Syariah

Ushul Fiqih: Unsur Teologi Asyariyah dalam Definisi Hukum Wajib dan Haram

Kam, 2 Februari 2023 | 11:00 WIB

Ushul Fiqih: Unsur Teologi Asyariyah dalam Definisi Hukum Wajib dan Haram

Ilustrasi: Ahlussunah wal Jamaah.

Pembaca yang budiman, syariat Islam merupakan satu kesatuan utuh yang terkait antara satu dengan lainnya. Antara teologi yang berlaku di wilayah hati nurani haruslah selaras dengan perilaku fiqih di wilayah perbuatan. Hal demikian pun tercermin dalam pendefinisian hukum wajib dan haram dalam kajian ushul fiqih.
 

Di antaranya dalam pernyataan Imam Jalaluddin Al-Mahalli di kitab Syarhul Waraqat:  
 

فالواجب من حيث وصفه بالوجوب ما يثاب على فعله ويعاقب على تركه. ويكفي في صدق العقاب وجوده لواحد من العصاة مع العفو عن غيره. ويجوز أن يريد ويترتب العقاب على تركه كما عبر به غيره فلا ينافي العفو... والمحظور من حيث وصفه بالحظر أي الحرمة ما يثاب على تركه امتثالاً ويعاقب على فعله. ويكفي في صدق العقاب وجوده لواحد من العصاة مع العفو عن غيره. ويجوز أن يريد ويترتب العقاب على فعله كما عبر به غيره فلا ينافي العفو
 

Artinya: “Wajib, dari sisi penyifatannya sebagai wajib adalah perbuatan yang diberi pahala bila dilakukan, dan disiksa jika ditinggalkan. Disiksa cukup dianggap benar keberadaannya jika diberikan bagi satu orang saja pendosa beserta pengampunan bagi lainnya. Boleh saja jika disampaikan “dan berpotensi siksa jika ditinggalkan”, karena redaksi itu tidak menafikan ampunan ... mahdzur dari sisi penyifatannya sebagai hadzr atau haram ialah perbuatan yang diberi pahala jika ditinggalkan atas dasar ketakwaan dan disiksa jika dilakukan. Disiksa cukup dianggap benar keberadaannya jika diberikan bagi satu orang saja pendosa beserta pengampunan bagi lainnya. Boleh saja jika disampaikan “dan berpotensi siksa jika dilakukan”, karena redaksi itu tidak menafikan ampunan.” (Jalaluddin Al-Mahalli, Syarhul Waraqat, [Surabaya, Al-Hidayah: 1990]). 
 

Dalam definisi wajib dan haram yang di dalamnya terdapat keterangan soal siksa bagi pendosa, yakni mereka yang meninggalkan kewajiban atau berbuat keharaman, Imam Al-Mahalli selalu menyebutkan bahwa tetap dianggap benar jika dari sekian banyak pendosa, yang disiksa hanya satu orang saja, sementara yang lain tidak, bisa jadi karena yang lain diampuni.
 

Hal ini sebenarnya berkait erat dengan perdebatan teologis yang terjadi antara Mu’tazilah dan Asyariyah, dimana Mu’tazilah meyakini bahwa Allah pasti melaksanakan janji-Nya, akan memberi pahala bagi orang yang takwa dan menyiksa para pendosa. Dalam keyakinan mereka, prinsip matematika manusia wajib dikedepankan dalam hal ini. Artinya, jika ada 10 orang takwa, semuanya masuk surga dan 10 pendosa semuanya masuk neraka. Lebih jauh, mereka bahkan beranggapan bahwa Allah wajib melakukan semua itu.
 

Tidak demikian halnya dengan Asyariyah yang pada poin pertama, yakni Allah pasti melaksanakan janji-Nya, akan memberi pahala bagi orang yang takwa dan menyiksa para pendosa, mereka setuju tentang hal tersebut, namun tidak setuju dengan Mu’tazilah pada poin-poin berikutnya. Asyariyah meyakini bahwa Allah tidak memiliki kewajiban apapun terhadap makhluk, sehingga bisa saja dari 10 pendosa, Allah hanya memasukkan seorang saja ke dalam neraka, sementara yang lainnya tidak. Mereka beralasan karena Allah memiliki kuasa untuk mengampuni. 
 

Perdebatan teologis tersebut bisa kita simak dalam pemaparan Imam Al-Ghazali di kitab Al-Iqtishad: 
 

ومما يدل على بطلان قول المعتزلة بوجوب الصلاح والأصلح … فإننا نريهم من أفعال الله تعالى ما يلزمهم الاعتراف بأنه لا صلاح فيها للعبد
 

Artinya: “Beberapa yang menunjukkan batalnya pernyataan Mu’tazilah tentang wajibnya Allah berbuat baik dan lebih baik, ... maka kami (Asyariyah) berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan Allah Ta’ala yang menetapkan pengakuan mereka bahwa tidak ada kebaikan bagi hamba.”  (Al-Ghazali, Al-Iqtishad wal I’tiqad, [Damaskus: Darul Bashair: 2010], halaman 184). 

 

Menyatakan Allah “wajib” berbuat baik akan berakibat pada pelemahan kekuasaan Allah itu sendiri.
 

Namun di sisi lain, para penganut Asyariyah tidak melanjutkan pembicaraan dengan logika kelanjutannya yakni dari 10 orang yang takwa, bisa saja Allah hanya memasukkan seorang saja. Asyariyah tidak melanjutkan membicarakan hal ini karena bagi Asyariyah, berbaik sangka kepada Allah merupakan sebuah keniscayaan, karena Allah akan berbuat sesuatu dengan persangkaan hambanya.
 

Saat membahas soal siksa, kita berbaik sangka bahwa Allah akan mengampuni sebagian besar para pendosa, dan saat membahas soal pahala, kita berbaik sangka bahwa Allah akan memasukkan semua orang yang takwa ke dalam surga. Bukankah surga itu luas? Dan bukankah ampunan Allah itu lebih agung daripada dosa-dosa manusia? Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.
 

 

Ustadz Muhammad Ibnu Sahroji