Syariah

Zakat Fitrah: Spirit Menjaga Kesejahteraan Bersama

Sab, 30 April 2022 | 13:00 WIB

Zakat Fitrah: Spirit Menjaga Kesejahteraan Bersama

Rasa kemanusiaan menjadi inti dari zakat itu sendiri.

Setelah beberapa hari melakukan puasa, tanpa terasa kini sudah ada di akhir-akhir bulan Ramadhan. Berbagai tantangan yang bergelegak-gelegak dalam diri, baik secara fisik maupun mental spiritual, rasanya sudah selesai terlewati. Namun tentunya, semua usaha itu memiliki hasil yang berbeda dari setiap orang. Ada yang berhasil dan semua perjalannya lurus dan mulus, dan ada pula meliuk-liuk. Semua ini kembali pada individu masing-masing.


Bulan Ramadhan sebenarnya mendidik umat Islam agar bisa melatih dirinya dengan melakukan beragam amaliah yang positif, dan sudah seharusnya menjaga semua ibadah wajib, serta ditambah dengan ibadah sunnah lainnya, selain untuk memanen pahala yang Allah sediakan dengan stok yang sangat banyak, juga untuk mendapatkan anugerah berupa ampunan dari-Nya.


Selain itu, ada ibadah wajib yang sangat penting untuk dikerjakan dan dituntaskan pada bulan Ramadhan selain puasa, yaitu mengeluarkan zakat fitrah. Kewajiban yang satu ini pada hakikatnya agar umat Islam memiliki perasaan terhadap penderitaan sesama. Oleh karenanya, salah satu instrumen penting dalam hal ini, Islam menyediakan mediasi melalui zakat.


Semua umat Islam yang mampu untuk mengeluarkan ibadah yang satu ini, memiliki kewajiban untuk membayarnya. Dan, waktu pembayaran itu terhitung sejak hari pertama permulaan bulan Ramadhan, hingga memasuki hari raya idul fitri, tepatnya sebelum pelaksanaan shalat hari raya.


Pada dasarnya, zakat adalah instrumen kepedulian orang-orang kaya untuk mengatasi kehidupan orang-orang fakir miskin. Oleh karenanya, orang-orang yang berhak menerima zakat hanyalah orang fakir dan miskin, selain itu karena didasari oleh faktor-faktor lain, misalnya amil zakat, ia boleh menerima zakat bukan karena status pribadinya, namun disebabkan status sosial, dan alokasinya pun juga bukan untuk pribadinya.


Contoh lain, orang yang baru masuk Islam dan keimanannya masih goyah, ia juga boleh diberi zakat, dan zakat yang diserahkan kepadanya juga sah, namun juga bukan disebabkan pribadinya, akan tetapi lemahnya keimanan dalam dirinya, atau alasan baru masuk Islam yang menjadi penyebab kebolehan menerima zakat. Demikian juga dengan orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat) lainnya.


Berbeda dengan status fakir dan miskin, syariat Islam murni memberikan zakat kepada keduanya memang murni untuk pribadinya. Keduanya juga boleh mengalokasikan harta zakat yang diterima untuk apa saja sesuai kehendaknya. Sebab, di saat yang bersamaan, ia benar-benar membutuhkan pertolongan yang bisa membantu kebutuhan sandang pangannya, membutuhkan bantuan untuk sekadar mencari hidup dan menghidupkan keluarganya.


Oleh karenanya, Islam mewajibkan semua pemeluknya yang mampu (kaya) untuk mengeluarkan zakat, sebagai manifestasi kepedulian terhadap mereka yang hidup sengsara. Namun perlu ditegaskan kembali, bahwa yang dimaksud kaya dalam konteks ini adalah orang yang sudah terlepas dari fakir dan miskin dalam bab zakat, tidak harus memiliki mobil dan rumah mewah, apalagi dengan istri yang banyak, tidak.


Karena diwajibkan, maka tidak boleh hukumnya, dan berdosa orang-orang yang tidak mengeluarkan zakat. Sebab, salah satu sikap kepedulian Islam adalah tidak membiarkan orang-orang fakir dan miskin selalu hidup kelaparan, tanpa ada tunjangan dan bantuan sedikit pun.


Abu Bakar dan Orang yang Tidak Membayar Zakat

Dalam catatan sejarah, setelah Rasulullah wafat, kemudian digantikan sahabat Abu Bakar, salah seorang sahabat yang sangat lemah lembut, pribadinya sangat tegas kepada kebatilan, dan santun pada kebenaran. Ia benar-benar representasi dari sifat-sifat Rasulllah yang sangat santun, penyayang kepada semua kalangan. Ia tidak pernah marah, kecuali jika ajaran Islam dihina. Tidak pernah membenci pada orang-orang yang menyakitinya.


Semua sikapnya yang sangat santun itu tentu sangat baik dan layak diteladani bagi umat Islam saat itu, namun di balik sikap itu, justru ada banyak yang meremehkan estafet kepemimpinannya. Bahkan, di saat kepemimpinannya yang baru itu, banyak orang-orang yang menganggapnya sebagai pemimpin lemah. Akibatnya, banyak dari mereka yang membangkang, khususnya dari kewajiban membayar zakat.


Namun rupanya, Sayyidina Abu Bakar tahu kemana harus bergerak untuk menghadapi mereka. Ia memutuskan untuk mengangkat senjata guna memerangi mereka yang tidak mengeluarkan zakat. Upayanya saat itu benar-benar ia tegakkan. Beberapa pasukan umat Islam ia kerahkan untuk menghadapi mereka, di antara pasukan itu sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, dalam kitab Sirah Nabawiyah halaman 367 adalah Sayyidina Ali, suami putri Rasulullah, Sayyidah Fatimah az-Zahra.


Usahanya untuk berperang memberantas kelompok pecegah zakat itu, pada akhirnya meraih kemenangan atas pertolongan Allah ‘azza wa jalla. Dari kemenangan tersebut akhirnya jaringan orang-orang murtad pun terputus, Islam kembali tersebar ke seluruh Jazirah Arab sebagaimana ketika dipimpin oleh Rasulullah, dan kabilah-kabilah pun tunduk menunaikan zakat.


Keputusan khalifah Abu Bakar untuk memerangi orang-orang yang tidak mengeluarkan zakat, tentu sebagai jalan terakhir. Sebab, saat itu mereka sudah tidak bisa dibujuk kembali. Nasihat agar membayar zakat sudah tidak mereka hiraukan.


Selain itu, Abu Bakar juga menyadari bahwa persoalan zakat tidak hanya sebatas memenuhi perintah Allah saja, akan tetapi juga persoalan kemanusiaan untuk menegakkan keadilan bagi semua orang. Sebab, zakat adalah salah satu upaya Islam untuk menjamin kesejahteraan orang fakir dan miskin.


Nah, dari sinilah pentingnya zakat sebagai bentuk kepedulian sosial. Bahkan, saking pentingnya hingga menjadi rukun Islam ketiga setelah kewajiban shalat lima waktu. Secara tegas, Islam mewajibkan pemeluknya untuk mengeluarkan zakat. Selain itu, juga harus tepat dalam pembriannya, sebagaimana ditentukan ada delapan golongan yang berhak menerimanya (mustahiq zakat).


***


Selain menunaikan kewajiban, mengeluarkan zakat juga merupakan wujud kasih sayang kepada sesame. Memang betul, bahwa manifestasi kasih sayang tidak harus bersifat material, akan tetapi memberikan sesuatu yang lebih dibutuhkan dan bermanfaat kepada orang lain akan lebih menyentuh perasaan orang itu. Dengan demikian, rasa kemanusiaan menjadi inti dari zakat itu sendiri.


Alhasil, mendekati hari raya idul fitri ini, mari kita jadikan otokritik dalam rangka meningkatkan pemberdayaan zakat sebagai wujud kepedulian kepada sesama. Juga, pengelolaan zakat benar-benar tertata dengan apik dan disiplin, sehingga benar-benar membawa maslahat kepada orang-orang yang sangat membutuhkannya.


Ustadz Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.