Syariah

Menyelesaikan Sengketa Hukum Perdata Melalui Pemutihan dan Kompensasi

Selasa, 3 Desember 2024 | 14:00 WIB

Menyelesaikan Sengketa Hukum Perdata Melalui Pemutihan dan Kompensasi

Perbedaan penyelesaian sengketa hukum perdata melalui proses Pemutihan dan kompensasi(freepik).

Dalam fiqih muamalah, salah satu prinsip utama yang harus diperhatikan adalah pentingnya menyelesaikan perselisihan secara damai melalui mekanisme yang adil dan disepakati bersama. Mekanisme ini dikenal dengan istilah akad shulhu (damai), yang mencakup berbagai cara untuk mengakhiri konflik, baik dalam konteks hak, transaksi, maupun hubungan sosial. 
 

Shulhu dipandang sebagai solusi praktis untuk mencegah perselisihan berkepanjangan sekaligus menjaga harmoni di antara individu atau kelompok. Dalam istilah fiqih, shulhu didefinisikan sebagai akad untuk mendamaikan dua orang yang sedang berselisih. Syekh Taqiyuddin Al-Hishni mengatakan:
 

وفي الاصطلاح هو العقد الذي ينقطع به خصومة المتخاصمين
 

Artinya, “Shulhu dalam istilah fiqih adalah akad yang digunakan untuk mengakhiri perselisihan dua pihak yang bersengketa.” (Kifayatul Akhyar, [Damaskus, Darul Khair: 19934], halaman 260).
 

Sengketa dan perselisihan dapat didamaikan melalui dua bentuk akad shulhu, yaitu shulhu ibra’ (damai dengan pemutihan) dan shulhu mu'awadah (damai dengan kompensasi). Kedua model ini memiliki karakteristik dan penerapan yang berbeda. Berikut detail penjelasan perbedaan diantara keduanya.

 

Damai dengan Pemutihan atau Shulhu Ibra’

Damai dengan pemutihan atau shulhu ibra’ terjadi ketika salah satu pihak menggugurkan sebagian haknya tanpa mendapatkan imbalan sebagai bentuk perdamaian. Shulhu ibra’ memiliki karakteristik tersendiri, yaitu: bersifat tabarru (pemberian tanpa imbalan), tidak ada pertukaran harta atau kompensasi dari pihak yang diberi, dan digunakan untuk mengakhiri sengketa dengan cara salah satu pihak mengalah demi perdamaian.
 

Syekh Ibnu Qasim menjelaskan:
 

فالإبراء أي صلحه اقتصاره من حقه أي دَينه على بعضه
 

Artinya, “Shulhu ibra’ adalah seseorang melepas haknya (piutang) dengan menerima sebagian dari piutang tersebut.” (Fathul Qarib, [Beirut, Darul Ibnu Hazm: 2005], halaman 175).
 

Contoh shulhu ibra’ semisal jika seseorang memiliki piutang sebesar 100 juta rupiah kepada pihak lain, maka ia dapat melakukan akad shulhu ibra’ dengan mengatakan:
 

“Saya lepaskan/ikhlaskan 50 juta rupiah dari utangmu, sehingga engkau hanya perlu membayar 50 juta rupiah.”
 

Substansi dari shulhu ibra’ adalah praktik pembebasan utang (ibra’), yakni salah satu pihak membebaskan haknya dan mengambil sebagian hak yang lain, sehingga seluruh ketentuan ibra’ yang mencakup syarat harus benar-benar dilangsungkan tanpa persyaratan dan kadar utang harus jelas jumlahnya berlaku dalam akad ini. Sayyid Hasan bin Ahmad Al-Kaff menjelaskan:
 

وشرط الابراء أن يكون منجزا ومعلوما
 

Artinya, “Syarat ibra’ adalah harus benar-benar dilangsungkan tanpa persyaratan dan kadar utang harus jelas .” (At-Taqriratus Sadidah, [Darul Mirats An-Nabawi: 2013], halaman 69).
 


Damai dengan Kompensasi atau Shulhu Mu'awadhah

Shulhu mu'awadhah terjadi ketika salah satu pihak menerima imbalan sebagai pengganti hak yang dilepaskannya. Dengan kata lain, terdapat pertukaran dari kedua belah pihak. Shulhu mu'awadhah memiliki karakteristik khusus, yaitu: bersifat mu'awadhah (pertukaran harta atau kompensasi), memiliki elemen jual beli atau penggantian nilai, dan digunakan untuk menyelesaikan sengketa secara adil dengan kompensasi yang disepakati.
 

Syekh Ibnu Qasim mendefinisikan shulhu mu'awadhah sebagai berikut:
 

والمعاوضة) أي صلحها (عدوله عن حقه إلى غيره
 

Artinya, “Shulhu mu'awadhah adalah ketika seseorang melakukan perdamaian dengan meninggalkan haknya untuk mendapatkan sesuatu yang lain sebagai gantinya.” (Ibnu Qasim, 175).
 

Contoh dari shulhu mu'awadhah adalah jika seseorang memiliki klaim piutang 100 juta rupiah kepada pihak lain, maka ia dapat menyepakati shulhu mu'awadhah dengan menerima mobil sebagai pengganti dari hak piutangnya.
 

Apabila imbalan yang diterima berupa barang, maka substansi dari shulhu ini adalah praktek jual beli, sehingga berlaku seluruh ketentuan jual beli. Namun apabila berupa jasa, maka substansi dari akad shulhu adalah praktik ijarah atau akad sewa, sehingga berlaku seluruh ketentuannya.
 

Musthafa Al-Khin, dkk menjelaskan:
 

وأما صلح المعاوضة في الدين: فهو أن يدّعي دينًا على أخر، كألف مثلًا ويقّر له المدَّعَى عليه بذلك، ثم يصالحه عنها أن يعطيه سلعه معَّينة، غسالة مثلًا فهذا معاوضة وبيع، تجري عليه أحكام البيع، وإذا صالحه على منفعة عين - كأن يسكنه دارًا سنة مثلًا - فهو إجارة، تجري عليها أحكام الإجارة
 

Artinya, “Adapun shulhu dengan kompensasi dalam konteks utang adalah ketika orang mengklaim memiliki piutang pada orang lain, misalnya sebesar seribu, dan pihak yang dituntut mengakui klaim tersebut.
 

Kemudian mereka berdamai dengan cara pihak yang berutang memberikan suatu barang, seperti mesin cuci, sebagai gantinya. Shulhu ini disebut kompensasi dan jual beli, sehingga berlaku hukum-hukum jual beli di dalamnya.
 

Namun jika perdamaian dilakukan dengan memberikan manfaat dari suatu aset tertentu, seperti menyewakan rumah kepada pihak yang menuntut selama satu tahun, maka hal itu disebut sebagai ijarah (sewa-menyewa) dan berlaku hukum ijarah di dalamnya.” (Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qalam: 1992], juz VI, halaman 176).
 

Melihat penjelasan di atas, shulhu ibra’ fokus pada pemutihan atau pengguguran hak tanpa imbalan, mencerminkan sifat kedermawanan dan kemudahan dalam menyelesaikan sengketa. Sementara shulhu mu'awadhah melibatkan kompensasi atau pertukaran hak, yang lebih bersifat transaksional dan menuntut keadilan dalam pelaksanaannya. Wallahu a’lam.
 


Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil, Bangkalan, Madura.