Syariah

Sikap Rasulullah pada Istrinya yang Sedang Haidh

Jum, 11 November 2022 | 18:00 WIB

Sikap Rasulullah pada Istrinya yang Sedang Haidh

Rasulullah tetap bersikap romantis terhadap istrinya yang sedang mengalami haidh.

Rasulullah merupakan teladan sepanjang zaman. Semua perbuatan, ucapan, dan pengakuannya menjadi sebuah dalil betapa agung kepribadian dan sifatnya, serta kehati-hatiannya yang sangat tinggi. Oleh karena itu, Allah swt memberinya gelar “uswatun hasanah”, yang berarti teladan yang baik dalam Al-Qur’an, sebagai bukti bahwa dalam dirinya terdapat perangai yang harus diteladani oleh semua manusia.

Salah satu contohnya adalah kesabaran dan keikhlasannya yang sangat tinggi ketika menyebarkan ajaran Islam. Saat itu, beratnya ujian dan cobaan yang ia hadapi dalam berdakwah tidak pernah membuatnya menyerah sedikit pun. Bahkan, di saat ujiannya selalu bertambah, ia juga menambah volume kesabarannya.

Kendati demikian, Rasulullah tidak hanya teladan dalam dakwah saja, lebih dari itu juga teladan dalam rumah tangga. Ia merupakan potret suami ideal untuk dijadikan contoh dalam membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Istri-istrinya tidak pernah ia kecewakan, bahkan saat mereka sedang haidh sekali pun, sikap romantismenya tidak pernah berkurang.

Oleh karena itu, dalam kesempatan saat ini penulis akan menjelaskan perihal sikap romantis Rasulullah kepada istri-istrinya saat mereka sedang haidh. Hal ini penting untuk ditulis, karena saat ini masih banyak yang menganggap bahwa istri yang sedang haidh harus dijauhi dan tidak boleh bermain dengannya.

Sikap Rasulullah Pada Istrinya yang Haidh

Sebelum datangnya Islam, masyarakat Arab yang dikenal dengan bangsa Jahiliyah sangat anti dengan wanita menstruasi, mereka menempatkan istrinya yang sedang haidh di tempat yang tidak layak, mereka dianggap najis, tidak diperkenankan makan bersama laki-laki, dan hal-hal lainnya yang tidak manusiawi. (Mutawali asy-Sya’rawi, Fiqhu al-Mar’ah al-Muslimah, [Maktabah Taufiqiyah, 2019], halaman 8).


Setelah tradisi dan budaya buruk itu terus berlanjut, dan wanita haidh terus direndahkan dan dihinakan, saat itu Rasulullah datang dengan ajaran mulia nan agung yang memiliki visi dan misi untuk mereparasi ulang akhlak dan kebiasaan manusia yang rusak. Dengan risalah itu, wanita diberikan hak-haknya sendiri. Mereka tidak lagi direndahkan dan dihinakan sebagaimana perlakuan sebelum datangnya Islam, bahkan Islam tetap memuliakannya sekalipun dalam keadaan haidh.


Dalam ajaran Islam, wanita yang sedang haidh atau nifas hanya tidak diperkenankan untuk bersenggama saja. Selain itu, Islam memperbolehkannya, termasuk bercumbu, bersenda gurau, dan beberapa perbuatan romantisme lainnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:


اِصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ


Artinya, “Kerjakanlah setiap sesuatu (ketika istri haidh) kecuali nikah (bersetubuh).” (HR Anas bin Malik)


Dalam hal ini, Rasulullah menjadi potret dan teladan sebagai suami ideal dalam memperlakukan istrinya ketika haidh. Ia tidak pernah menjauhi istrinya di saat itu, apalagi menempatkannya yang tidak layak. Salah satu buktinya adalah sebagaimana riwayat Sayyidah Siti Aisyah, ia berkata:


كُنْتُ أَشْرَبُ وَأَنَا حَائِضٌ وَأُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ فَيَشْرَبُ وَأَتَعَرَّقُ الْعَرْقَ وَأَنَا حَائِضٌ وَأُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ


Artinya, “Aku (Aisyah) minum ketika aku sedang haidh, kemudian aku memberikannya kepada Nabi Muhammad saw, lalu ia meletakkan mulutnya pada tempat mulutku. Aku juga pernah menggigit daging ketika aku sedang haidh, kemudian (sisa dagingnya) aku berikan kepada nabi, maka ia meletakkan mulutnya di tempat mulutku.” (HR Aisyah).


Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah Waliyuddin at-Tabrizi (wafat 741 H) dalam kitabnya menjelaskan bahwa hadits di atas menjadi dalil diperbolehkanya bercumbu rayu dengan istri yang sedang haidh, duduk dengannya, makan bersama, dan mengambil sisa-sisa makanan dan minuman darinya. (Syekh Waliyuddin at-Tabrizi, Misykatul Mashabih ma’a Mir’atil Mafatih, [Beirut, Maktab al-Islami: 1985], juz II, halaman 495).


Selain itu, Rasulullah juga tidak pernah menjauhi istrinya yang sedang menstruasi, bahkan membaca Al-Qur’an di pangkuannya. Hal ini sebagaimana dalam riwayat Sayyidah Siti Aisyah, ia berkata:


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَّكِئُ فِى حِجْرِى وَأَنَا حَائِضٌ فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ


Artinya, “Rasulullah saw bersandar di pangkuanku (Aisyah) ketika aku haidh, kemudian ia membaca Al-Qur’an.” (HR Aisyah).


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ  يُدْنِى إِلَىَّ رَأْسَهُ وَأَنَا فِى حُجْرَتِى فَأُرَجِّلُ رَأْسَهُ وَأَنَا حَائِضٌ


Artinya, “Rasulullah mendekatkan kepalanya kepadaku ketika aku ada dalam kamarku, kemudian aku rapikan rambutnya, dan (saat itu) aku sedang haidh.” (HR Aisyah).


Imam Abu Zakaria Yahya bin Syarf an-Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya mengatakan bahwa hadits ini menjadi sebuah dalil diperbolehkannya membaca Al-Qur’an di dekat wanita yang sedang haidh, baik dengan cara duduk di sampingnya, atau bersandar kepadanya. (Imam Nawawi, Syarhun Nawawi ‘ala Shahihi Muslim, [Beirut, Darul Ihya at-Turats: 1392], juz III, halaman 211).


Demikian potret keharmonisan Rasulullah saw bersama istrinya yang sedang mesntruasi. Ia menjadi potret suami ideal dalam memperlakukan istri agar bisa terjalin sebuah hubungan yang sakinah mawaddah wa rahmah. Wallahu a’lam.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.