lapang. Sekaligus mempermudah muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dalam menjalankan syariat Allah subhanahu wa ta’ala.
 

Langkah ijtihad semacam ini disebut rabthu 'an nushush bil maqashid (mengaitkan teks dengan tujuan syariat). Berikut redaksinya:
 

عن معاذ بن جبل أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بعثه إلى اليمن، فقال خذ الحب من الحب والشاة من الغنم والبعير من الإبل والبقرة من البقرة
 

Artinya, “Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal bahwa Rasulullah saw mengutusnya ke Yaman. Lalu beliau bersabda: 'Ambillah (zakat) berupa biji-bijian dari biji-bijian, seekor kambing dari kambing, seekor unta ba’ir dari unta, dan seekor sapi dari sapi'.” (Sunan Al-Baihaqi, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, juz IV, halaman 189).

 

Metode Ijtihad Ulama

Dari dua contoh yang baru saja kita baca, sekurangnya dapat memberi gambaran sekilas tentang nalar ijtihad. Berikutnya kita akan mengkaji lebih banyak bagaimana metode ijtihad dan dunia kerja ijtihad (‘amaliyyatul ijtihad) yang ditekuni para mujtahid kita.
 

Dalam memproduksi dan merumuskan suatu hukum lewat teks-teks syariat (Al-Quran dan hadis), para mujtahid atau fuqaha membutuhkan penguasaan atas satu metode yang disebut bayani.
 

Dalam buku Membangun Nalar Islam Moderat halaman 61-70, KH Afifuddin Muhajir menjelaskan dengan sangat rapi, metode bayani adalah metode pengambilan hukum dari teks Al-Quran dan hadis. Istilah lainnya adalah manhaju istinbathil ahkam minan nushush. Baik yang bersifat juz’i (parsial) maupun kulli (universal). Dalam mengaplikasikan metode ini, butuh beberapa langkah berikut:

 
  1. 1. Mengkaji sababun nuzul ayat Al-Quran atau sababul wurud (sebab munculnya) hadis. Baik sabab mikro (al-khash), maupun yang makro (al-‘amm).
  2. Mengkaji teks Al-Quran dan hadis dari perspektif kaidah kebahasaan (al-qawa’id al-ushuliyyah al-lughawiyyah) yang meliputi kajian lafal, kajian makna, dan kajian dalalah (penunjukan lafal atas makna).
  3. Mengaitkan satu teks dengan teks lain (rabthu an-nushush ba’dhuha bi ba’dhin). Karena sejatinya satu teks memiliki keterkaitan dengan teks yang lain. Selain itu, satu teks terhadap teks yang lain juga memiliki fungsi tertentu; baik sebagai taukid (penguat), bayan al-mujmal (menjelaskan nash yang bersifat garis besar), taqyid al-muthlaq (membatasi kata mutlak), takhshish al-‘amm (membatasi keumuman kata umum) atau taudhih al-musykil (menjelaskan kata taksa).
  4. 4Mengaitkan teks yang sedang dikaji dengan maqashid syari’ah (rabthu an-nushush bil maqashid). Hal ini menjadi penting dilakukan karena maqashid syari’ah selain sebagai tujuan besar syariat, sekaligus sebagai kulliyat as-syari’ah (totalitas syariat).
  5. Menakwil teks (takwil an-nushush), jika dibutuhkan. Karena setiap teks yang multimakna (interpretable) harus diarahkan ke makna dasarnya, yaitu makna yang jelas, hakiki dan rajih (kuat).
 

Semoga keterangan singkat ini, sekurang-kurangnya dapat membuka wawasan sekalian pembaca ihwal bagaimana para ulama memproduksi hukum dari teks-teks syariat. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni Ma’had Aly Situbondo, tinggal di Lombok Tengah, NTB.