Ahmad Maimun Nafis
Kolomnis
Dalam transaksi jual-beli, adakala pembeli merasa kecewa karena barang yang diterima ternyata rusak atau tidak sesuai spesifikasi.
Misalnya, orang membeli lemari, tetapi saat sampai di rumah, ia menemukan pintunya goyah. Lantas, ia mengajukan keluhan kepada penjual. Daripada harus mengembalikan barang yang merepotkan, keduanya sepakat untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih praktis: penjual mengembalikan sebagian uang sebagai kompensasi, sementara pembeli tetap menyimpan barang tersebut.
Namun, apakah penyelesaian semacam ini sesuai dengan aturan syariat? Mari kita bahas pendapat para ulama mengenai kasus ini.
Secara umum, ketika ada masalah dengan barang yang dibeli, ada beberapa kemungkinan solusi yang bisa dilakukan. Tiap solusi mendapatkan respon yang berbeda dari para ulama.
Solusi pertama, pembeli mengembalikan barang yang cacat dan meminta pengembalian penuh atas uangnya. Solusi ini secara umum diterima oleh para ulama karena sesuai dengan prinsip dasar jual-beli dalam Islam, yaitu memberikan hak penuh kepada pembeli untuk mendapatkan barang yang sesuai dengan kesepakatan awal.
Dalam fiqih, hal ini dikenal dengan istilah khiyarul ‘aib atau pilihan mengembalikan barang karena cacat, yang memberi kepada pembeli hak untuk membatalkan transaksi apabila barang yang diterima tidak sesuai atau mengalami kerusakan yang mengurangi nilai atau manfaatnya.
Khiyarul ‘aib bertujuan untuk melindungi hak pembeli dan menjaga keadilan dalam transaksi.
لِلْمُشْتَرِي الْجَاهِلِ بِمَا يَأْتِي الْخِيَارُ بِظُهُورِ عَيْبٍ قَدِيمٍ وَالْمُرَادُ بِقِدَمِهِ كَوْنُهُ مَوْجُودًا عِنْدَ الْعَقْدِ أَوْ حَدَثَ قَبْلَ الْقَبْضِ كَمَا يُعْلَمُ مِنْ كَلَامِهِ الْآتِي. أَمَّا الْمُقَارِنُ فَبِالْإِجْمَاعِ، وَأَمَّا الْحَادِثُ قَبْلَ الْقَبْضِ فَلِأَنَّ الْمَبِيعَ حِينَئِذٍ مِنْ ضَمَانِ الْبَائِعِ فَكَذَا جُزْؤُهُ وَصِفَتُهُ
Artinya, “Bagi pembeli yang tidak mengetahui cacat yang ada, diberikan hak pilihan dengan munculnya cacat yang lama. Yang dimaksud dengan 'yang lama' adalah cacat sudah ada pada saat akad berlangsung atau terjadi sebelum barang diterima pembeli, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam pernyataan berikutnya.
Adapun cacat yang bersamaan dengan akad, maka berdasarkan ijma’ (konsesus semua ulama’). Sedangkan cacat yang terjadi sebelum barang diterima, hal ini karena barang yang dijual pada saat itu masih berada dalam tanggungan penjual, begitu pula dengan bagian-bagian dan sifat-sifatnya.” (As-Syirbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: 1994], juz II, halaman 425).
Solusi kedua, pembeli tetap menyimpan barang, tetapi meminta sebagian uangnya kembali sebagai kompensasi atas cacat atau kekurangan barang (arsy).
Pertanyaannya, jika penjual dan pembeli sepakat untuk menyelesaikan masalah dengan cara ini tanpa mengembalikan barang, apakah hal ini sah menurut syariat?
Analisa pada kasus serupa pernah dilakukan oleh Imam Al-‘Umrani. Ia menjelaskan:
فَإِنْ قَالَ ٱلْبَائِعُ لِلْمُشْتَرِي: أَمْسِكِ ٱلْمَبِيعَ، وَأَنَا أُعْطِيكَ أَرْشَ ٱلْعَيْبِ.. لَمْ يُجْبَرِ ٱلْمُشْتَرِي عَلَى ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُبْذِلِ ٱلثَّمَنَ إِلَّا لِيَسْلَمَ لَهُ مَبِيعٌ سَلِيمٌ. وَإِنْ طَلَبَ ٱلْمُشْتَرِي ٱلْأَرْشَ مِنَ ٱلْبَائِعِ لِيُمْسِكَ ٱلْمَبِيعَ.. لَمْ يُجْبَرِ ٱلْبَائِعُ عَلَى دَفْعِهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَرْضَ بِتَسْلِيمِ ٱلْمَبِيعِ إِلَّا بِجَمِيعِ ٱلثَّمَنِ. وَإِنْ تَرَاضَيَا عَلَى ذَلِكَ.. فَهَلْ يَصِحُّ؟ فِيهِ وَجْهَانِ
Artinya, “Jika penjual berkata kepada pembeli: 'Tahanlah barang yang dijual, dan aku akan memberikan kompensasi atas cacatnya', maka pembeli tidak dapat dipaksa untuk menerimanya, karena ia tidak membayar harga kecuali untuk mendapatkan barang yang bebas dari cacat.
Jika pembeli meminta kompensasi kepada penjual agar ia tetap memegang barang tersebut, maka penjual juga tidak dapat dipaksa untuk memberikan kompensasi itu, karena ia hanya menyetujui untuk menyerahkan barang dengan menerima harga penuh.
Jika keduanya saling sepakat atas hal tersebut, maka apakah itu sah? Dalam hal ini ada dua pendapat”. (Al-‘Umrani, Al-Bayan fi Madzhabil Imam As-Syafi’i, [Jeddah: Darul Minhaj: 2000], juz V, halaman 288).
Berdasar penjelasan Al-'Umrani di atas, ada dua pendapat utama dari para ulama terkait hal ini:
- Pendapat pertama menyatakan kesepakatan ini sah. Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan beberapa ulama Syafi'iyah. Selama kedua belah pihak rela, penjual dan pembeli bebas membuat perjanjian yang saling menguntungkan. Dalam pandangan ini, pengembalian sebagian uang (arsy) adalah solusi damai yang dibolehkan.
أَحَدُهُمَا - وَهُوَ قَوْلُ أَبِي ٱلْعَبَّاسِ، وَأَبِي حَنِيفَةَ، وَمَالِكٍ -: (إِنَّ ذَلِكَ يَصِحُّ)؛ لِأَنَّهُ خِيَارٌ سَقَطَ إِلَى ٱلْمَالِ، وَهُوَ إِذَا حَدَثَ عِنْدَ ٱلْمُشْتَرِي عَيْبٌ آخَرُ، أَوْ كَانَ عَبْدًا، فَأَعْتَقَهُ
Artinya, “Pendapat pertama, yang merupakan pandangan Abul Abbas, Abu Hanifah, dan Malik, menyatakan bahwa hal tersebut sah. Sebab, ini adalah hak pilihan (khiyar) yang berubah menjadi kompensasi finansial, seperti jika barang yang dibeli mengalami cacat baru di tangan pembeli, atau jika barang tersebut adalah seorang budak yang kemudian dimerdekakan oleh pembeli”. (Al-‘Umrani, V/288).
- Pendapat kedua menyatakan kesepakatan ini tidak sah. Ini merupakan pendapat Imam As-Syafi'i dalam pendapat masyhurnya. Ia berpendapat bahwa jika barang cacat, pembeli hanya punya dua opsi, yaitu mengembalikan barang atau menerima barang apa adanya tanpa kompensasi.
Solusi pengembalian sebagian uang dianggap tidak sesuai dengan prinsip transaksi awal.
وَٱلثَّانِي - وَهُوَ ٱلْمَنْصُوصُ -: (أَنَّهُ لَا يَصِحُّ)؛ لِأَنَّهُ خِيَارُ فَسْخٍ، فَلَمْ يَسْقُطْ إِلَى ٱلْمَالِ، كَخِيَارِ ٱلْمَجْلِسِ، وَخِيَارِ ٱلشَّرْطِ
Artinya, “Pendapat kedua, yang merupakan pendapat yang ditegaskan, menyatakan bahwa hal tersebut tidak sah. Sebab, ini adalah hak pilihan untuk membatalkan (khiyar fasakh), sehingga tidak dapat berubah menjadi kompensasi finansial, seperti hak pilihan majelis (khiyar majelis) dan hak pilihan dengan syarat (khiyar syarth).” (Al-‘Umrani, V/288).
Pendekatan Lebih Praktis
Pendapat pertama lebih relevan dengan kondisi modern, yang mana pengembalian barang bisa menjadi proses yang rumit, terutama jika barang besar atau berat. Kesepakatan damai semacam ini menunjukkan fleksibilitas syariat dalam menyelesaikan masalah secara praktis tanpa harus merugikan salah satu pihak.
Jika penjual dan pembeli sepakat untuk menyelesaikan masalah dengan pengembalian sebagian uang tanpa mengembalikan barang, hal ini sah menurut sebagian ulama selama kedua belah pihak rela. Solusi ini mencerminkan ajaran Islam yang mengutamakan penyelesaian masalah secara damai dan saling menguntungkan.
Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah, Batuan, Sumenep.
Terpopuler
1
Ketum PBNU: NU Berdiri untuk Bangun Peradaban melalui Pendidikan dan Keluarga
2
Harlah Ke-102, PBNU Luncurkan Logo Kongres Pendidikan NU, Unduh di Sini
3
Badan Gizi Butuh Tambahan 100 Triliun untuk 82,9 Juta Penerima MBG
4
Ansor University Jatim Gelar Bimbingan Beasiswa LPDP S2 dan S3, Ini Link Pendaftarannya
5
LP Ma'arif NU Gelar Workshop Jelang Kongres Pendidikan NU 2025
6
Banjir Bandang Melanda Cirebon, Rendam Ratusan Rumah dan Menghanyutkan Mobil
Terkini
Lihat Semua