Rasulullah Ajarkan Kesetaraan Antar-Etnis dan Hapus Superioritas Rasial
Sabtu, 11 Mei 2024 | 05:00 WIB
Amien Nurhakim
Penulis
Superioritas rasial menjadi topik yang memicu pro-kontra dan kompleks dalam sejarah manusia. Konsep tentang superioritas rasial telah menjadi landasan bagi banyak bentuk diskriminasi, penindasan, dan ketidaksetaraan di seluruh dunia.
Menurut Angela Saini, seorang jurnalis spesialis dalam bidang komunikasi sains, dalam bukunya yang berjudul Superior, konsep ras adalah suatu hal yang relatif baru. Salah satu penggunaan pertama kali muncul pada abad ke-16 sebagai cara untuk merujuk kepada sekelompok orang dari suatu keluarga atau suku, tanpa memiliki konotasi yang sama sebagaimana sekarang. (Angela Saini, Superior: The Return of Race Science, [Boston: Beacon Press, 2019], hal. 43).
Saini menjelaskan sudah banyak tokoh besar bidang biologi yang terlibat dalam melahirkan ide-ide namun tidak dapat diterima oleh sebagian kalangan. Bahkan, menurutnya, Charles Darwin terjerat dalam kategorisasi manusia, sehingga muncul gradasi antara manusia dari ras tertinggi hingga yang paling rendah.
Baca Juga
Larangan Rasisme dalam Islam
Klasifikasi rasial memunculkan ragam teori, salah satunya teori seleksi alam oleh Thomas Henry Husley yang menyebut bahwa manusia diciptakan tidak sama. Menurut teori tersebut, orang dengan kulit hitam dalam sebuah sistem komunitas hierarki tidak akan mencapai puncak peradaban (Angela Saini, Superior, hal. 51).
Oleh karena itu, pada tahun 1950, Unesco mengumpulkan 100 ilmuwan, pembuat kebijakan, dan diplomat kemudian mengeluarkan pernyataan yang bertujuan untuk mendefinisikan kembali gagasan tentang ras, sehingga rasisme dapat diakhiri. (Angela Saini, Superior, hal. 73).
Amnesty International dalam sebuah publikasi tahun 2001 menyatakan bahwa konsep ras merupakan konstruksi sosio-politik yang didasarkan pada karakter fisik. Konsep ras kadang ditujukan untuk tujuan politik, sehingga ekspresi ideologis rasisme lahir. Ras juga sering digunakan untuk membenarkan tindakan dominasi ataupun superioritas rasial terhadap mereka yang dianggap lebih rendah. (Hesti Armiwulan, Diskriminasi Rasial dan Etnis Sebagai Persoalan Hukum dan Hak Asasi Manusia, [Jurnal Masalah-Masalah Hukum, 2015], hal. 499).
Gradasi rasial menimbulkan adanya klasifikasi ras menjadi bertingkat sehingga superioritas pun muncul. Superioritas akan menimbulkan tindakan-tindakan yang merugikan pihak lain yang dianggap lebih rendah. Tidak dapat dipungkiri, adanya pemerasan, eksploitasi, manipulasi, hingga kolonialisasi, salah satu faktor kemunculannya diinisiasi oleh superioritas rasial.
Eksistensi superioritas rasial secara internal tidak hanya ada di Barat, di Timur pun tidak jauh berbeda. Di Indonesia sendiri isu etnisme dan rasisme tidak jarang digunakan sebagai senjata di kala perpolitikan sedang memanas.
Superioritas rasial di tengah umat Islam tentunya tidak seharusnya terjadi. Umat Islam yang memiliki panduan Al-Quran dan hadits dalam kehidupan sehari-hari tidak semestinya merasa superior atas dasar etnis.
Rasulullah saw sendiri sebagai teladan umat pada 14 abad yang lalu telah mendeklarasikan bahwa tidak ada tempat untuk superioritas rasial di dunia ini. Pesan tersebut disampaikan saat pidato pada Haji Wada’. Beliau menyeru:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلاَ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ، وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلاَ أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلاَّ بِالتَّقْوَى
Artinya, “Wahai manusia, ketahuilah bahwa Rabb kalian adalah satu, dan bahwa nenek moyang kalian adalah satu. Ketahuilah bahwa tidak ada keunggulan bagi seorang Arab atas non-Arab, atau sebaliknya, dan tidak ada keunggulan bagi seorang kulit putih atas kulit hitam, atau sebaliknya, kecuali dalam ketakwaan!.” (HR Ahmad dan Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir).
Mengenai autentisitas dan validitas hadits di atas, Al-Haitsami menginputnya dalam kitab ia tulis, yaitu ensiklopedis berisi status hadits-hadits dan menyatakan shahih. Menurutnya, sanad riwayat Ahmad diisi oleh perawi-perawi yang kredibel (‘Ali bin Abu Bakar al-Haitsami, Majma’uz Zawaid wa Manba’ul Fawaid, [Beirut: Darul Fikr, 1412], jilid III, hal, 586).
Asy-Syaukani dalam Nailul Authar menjelaskan hadits ini merupakan pondasi yang menyangkal superioritas individu maupun kelompok berdasarkan status sosial maupun rasial, sebagaimana terjadi pada zaman Jahiliyah atau Arab pra-Islam.
Menurutnya, hadits ini menetapkan secara definitif keutamaan seseorang dalam Islam hanya ada pada tingkat ketakwaan, sehingga tidak ada keunggulan orang Arab atas non-Arab kecuali dengan ketakwaan, demikian juga tidak ada keunggulan orang kulit hitam atas orang kulit merah dan lain sebagainya kecuali dengan ketakwaan.
Ulama reformis Yaman tersebut menegaskan, jika Islam tidak menetapkan kemuliaan seseorang di sisi Tuhan berdasarkan ketakwaan, niscaya para bangsawan-bangsawan yang hidup di masa Jahiliyah akan mendapat status mulia. (Asy-Syaukani, Nailul Authar, [Mesir: Darul Hadits, 1993], jilid V, hal. 99).
Kemudian dalam riwayat lainnya, Rasulullah saw pernah menegaskan bahwa manusia dinilai secara objektif dari perilakunya, bukan semata-mata karena keturunan maupun ras. Beliau bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَفَخْرَهَا بِالْآبَاءِ مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ أَنْتُمْ بَنُو آدَمَ وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ لَيَدَعَنَّ رِجَالٌ فَخْرَهُمْ بِأَقْوَامٍ إِنَّمَا هُمْ فَحْمٌ مِنْ فَحْمِ جَهَنَّمَ أَوْ لَيَكُونُنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّهِ مِنْ الْجِعْلَانِ الَّتِي تَدْفَعُ بِأَنْفِهَا النَّتِنَ
Artinya, “Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kalian kesombongan ala Jahilliyah dan kebanggaan kalian dengan nenek moyang. (Yang ada adalah) orang beriman yang bertakwa dan orang jahat yang sengsara. Kalian adalah anak cucu Adam, dan Adam tercipta dari tanah. Maka, hendaklah orang-orang meninggalkan kebanggaan mereka terhadap kaumnya; sebab mereka hanya (akan) menjadi arang jahannam, atau di sisi Allah mereka akan menjadi lebih hina dari serangga yang mendorong kotoran dengan hidungnya.” (HR Abu Dawud).
Hadits di atas diriwayatkan juga oleh Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya, dan dinilai sebagai hadits hasan. Hanya saja, At-Tirmidzi juga menilai hadits ini gharib sebab tidak ada yang meriwayatkannya kecuali dari jalur ‘Abdullah bin Dinar dari ‘Abdullah bin ‘Umar (Ibnul Atsir, Jami’ul Ushul fi Ahaditsir Rasul, [Beirut: Darul Fikr, 1972], jilid X, hal. 617).
Di sisi lain, kritikus seperti Yahya bin Ma’in menilai seorang perawi di dalamnya yang bernama ‘Abdullah bin Ja’far merupakan perawi dha’if. Kendati demikian, kaidah periwayatan dalam At-Tirmidzi jika didapati istilah ‘hasan-gharib’ maka artinya hadits tersebut gharib [memiliki jalur tunggal] dari sisi sanad, namun secara matan ada hadits lain yang memiliki substansi yang mendukung dan menguatkannya.
Rasulullah juga pernah mengingatkan sahabatnya, Abu Dzar, yang terindikasi masih memiliki karakter jahiliyah, yaitu dengan mengejek seseorang berdasarkan rasnya. Rasulullah tampak memerangi sikap superiorotas rasial yang masih menjangkiti karakter para sahabat. Hadits tersebut yaitu:
عَنْ الْمَعْرُورِ بْنِ سُوَيْدٍ قَالَ مَرَرْنَا بِأَبِي ذَرٍّ بِالرَّبَذَةِ وَعَلَيْهِ بُرْدٌ وَعَلَى غُلَامِهِ مِثْلُهُ فَقُلْنَا يَا أَبَا ذَرٍّ لَوْ جَمَعْتَ بَيْنَهُمَا كَانَتْ حُلَّةً فَقَالَ إِنَّهُ كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَ رَجُلٍ مِنْ إِخْوَانِي كَلَامٌ وَكَانَتْ أُمُّهُ أَعْجَمِيَّةً فَعَيَّرْتُهُ بِأُمِّهِ فَشَكَانِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَقِيتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ سَبَّ الرِّجَالَ سَبُّوا أَبَاهُ وَأُمَّهُ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ
Artinya, “Diriwayatkan dari Al Ma'rur bin Suwaid, dia berkata, ‘Kami pernah melewati Abu Dzar di Rabdzah, saat itu dia mengenakan kain burdah, sebagaimana dia, budaknya juga mengenakan pakaian yang sama. Kami lalu bertanya, "Wahai [Abu Dzar], sekiranya kamu menggabungkan dua kain burdah itu, tentu akan menjadi pakaian yang lengkap." Kemudian dia berkata, ‘Dahulu aku pernah adu mulut dengan saudaraku (seiman), ibunya adalah orang 'Ajam (non-Arab), lalu aku mengejek ibunya hingga ia pun mengadu kepada Nabi saw. Ketika aku berjumpa dengan Nabi, beliau bersabda: ‘Wahai Abu Dzar, sungguh dalam dirimu masih terdapat sifat jahiliyah’.” (HR Muslim).
Dalam rangka mengakhiri superioritas rasial yang telah mewarnai sejarah umat manusia, Nabi Muhammad saw telah memberikan teladan yang tegas dan inspiratif. Melalui pesan-pesan beliau, kita diingatkan bahwa ketakwaan menjadi takaran kualitas seorang hamba, bukan ras, suku atau warna kulit. Wallahu a’lam
Ustadz Amien Nurhakim, Penulis Keislaman NU Online
Terpopuler
1
GP Ansor DIY Angkat Penjual Es Teh Sunhaji Jadi Anggota Kehormatan Banser
2
GP Ansor Jatim Ingin Berangkatkan Umrah Bapak Penjual Es Teh yang Viral dalam Pengajian Gus Miftah
3
Gus Miftah Sambangi Kediaman Bapak Penjual Es Teh untuk Minta Maaf
4
LD PBNU Ingatkan Etika dan Guyon dalam Berdakwah, Tak Perlu Terjebak Reaksi Spontan
5
PBNU Tunjuk Ali Masykur Musa Jadi Ketua Pelaksana Kongres JATMAN 2024
6
Respons Pergunu soal Wacana Guru ASN Bisa Mengajar di Sekolah Swasta
Terkini
Lihat Semua