Syariah

Peringatan Maulid Nabi Perspektif Hadits Shahih 

Rab, 27 September 2023 | 17:00 WIB

Peringatan Maulid Nabi Perspektif Hadits Shahih 

Foto ilustrasi (NU Online/Freepik)

Al-Hafidz Abu Fadhl Ahmad Ibn Hajar, seperti dikutip as-Suyuthi dalam kitabnya Husnul Maqshid saat ditanya perihal peringatan maulid Nabi mengatakan bahwa pada dasarnya hukum asal memperingati maulid adalah belum pernah dinukil dari kaum Salaf yang hidup pada tiga abad pertama.


Peringatan maulid mengandung kebaikan jika dalam peringatan maulid dilakukan hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang buruk yang tidak direstui syari'at. Maka ini termasuk bid’ah hasanah (bid'ah yang baik). 


Menurut beliau, dasar peringatan Maulid adalah hadits sahih dari tsabit dalam sahihain. Hadits yang di maksud adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam Kitabus Shiyam bab 79: 


أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسَأَلَهُمْ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ أَغْرَقَ اللَّهُ فِيهِ فِرْعَوْنَ وَنَجَّى مُوسَى فَنَحْنُ نَصُومُهُ شُكْرًا لِلَّهِ تَعَالَى


Artinya: "Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab: “Ini adalah hari di mana Allah menenggelamkan Fir'aun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa sebagai ungkapan syukur kepada Allah Ta’ala.”


Dzahirnya, hadits ini menerangkan tentang kesunahan puasa 'Asyura. Namun as-Suyuthi memahaminya lebih luas, yang subtansinya adalah kebolehan bersyukur kepada Allah atas anugerah yang diberikan-Nya baik berupa kenikmatan atau dijauhkan dari marabahaya yang mengancam pada hari-hari tertentu. Berikut selengkapnya: 


فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ فِعْلُ الشُّكْرِ لِلَّهِ عَلَى مَا مَنَّ بِهِ فِي يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ إسْدَاءِ نِعْمَةٍ أَوْ دَفْعِ نِقْمَةٍ وَيُعَادُ ذَلِكَ فِي نَظِيرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ كُلِّ سَنَةٍ  وَالشُّكْرُ لِلَّهِ يَحْصُلُ بِأَنْوَاعِ الْعِبَادَةِ كَالسُّجُودِ وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ وَالتِّلَاوَةِ وَأَيُّ نِعْمَةٍ أَعْظَمُ مِنْ النِّعْمَةِ بِبُرُوزِ هَذَا النَّبِيِّ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ  وَعَلَى هَذَا فَيَنْبَغِي أَنْ يَتَحَرَّى الْيَوْمَ بِعَيْنِهِ حَتَّى يُطَابِقَ قِصَّةَ مُوسَى فِي يَوْمِ عَاشُورَاءَ وَمَنْ لَمْ يُلَاحِظْ ذَلِكَ لَا يُبَالِي بِعَمَلِ الْمَوْلِدِ فِي أَيِّ يَوْمٍ مِنْ الشَّهْرِ بَلْ تَوَسَّعَ قَوْمٌ فَنَقَلُوهُ إلَى يَوْمٍ مِنْ السَّنَةِ 


Artinya, "Dari hadits ini dapat diambil kesimpulan bahwa boleh melakukan syukur kepada Allah atas apa yang Dia anugerahkan pada hari tertentu berupa pemberian nikmat dan penyelamatan dari mara bahaya, dan setiap tahun dilakukan hal yang sama setiap bertepatan pada hari itu. Adapun bersyukur kepada Allah dapat dicapai dengan macam-macam ibadah, seperti bersujud, berpuasa, bersedekah dan membaca Al Quran. Lantas, pada hari ini nikmat mana yang lebih agung dari pada kelahiran Nabi sang pembawa rahmat?. Atas demikian itu, maka seyogianya  Maulid diusahakan untuk dilaksanakan pada hari tersebut, sehingga sesuai dengan kisah Nabi Musa pada Hari Asyura. Adapun orang yang tidak memperhatikan hal yang demikian itu, maka dia tidak perduli di hari apa saja dari bulan tersebut dia mengadakan Maulid.  Bahkan, banyak orang yang memperluasnya, mereka memindahkankannya pada hari-hari dari setahun." (As-Suyuthi, Husnul Maqshid fi Amalil Mawlid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: tanpa tahun], halaman 63-64).


Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa memperingati maulid memiliki arti bersyukur kepada Allah atas nikmat yang sangat luar biasa bagi manusia dan alam semesta, yakni kelahiran Nabi Muhammad saw, nabi pembawa risalah terakhir, pembawa rahmat dan pemberi syafa'at. Tidak ada nikmat yang lebih agung ketimbang kelahiran beliau di dunia dan memperingatinya merupakan amalan yang berdasar pada hadits sahih dan bernilai pahala.


Oleh sebab itu dalam peringatan maulid agar mengerjakan hal-hal yang dapat difahami sebagai rasa syukur kepada Allah dengan tilawah, memberi makan, bersedekah, memuji, menyanjung dan kisah-kisah keteladanan Nabi Muhammad yang dapat menggerakkan hati untuk terus berbuat kebaikan dan beramal yang berorientasi akhirat. Wallahu a'lam bisshawab.


Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo