Syariah

Penjelasan Hadits: Paling Berani Berfatwa, Paling Berani juga Masuk Neraka

Sab, 2 September 2023 | 16:00 WIB

Penjelasan Hadits: Paling Berani Berfatwa, Paling Berani juga Masuk Neraka

Penjelasan Hadits: Paling Berani Berfatwa, Paling Berani juga Masuk Neraka. (Foto: NU Online

Akhir-akhir ini para pendakwah tumbuh bak cendawan di musim hujan. Sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya. Tiap hari, selalu terlihat pendakwah-pendakwah baru yang mengisi ruang-ruang kosong untuk menyerukan ajaran Islam, baik di dunia maya seperti di Facebook, Instagram, TikTok, YouTube, maupun di dunia nyata.


Sebutan pendakwah seperti ustadz, ustadzah, lora, gus, kiai, tuan guru, dan lain sebagainya terkadang menjadikan dirinya sangat percaya diri untuk menjelaskan suatu konsep hukum dalam Islam. Akibatnya, semua pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan kepada mereka langsung dijawab tanpa pertimbangan dan analisis masalah yang mendalam. Seolah, berfatwa sangat mudah dan bisa dilakukan oleh siapa saja.


Tren seperti ini pada hakikatnya sudah mendapatkan peringatan tegas dari Rasulullah sejak 14 abad yang lalu. Nabi menegaskan bahwa orang-orang yang sangat berani untuk menjawab setiap problematika yang ada, merupakan orang yang sangat berani pula untuk masuk ke dalam neraka. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam salah satu haditsnya, yaitu:


أَجْرَؤُكُمْ عَلىَ الفُتْيَا أَجْرَؤُكُمْ عَلىَ النَّارِ


Artinya, “Orang yang paling berani dari kalian dalam berfatwa, merupakan orang yang paling berani pada neraka.” (HR ad-Darimi dalam kitab Jam’ul Jawami’, dengan status hadits mursal dari Ubaidillah bin Abi Ja’far).


Merujuk pendapat Syekh Abdurrauf al-Munawi (wafat 1031 H), dalam kitabnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan orang yang paling berani untuk berfatwa adalah orang yang selalu menjawab setiap problematika yang ada tanpa melalui pertimbangan dan kepastian atas kejadian yang ada. Maka pada hakikatnya orang inilah yang sangat berani untuk masuk ke dalam neraka.


Hal itu disebabkan karena orang yang berfatwa menjelaskan hukum-hukum Allah. Sehingga jika fatwa yang dikeluarkan tidak berdasarkan ilmu pengetahuan, atau menganggap gampang persoalan tersebut tanpa melalui pertimbangan dalam memfatwakan sebuah hukum. Maka hal ini yang menjadi penyebab seseorang masuk ke dalam neraka,


لِأَنَّ الْمُفْتِي مُبَيِّنٌ عَنِ اللهِ حُكْمَهُ فَإِذَا أَفْتَى عَلىَ جَهْلٍ أَوْ بِغَيْرِ مَا عَلِمَهُ أَوْ تَهَاوُنٍ فِي اسْتِنْبَاطِهِ فَقَدْ تَسَبَّبَ فِي إِدْخَالِ نَفْسِهِ النَّارَ لِجُرْأَتِهِ عَلىَ الْمُجَازَفَةِ فِي أَحْكَامِ الْجَبَّارِ


Artinya, “Karena orang yang berfatwa menjelaskan hukum Allah, maka jika berfatwa dengan kebodohan, atau berfatwa tanpa ilmu, atau menganggap remeh dalam mencetuskan hukum, maka sungguh ia telah menjerumuskan dirinya untuk masuk ke dalam neraka, karena ia telah berani berspekulasi pada hukum-hukum Zat Yang Maha Perkasa.” (Syekh al-Munawi, Faidhul Qadir Syarh Jami’is Shagir, [Lebanon, Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1994], juz I, halaman 206).


Lebih lanjut, Syekh al-Munawi juga menjelaskan bahwa hadits ini merupakan pengingat bagi orang-orang yang hendak menjawab setiap persoalan untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan sebuah pernyataan dan jawaban dan tidak menganggap remeh persoalan yang ada.


Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Imam Ibnu Muflih al-Muqdisi (wafat 763 H) dalam kitab al-Adabus Syar’iyah wal Minahul Mar’iyah, juz I, halaman 134, dan kitab at-Taisir bi Syarhil Jami’is Shagir, juz I, halaman 71.


Dari beberapa penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa maksud hadits orang yang paling berani berfatwa adalah orang yang paling berani masuk neraka hanya bagi orang-orang yang tidak memiliki keilmuan yang mendalam perihal problematika yang dihadapi, sehingga berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Sedangkan orang yang benar-benar paham pada persoalan yang ada, maka tidak termasuk dalam hadits tersebut, sebagaimana penjelasan Syekh al-Munawi.


Meneladani Para Sahabat dalam Berfatwa

Berkaitan dengan hal ini, Habib Zain bin Ibrahim bin Smith dalam salah satu kitab karyanya menjelaskan kisah-kisah para sahabat dan ulama terbaik pada zaman dahulu (salafus shalih). Dalam kitabnya ia mengutip perkataan Abdurrahman bin Abi Laila al-Anshari al-Kufi (wafat 82 H), pakar fiqih dari golongan tabi’in. Ia berkata:


Aku menjumpai 120 sahabat Rasulullah saw, ketika salah satu dari mereka ditanya tentang suatu problematika, ia mengembalikan problematika tersebut pada sahabat nabi yang lain (dan itu berputar terus-menerus di kalangan mereka) hingga problematika itu kembali (diajukan) pada sahabat yang pertama.” (Habib Zain, al-Manhajus Sawi Syarh Ushuli Thariqatis Sadah Ba’alawi, [Darul Ilmi wad Da’wah: 2005], halaman 202).


Nah, apa yang dilakukan oleh para sahabat nabi seperti ini tentu menjadi teladan bagi kita semua dalam berfatwa atau memberi pernyataan dan jawaban. Berhati-hati dalam menjawab suatu persoalan merupakan ciri khas para sahabat nabi. Tentu, semua itu dilakukan oleh mereka bukan karena tidak tahu, namun bentuk kehati-hatiannya dalam menyampaikan sebuah hukum.


Ibnu Mas’ud berkata: "Siapa yang menjawab setiap masalah yang ada, maka dia adalah orang gila. Imam Malik bin Anas berkata: Siapa saja yang hendak menjawab suatu masalah, maka terlebih dahulu hadapkanlah dirinya pada surga atau neraka, kemudian mungkinkah ia selamat (dari neraka karena jawaban tersebut atau tidak), jika selamat barulah menjawab.” (Syekh Abdul Wahab asy-Sya’rani, al-Mizanul Kubra asy-Sya’raniyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], halaman 70).


Demikian penjelasan perihal maksud hadits orang yang paling berani berfatwa merupakan orang yang paling berani masuk neraka. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur