Penyelesaian Sengketa Hukum Perdata Melalui Akad Shulhu: Definisi, Dalil, dan Rukunnya
Senin, 2 Desember 2024 | 18:00 WIB
Penyelesaian sengketa hukum perdata melalui akad shulhu: definisi, dalil, dan rukunnya (via fee.org).
Sunnatullah
Kolomnis
Dalam setiap transaksi, potensi terjadinya sengketa merupakan hal yang bisa saja terjadi. Terutama sengketa dalam transaksi utang yang melibatkan janji pembayaran di masa mendatang. Perbedaan pemahaman perihal jumlah yang harus dibayar atau waktu pelunasan, seringkali menjadi penyebab awal adanya sengketa antara pihak yang berutang dan yang memberi utang.
Karena itu, dalam Islam setiap transaksi yang berjangka atau tempo, dianjurkan untuk dicatat agar sengketa tidak sampai terjadi, bahkan juga menganjurkan adanya saksi yang dapat dipercaya saat transaksi, agar muamalah setiap orang benar-benar berjalan dengan benar dan tidak ada satu pihak pun yang dirugikan ataupun menerima ketidakadilan.
Imam Abu Ishaq As-Syirazi (wafat 476 H) mengatakan, jika orang memiliki hak berupa barang atau hak di tangan orang lain, atau utang dalam tanggungan orang tersebut, maka ia diperbolehkan melakukan perdamaian atau rekonsiliasi (shuluh) terkait tanggungannya. (Al-Muhaddzab, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah], jilid I, halaman 333).
Contoh: Ahmad meminjam uang 10 juta rupiah kepada Umar, namun ia tidak mampu melunasi utangnya dalam bentuk tunai. Hanya saja, Ahmad memiliki emas yang harganya sama dengan uang 10 juta.
Dalam konteks ini, keduanya bisa saja menyelesaikan tanggungannya dengan menyepakati penyerahan emas milik Ahmad yang nilainya sama dengan harga uang 10 juta.
Nah, contoh di atas dalam kitab-kitab fiqih disebut dengan shulhu atau perdamaian antara kedua pihak yang memiliki tanggung jawab guna menghindari terjadinya sengketa berkepanjangan. Hanya saja, dalam konteks contoh di atas, akad shulhu dianggap sebagai jual beli, sehingga aturan jual beli berlaku, seperti larangan penipuan, riba, khiyar, dan syarat-syarat yang merusak keabsahan akad. Berikut penulis jelaskan definisi dan syarat dalam akad suluh.
Definisi Akad Shulhu
Sebagaimana dicatat oleh Syekh Sulaiman Al-Bujairami (wafat 1221 H), secara bahasa, shulhu berarti menghentikan sengketa atau perselisihan. Sedangkan secara syariat, shulhu adalah akad yang bertujuan untuk mengakhiri perselisihan atau sengketa dengan cara yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Shulhu memiliki banyak jenis yang masing-masing memiliki konteks dan pengaplikasian yang berbeda, di antaranya, yaitu:
- shulhu antara kaum muslimin dengan orang nonmuslim, seperti perjanjian damai yang dilakukan saat konflik;
- shulhu antara pemimpin dan pemberontak;
- shulhu antara suami dan istri; dan
- shulhu dalam transaksi muamalah, dan jenis ini yang dimaksud dan dikehendaki dalam kitab fiqih ketika membahas akad shulhu.
اَلصُّلْحُ لُغَةً قَطْعُ النِّزَاعِ وَشَرْعًا عَقْدٌ يَحْصُلُ بِهِ ذَلِكَ، وَهُوَ أَنْوَاعٌ: صُلْحٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ وَالْكُفَّارِ، وَبَيْنَ الْإِمَامِ وَالْبُغَاةِ، وَبَيْنَ الزَّوْجَيْنِ عِنْدَ الشِّقَاقِ، وَصُلْحٌ فِي الْمُعَامَلَاتِ وَهُوَ الْمُرَادُ هُنَا
Artinya, “Shulhu secara bahasa berarti menghentikan sengketa, sedangkan secara syariat adalah akad yang bertujuan untuk mengakhiri sengketa tersebut. Suluh terdiri dari bebrapa jenis, di antaranya shulhu antara kaum muslimin dengan nonmuslim, antara pemimpin dan pemberontak, antara suami dan istri, dan shulhu dalam transaksi muamalah, dan ini yang dimaksud dalam pembahasan ini.” (Hasyiyatul Bujairami ‘alal Khatib, [Beirut, Darul Fikr, tt], jilid VIII, halaman 97).
Legalitas Akad Suluh
Shulhu merupakan salah satu akad yang dilegalkan dalam syariat Islam, bahkan dalam beberapa keadaan, akad ini bisa menjadi anjuran (baca: sunnah) untuk dilakukan. Anjuran ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:
وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
Artinya, “Dan perdamaian itu lebih baik.” (QS An-Nisa’: 128).
Merujuk penjelasan Syekh Musthafa Al-Khin, dkk, ayat menjadi dalil bahwa shulhu merupakan salah satu alternatif disyariatkan dalam Islam guna menghindari perselisihan dan sengketa yang akan terjadi.
Tentu saja alternatif seperti ini membawa kebaikan. Dalam Islam, segala sesuatu yang mengandung kebaikan akan dianjurkan, sebagaimana setiap sesuatu yang mengandung kejelekan akan dilarang.
وَذَلِكَ دَلِيْلٌ عَلىَ مَشْرُوْعِيَّتِهِ، لِأَنَّ كُلَّ مَا كَانَ خَيْرًا فَهُوَ مَشْرُوْعٌ، وَكُلُّ مَا كَانَ شَرًّا فَهُوَ فِي شَرْعِ اللهِ مَمْنُوْعٌ
Artinya, “Ayat tersebut adalah dalil disyariatkannya shulhu, karena setiap sesuatu yang merupakan kebaikan, maka ia akan disyariatkan, dan segala sesuatu yang mengandung keburukan, maka dalam syariat Allah akan dilarang.” (Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus: Darul Qalam, 1992], jilid VI, halaman 169).
Rukun dan Syarat Akad Shulhu
Sebagaimana akad-akad dalam fiqih, shulhu memiliki rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, agar akad ini sah menurut syariat. Rukun tersebut sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Fiqhul Manhaji halaman 177:
لِلصُّلْحِ أَرْكَانٌ، لِأَنَّهُ عَقْدٌ، وَأَرْكَانُ عَقْدِ الصُّلْحِ أَرْبَعَهٌ: عَاقِدَانِ، وَصِيْغَةٌ، وَمَصَالِحُ عَنْهُ، وَمَصَالِحُ عَلَيْهِ
Artinya, “Sulhu memiliki rukun-rukun karena ia merupakan suatu akad. Rukun-rukun akad shulhu ada empat, yaitu: (1) dua pihak yang berakad; (2) ijab dan qabul atau sighat; (3) hak yang diperdamaikan; dan (4) hak yang diterima.”
Berikut penjelasan perihal syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam masing-masing rukun:
1. Dua Pihak yang Berakad
Rukun pertama ini harus memenuhi beberapa syarat agar akad shulhu sah menurut syariat. Adapun syarat tersebut adalah:
- keduanya harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sehingga shulhu tidak sah jika dilakukan oleh anak kecil yang belum baligh dan orang gila;
- kewenangan untuk mengelola harta; dan
- tidak menimbulkan kerugian yang jelas.
Misal, jika seorang anak kecil dituntut, sedangkan wali dari anak tersebut mengajukan perdamaian untuk mengakhiri perselisihan, maka harus dipastikan bahwa Keputusan tersebut tidak merugikan anak kecil yang bersangkutan.
2. Ijab dan Qabul (Shighat)
Rukun kedua dalam akad shulhu adalah adanya ijab dan qabul dari kedua pihak yang bersangkutan. Dalam hal ini, pihak yang bersangkutan bisa mengatakan, “Saya mendamaikan Anda tentang perkara ini dengan cara demikian”, atau “Saya melepaskan klaim saya terhadap Anda mengenai hal ini”. Kemudian membalas dengan mengatakan, “Saya menerima”, “Saya setuju”, atau “Saya damai”.
3. Hak yang Diperdamaikan (Al-Mashalihu ‘Anhu)
Rukun ketiga dalam akad shulhu adalah hak yang diperdamaikan, yaitu hak yang diklaim oleh salah satu pihak dan yang diminta untuk diselesaikan atau diperdamaikan, baik itu berupa harta, utang, atau manfaat lain.
Dalam hal ini, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
- hak yang sah dimiliki oleh manusia, seperti uang, barang, atau tidak berupa barang seperti menuntut kisas;
- hak yang dimiliki oleh pihak yang berdamai;
- hak yang sah dan berhubungan dengan objek shulhu.
Contoh: jika hak yang dipertanyakan adalah hak atas suatu barang, maka barang tersebut harus menjadi objek yang sah untuk diselesaikan melalui shulhu; dan - kejelasan hak yang harus diperdamaikan (ma’lum) bagi kedua pihak yang terlibat, bukan sesuatu yang tidak jelas (majhul).
4. Hak yang Diterima (Masalih ‘Alaih)
Rukun keempat dalam akad shulhu adalah hak yang diterima, yaitu kompensasi atau imbalan yang diterima oleh pihak yang mengklaim dari pihak yang diklaim, sebagai ganti atas hak yang diperdamaikan.
Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam hal ini, yaitu:
- harus berupa harta yang sah secara syariat;
- harus menjadi milik pihak yang memberikan kompensasi; jika tidak, maka shulhu menjadi batal; dan
- kejelasan kompensasi dan diketahui oleh kedua pihak yang terlibat dalam akad. Jika tidak, maka akad suluh menjadi batal. (Al-Khin dkk, VI/177-180).
Itulah rukun dan syarat dalam akad suluh yang perlu dipenuhi agar akad sah menurut syariat. Dalam hal ini, kedua pihak yang berakad harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti baligh, berakal, dan memiliki kewenangan mengelola harta.
Selain itu, terdapat syarat-syarat terkait dengan ijab dan qabul, hak yang diperdamaikan, serta hak yang diterima sebagai kompensasi. Semua elemen ini harus dipastikan sesuai dengan ketentuan syariat agar proses perdamaian dapat berjalan dengan sah dan adil. Wallahu a’lam bisshawab.
Ustadz Sunnatullah, Peserta program Kepenulisan Turots Ilmiah (KTI) Maroko, Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren Kementrian Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Maroko selama tiga bulan, 2024.
Terpopuler
1
Ketum PBNU: NU Berdiri untuk Bangun Peradaban melalui Pendidikan dan Keluarga
2
Harlah Ke-102, PBNU Luncurkan Logo Kongres Pendidikan NU, Unduh di Sini
3
Badan Gizi Butuh Tambahan 100 Triliun untuk 82,9 Juta Penerima MBG
4
Ansor University Jatim Gelar Bimbingan Beasiswa LPDP S2 dan S3, Ini Link Pendaftarannya
5
LP Ma'arif NU Gelar Workshop Jelang Kongres Pendidikan NU 2025
6
Banjir Bandang Melanda Cirebon, Rendam Ratusan Rumah dan Menghanyutkan Mobil
Terkini
Lihat Semua