Syariah

Toleransi Rasulullah pada Umat Agama Lain

Rab, 11 Oktober 2023 | 14:00 WIB

Toleransi Rasulullah pada Umat Agama Lain

Berjabat tangan (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Al-Qur'an dalam surah Al-Mumtahanah [60] ayat 8 secara tegas menganjurkan umat Muslim untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang berbeda agama, selama mereka tidak memerangi atau mengusir umat Islam dari negeri mereka. Ayat ini berlaku untuk semua orang, termasuk orang Yahudi, Kristen, Buddha, Zoroaster, Ateis, dan Hindu.


لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ


Artinya: "Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil."


Menurut Profesor Ali Musthafa Yaqub, dalam kitab at Tasamuh baina ad Diyanat, ayat ini dimaksudkan, Allah tidak melarang berbuat baik pada kafir dzimmi. Dalam Islam, kafir dzimmi didefinisikan sebagai orang-orang yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam dalam menghindari peperangan dan tidak membantu orang kafir lain untuk memerangi umat Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan toleransi dan menghargai perbedaan.


Lebih lanjut, ayat ini juga menjelaskan bahwa Allah tidak melarang bersikap adil dan bermuamalah dengan orang kafir dalam ajaran Islam. Sebaliknya, Islam mendorong umatnya untuk menjalani kehidupan yang adil dan berlaku adil terhadap semua orang, terlepas dari keyakinan agama mereka. 


Sikap kasih sayang, keadilan, dan etika dalam berinteraksi dengan orang kafir adalah prinsip-prinsip yang sangat ditekankan dalam agama Islam. Terlebih dalam dunia yang semakin global, pemahaman yang lebih baik tentang pesan ini dapat membantu mempromosikan kedamaian, toleransi, dan pemahaman antarumat beragama.


Hal ini dicontohkan langsung oleh Rasulullah saw sendiri, yang selalu berbuat baik kepada tetangganya, bahkan kepada tetangganya yang non-Muslim. Hal ini menunjukkan bahwa beliau adalah sosok yang sangat toleran dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. 


Abdullah bin Amru menjadi saksi bahwa Rasulullah senantiasa membagikan sembelihan daging kambing kepada tetangganya non muslim. Dan praktik baik Rasulullah ini, ia wasiatkan pada anaknya agar senantiasa dicontohkan dalam kehidupan bermasyarakatnya:


أهديتم لجاري اليهودي؟ فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ما زال جبريل يوصيني بالجار حتى ظننت أنه سيورثه


Artinya: "Apakah sudah kau berikan sebagian untuk tetanggaku yang Yahudi? Sungguh aku pernah mendengar Rasulullah berkata, Jibril selalu mewasiatkan kepadaku (agar berbuat baik) kepada tetangga, sampai aku menyangka ia ingin memberi sebuah warisan kepadanya." (HR. Abu Daud).


Lebih lanjut, Profesor Ali Musthafa Yaqub dalam buku Kerukunan Umat dalam Persfektif Al-Qur’an dan Hadits, mengungkapkan bahwa relasi baik Nabi Muhammad saw dengan umat agama lain, terutama agama Nasrani, sudah terbina sejak awal sebelum menjadi Rasul. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa orang Kristen pertama yang dikenal Nabi Muhammad saw adalah Waraqah bin Naufal, seorang pendeta Kristen yang juga merupakan sepupu dari istri Nabi saw, Khadijah.


Ketika Nabi Muhammad saw pertama kali menerima wahyu, beliau merasa bingung dan khawatir. Kemudian, Khadijah mengajak Nabi saw untuk menemui Waraqah untuk meminta penjelasan. Waraqah membenarkan apa yang dialami oleh Nabi saw dan mengatakan bahwa beliau adalah seorang nabi yang diutus oleh Allah swt. Waraqah juga mengatakan bahwa beliau akan membela Nabi saw jika beliau diusir oleh kaumnya.


Saat pertemuan singkat itu, Waraqah berkata: “Alangkah beruntungnya, seandainya aku masih hidup, dan masih kuat pada saat kamu diusir oleh kaum mu. Seandainya aku masih hidup, maka aku akan membela mu di saat itu,”


Peristiwa ini menunjukkan bahwa relasi antara Nabi Muhammad saw dengan umat agama lain, terutama agama Nasrani, didasarkan pada rasa saling menghormati dan menghargai. Nabi Muhammad saw tidak pernah memaksakan ajaran Islam kepada orang-orang non-Muslim, dan beliau selalu memperlakukan mereka dengan baik.


Lebih jauh lagi, interaksi antara Nabi Muhammad dan umat Kristen juga sudah terjalin sejak awal, sekitar 8 tahun sebelum hijrah ke Madinah. Pada saat itu, umat Islam di Makkah mengalami penindasan dan kekerasan dari kaum kafir Quraisy. Nabi Muhammad kemudian memerintahkan kaum Muslim untuk hijrah ke Habasyah, sebuah negara Kristen yang dipimpin oleh Raja Negus yang terkenal adil dan bijaksana.


Hijrah pertama ke Habasyah berjumlah sekitar 16 orang sahabat. Mereka tinggal di Habasyah selama beberapa bulan. Hijrah kedua ke Habasyah berjumlah 102 orang, termasuk keluarga Nabi Muhammad. Mereka tinggal di Habasyah selama sekitar 8 tahun.


Selama tinggal di Habasyah, kaum Muslim dilindungi dan diberi kebebasan beribadah oleh Raja Negus. Raja Negus juga terkesan dengan ajaran Nabi Muhammad dan dia melindungi para migran Muslim di Abyssinia, yang antara lain, menantu dan anak Rasulullaw yakni Usman bin Affan dan Rukayyah. 


Contoh lain dari hubungan baik antara Nabi Muhammad dan Raja Negus adalah Nabi Muhammad mengirim surat kepada Raja Negus yang mengundangnya untuk memeluk Islam. Raja Negus menerima surat tersebut dengan hormat, dan dia membacanya kepada uskup-uskupnya. Para uskup juga terkesan dengan surat tersebut, dan mereka mengatakan bahwa itu berasal dari seorang nabi.


Raja Negus tidak secara terang-terangan memeluk Islam, tetapi dipercayai bahwa dia menerima Islam dalam hatinya. Dia meninggal beberapa tahun kemudian, dan Nabi Muhammad merasa sedih atas kematiannya.


Hubungan baik antara Nabi Muhammad dan Raja Negus adalah pengingat akan pentingnya toleransi dan menghormati orang-orang dari keyakinan yang berbeda. Ini juga merupakan pengingat akan kekuatan Islam untuk menyatukan orang-orang dari latar belakang yang berbeda.


Kisah lain menceritakan contoh praktik baik Rasulullah, yakni membiarkan non-Muslim masuk masjid dan sembahyang ala Kristen di Masjid Nabawi. Kisah utusan Najran yang datang ke Madinah untuk menemui Nabi Muhammad saw merupakan kisah yang menunjukkan toleransi dan sikap terbuka Islam terhadap pemeluk agama lain. Utusan Najran berjumlah 14 orang, dipimpin oleh Abdullah bin Abi Kabsyah. Mereka tiba di Madinah setelah waktu Ashar, dan langsung masuk ke dalam Masjid Nabawi.


Di masjid, utusan Najran melakukan sembahyang ala Kristen, sambil menghadap ke arah timur. Nabi Muhammad saw yang menyaksikan hal ini membiarkan saja. Bahkan, Nabi menegur salah seorang sahabat yang berdiri untuk melarang utusan Najran sembahyang di masjid. Nabi bersabda, "Biarkan mereka shalat."


Diplomasi Kristen Najran itu pun membuahkan hasil memuaskan. Nabi Muhammad saw memberikan perlindungan dan keamanan kepada Bani Najran, sebuah suku Arab yang beragama Kristen. Serta membuat surat perjanjian damai yang didokumentasikan dalam kitab Futuhul Buldan, karya Syekh Al Baladzuri. Isi surat damai tersebut yang dicatat oleh Ali bin Abi Thalib;


Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah surat Nabi Muhammad kepada Bani Najran. Bagi Penduduk Najran, Jaminan dari Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah atas agama, tanah, harta, dan kafilah mereka yang hadir maupun tidak hadir. Semisal mereka tidak mengubah apa yang sudah ada dan tidak mengubah hak-hak mereka.


Uskup, pendeta, dan penjaga gereja tak boleh diganggu apa yang ada di tangan mereka baik sedikit maupun banyak. Mereka tidak boleh diusir dari tanah mereka, dan tidak boleh diambil sepersepuluh dari tangan  mereka. Tanah mereka tak boleh diinjak oleh tentara kaum muslimin.


Bagi mereka atas apa yang tertulis dalam lembaran ini jaminan dari Allah dan Muhammad selamanya sampai datang perintah Allah, selagi mereka menerima nasihat dan memperbaiki apa yang menjadi kewajiban mereka tanpa mereka dibebani dengan sesuatu secara dzalim. Sebagai saksinya adalah Abu Sufyan bin Harb, Ghilan bin Amr,Malik bin Aufdari Nashr, Al Aqra bin Habis al Hanzhali.  Dan Mughiroh sebagai penulis."


Sebagai kesimpulan, belajar dari sikap Rasulullah tersebut, dapat diambil pelajaran bahwa berbuat baik kepada orang kafir atau non-muslim memiliki banyak manfaat. Pertama, dapat meningkatkan citra Islam di mata dunia. Ketika umat Islam berbuat baik kepada orang kafir, maka orang kafir akan melihat bahwa Islam adalah agama yang damai dan penuh kasih sayang. 


Kedua, dapat mempermudah syiar Islam. Ketika umat Islam berbuat baik kepada orang kafir, maka orang kafir akan lebih terbuka untuk menerima ajaran Islam. Ketiga, dapat mempererat hubungan persaudaraan antar sesama manusia. Berbuat baik kepada orang kafir dapat menghilangkan rasa kebencian dan permusuhan, sehingga tercipta hubungan persaudaraan yang harmonis.


Zainuddin Lubis, Pegiat kajian tafsir, tinggal di CIputat