Munas NU Bahas Hak dan Kewajiban Muslim di Negara Mayoritas Non-Muslim Perspektif Fiqih Siyasah
Rabu, 5 Februari 2025 | 15:30 WIB
Amien Nurhakim
Penulis
Muslim yang tinggal di negara yang berpenduduk mayoritas Nonmuslim menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan ajaran agama mereka. Mereka dituntut untuk menjaga identitas keislamannya sekaligus menghormati hukum dan aturan yang berlaku di negara tempat tinggalnya.
Dalam konteks ini, Munas NU (Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama) berperan penting dalam mendiskusikan bagaimana umat Islam dapat menjalani kehidupan yang seimbang antara prinsip agama dan keikutsertaan dalam kehidupan sosial-politik di negara mayoritas Nonmuslim.
Di banyak negara non-Muslim, umat Islam sering kali dihadapkan pada dilema terkait dengan pelaksanaan ajaran agama mereka tanpa melanggar hukum negara yang berlaku. Fiqih sebagai pedoman dalam kehidupan seorang Muslim, memberikan panduan terkait hubungan antara Muslim dan negara, termasuk dalam konteks negara yang tidak berbasis pada ajaran Islam.
Salah satu isu yang vokal dibahas adalah apakah seorang Muslim boleh berpartisipasi dalam pemerintahan negara Nonmuslim, seperti memilih atau dipilih sebagai pemimpin, atau membayar pajak negara tersebut?
Bagaimana fiqih mengatur hubungan antara Muslim dengan pemerintah Nomuslim? Apa saja batasan-batasan yang harus diperhatikan dalam berinteraksi dengan sistem pemerintahan yang berbeda keyakinan, baik dalam hal partisipasi politik, ekonomi, maupun sosial?
Masalah hubungan antara Muslim dan negara Nonmuslim adalah isu yang semakin relevan di era globalisasi ini. Munas NU yang digelar pekan ini memberikan ruang untuk mendiskusikan cara-cara yang tepat agar Muslim dapat berperan aktif dalam kehidupan politik, sosial, dan ekonomi di negara non-Muslim, sambil tetap memelihara identitas agama mereka.
Pembahasan serupa pernah diselenggarakan dalam Konferensi Internasional dengan topik “Peran Moderasi dalam Menjaga Stabilitas Dunia Islam” pada 14-15 Maret 2015 di Amman, Yordania.
Prof. Dr. Ja’far Abdul Salam, Profesor Hukum Internasional dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Universitas Islam dalam makalahnya yang berjudul “Hak dan Kewajiban Muslim di Negara Non-Muslim” memaparkan dengan detail ketentuan-ketentuan dasar bagi Muslim yang tinggal di negara mayoritas Non-Muslim.
- Muslim harus saling bekerja sama dalam menjalankan prinsip Islam dan berdakwah dengan kebenaran dan kesabaran, serta melindungi nilai-nilai agama.
- Muslim harus menjaga identitas mereka sebagai umat terbaik, tetap menghormati hukum di negara tempat tinggal, dan terlibat dalam hubungan internasional tanpa mengorbankan ajaran Islam.
- Muslim harus berintegrasi dalam masyarakat, mempelajari bahasa, dan mempersiapkan diri untuk berkontribusi tanpa mengganggu pengamalan agama.
- Muslim di Eropa harus menjadi penghubung antara masyarakat Eropa dan Islam untuk kepentingan bersama, serta mengembangkan hubungan ekonomi, sosial, dan budaya.
- Negara-negara Eropa harus memfasilitasi hak Muslim dalam beribadah, seperti pembangunan masjid, tempat salat, dan memberikan cuti berbayar untuk hari raya agama.
- Negara-negara Eropa harus mengizinkan pengajaran pendidikan agama Islam, mendirikan sekolah-sekolah untuk mengajarkan Islam, bahasa Arab, dan sejarah Islam.
- Perlu didirikan lembaga ilmiah Islam di Eropa dengan pengakuan atas gelar mereka, serta memfasilitasi hak lulusan untuk bekerja di sektor publik.
- Media di Eropa harus menghentikan penyalahgunaan Islam dan memberikan ruang bagi Muslim untuk mengungkapkan keyakinan mereka.
- Islam adalah agama kedamaian dan toleransi, mendorong Muslim untuk saling mengenal dan bekerja sama.
- Diperlukan badan representatif Islam di Uni Eropa untuk berdiskusi tentang legislasi yang berkaitan dengan minoritas dan masalah Muslim.
- Komunitas Muslim di Eropa harus memegang teguh prinsip Islam, bekerja sama dalam kebaikan, dan menjadi teladan yang baik di masyarakat.
- Tuduhan terorisme terhadap Islam harus dijawab dengan menegaskan bahwa terorisme bukan bagian dari ajaran Islam, dan pelaku teror pantas dihukum sebagaimana disebut dalam Al-Ma'idah ayat 33.
Adapun Syekh Wahbah Zuhaili dalam artikelnya tentang “Hak dan Kewajiban Muslim di Negara Mayoritas Non-Muslim” menjelaskan, ada 3 hak dan kewajiban bagi mereka, yaitu:
- hak dan kewajiban individu;
- hak dan kewajiban agama/ibadah; dan
- hak dan kewajiban sosial (politik, ekonomi, dan interaksi sosial).
Dalam artikel yang panjang tersebut Syekh Wahbah menyatakan:
“Hak dan kewajiban sosial seorang Muslim sangat banyak dan sangat penting. Seorang Muslim harus menghormati sistem negara tempat ia tinggal, sebagai bentuk kesetiaan dan keterikatan terhadap negara tersebut, serta membentuk identitasnya di dalamnya. Muslim juga harus setia pada negara tempat ia tinggal dan memanfaatkan sumber daya serta keuntungan yang ada.
Seorang Muslim berhak ikut serta dalam pemilu dan mencalonkan diri untuk menjadi anggota parlemen tanpa adanya diskriminasi. Ia juga berhak mendapatkan izin tinggal dan kewarganegaraan sesuai dengan sistem yang berlaku di negara tersebut. Selain itu, ia berhak untuk bebas bergerak, mengajukan suaka, serta memiliki hak untuk menggugat di pengadilan lokal, baik untuk menghapuskan ketidakadilan yang menimpa dirinya, atau untuk mendapatkan haknya yang telah dirampas atau dilanggar.
Namun, terkait dengan wajib militer, Islam tidak mengizinkannya, sehingga seorang Muslim dapat berusaha untuk dibebaskan dari kewajiban tersebut. Jika seorang Muslim tidak bergabung dalam pelayanan negara, maka risikonya ia akan dikenakan hukuman sesuai dengan hukum negara seperti penjara, denda, atau lainnya. Hukuman ini dianggap lebih ringan dan sah daripada ikut serta dalam peperangan dengan negara non-Muslim.
Di sisi politik, seorang Muslim yang tinggal di negara Nonmuslim memiliki hak untuk melakukan demonstrasi damai untuk menyuarakan pendapat atau posisi mereka. Mereka juga berhak untuk mengemukakan pendapat, karena kebebasan berpendapat adalah salah satu pilar demokrasi, yang juga merupakan bagian dari ajaran Islam.
Selain itu, kelompok Muslim yang tertindas di negara Nonmuslim berhak menuntut hak mereka untuk menentukan nasib sendiri dan merdeka dari negara asal mereka, terutama jika mereka telah kehilangan sarana hidup yang esensial, menderita kerugian atau tidak dapat menjalankan ibadah mereka.
Hak ekonomi seorang Muslim meliputi hak untuk bekerja, kebebasan dalam memperoleh sumber penghidupan yang layak, hak untuk mendapatkan jaminan sosial dalam kondisi sakit, cacat, usia lanjut, pengangguran, dan sejenisnya. Juga hak untuk memiliki dan mewariskan harta, karena kehidupan tidak bisa berlangsung tanpa hak-hak ini, yang mana juga dipraktikkan oleh Islam dan Deklarasi Hak Asasi Manusia. Namun, segala praktik ekonomi harus sesuai dengan hukum negara setempat.
Adapun hak-hak sosial Muslim di negara non-Islam: mereka berhak untuk membentuk keluarga dengan dasar-dasar Islam yang benar, menerapkan sistem syariat dalam masalah perceraian, warisan, zakat, pengelolaan wakaf, merayakan hari raya Islam seperti Idul Fitri dan Idul Adha, membangun masjid, sekolah-sekolah agama untuk mengajarkan agama dan membaca Al-Qur’an, serta mendirikan organisasi amal, sosial, dan agama untuk merawat fakir miskin, penyandang disabilitas, orang sakit, lansia, dan pengangguran."
Akan seperti apa hasil pembahasan Munas NU mengenai hak dan kewajiban Muslim di negara non-Muslim, kita tunggu argumentasi dan keputusan yang diambil oleh peserta musyawarah dalam forum MUNAS Alim Ulama NU 2025 yang diselenggarakan pekan ini. Wallahu a’lam.
Ustadz Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Universitas PTIQ Jakarta.
Terpopuler
1
KH Bisri Syansuri (1): Nasab dan Sanad Keilmuan
2
Tak Ada Respons Istana, Massa Aksi Bertahan hingga Malam
3
Cara Gus Baha Sambut Ramadhan: Perbanyak Ngaji
4
Pakar Tanggapi Dampak Pemangkasan Anggaran Kementerian untuk Program MBG
5
Ribuan Mahasiswa Gelar Aksi Indonesia Gelap di Patung Kuda
6
Pelunasan Bipih Jamaah Haji Reguler Hingga 14 Maret 2025, Berikut Besar Bipih Tiap Embarkasi
Terkini
Lihat Semua