Tafsir

Empat Jenis Orang yang Takut kepada Allah dalam Al-Qur’an

Sen, 28 Oktober 2019 | 23:45 WIB

Secara umum, dilihat dari sudut pandang terminologinya, “al-khasyah”’ didefinisikan sebagai al-khauf,” yaitu takut. tetapi, kadang juga ditunjukkan pengertian yang lebih khusus lagi, bahwa ‘al-khasyah’ sebagai berikut: 

خافه بتعظيم ومهابة

Artinya, “Takut pada sesuatu yang disertai mengagungkan dan pengaruh kewibawaan” (mu’jamul ma’any).

Namun ada keunikan dari penggunaan diksi “al-khasyah” dan “al-khauf” di dalam Al-Qur’an. Keunikan tersebut akan tampak bila dilihat dari sisi penyandarannya. Sebelumnya, perlu disampaikan bahwa diksi “al-khasyah” dengan shighah mashdar (kata benda jadian), digunakan sebanyak 6 kali dalam Al-Qur’an.

Penggunaan dalam bentuk shighah verbal lampau (khasyiya), ditemukan sebanyak 13 kali. Penggunaannya dalam bentuk shighah fi’il mudhari’ (yakhsya atau takhsya) digunakan sebanyak 22 kali. Digunakan dalam bentuk shighat fi’il amar ada kurang lebih 5 kali. Jadi, total penggunaan turunan lafal khasyiya di dalam Al-Qur’an, ada kurang lebih sebanyak 46 kali.

Agar pembahasan tidak terlalu melebar pembahasan, maka dalam tulisan ini kita secara khusus membahas pengertiannya yang disampaikan dalam shighat mashdar (khasyah). Shighat ini digunakan di enam ayat berikut, yaitu Surat Al-Baqarah ayat 74, Surat An-Nisa’ ayat 77, Surat Al-Isra ayat 31 dan 100, Surat Al-Mu’minun ayat 57, dan Surat Al-Hasyr ayat 21. Mari cermati penggunaannya di masing-masing ayat ini!

Pertama, Surat Al-Baqarah ayat 74
 
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوْبُكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ اَوْ اَشَدُّ قَسْوَةً ۗ وَاِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْاَنْهٰرُ ۗ وَاِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاۤءُ  ۗوَاِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللّٰهِ ۗوَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ

Artinya, “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras, sehingga (hatimu) seperti batu, bahkan lebih keras. Padahal dari batu-batu itu pasti ada sungai-sungai yang (airnya) memancar daripadanya. Ada pula yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya. Dan ada pula yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Dan Allah tidaklah lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Di dalam ayat ini, lafal ‘khasyah’ digunakan dengan disertai penyandaran pada Allah. Karena takutnya batu tersebut kepada Allah SWT, kondisinya yang seharusnya kering dan tidak menyimpan air, digambarkan sampai mampu mengeluarkan air karena sangat takutnya kepada Allah SWT. Walhasil, khasyah dalam ayat ini dimaknai sebagai takut yang bersifat mutlak kepada Allah SWT sehingga tidak berani berbuat membantahnya.

Kedua, Surat An-Nisa ayat 77
 
اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ قِيْلَ لَهُمْ كُفُّوْٓا اَيْدِيَكُمْ وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَۚ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ اِذَا فَرِيْقٌ مِّنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللّٰهِ اَوْ اَشَدَّ خَشْيَةً ۚ وَقَالُوْا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَۚ  لَوْلَآ اَخَّرْتَنَآ اِلٰٓى اَجَلٍ قَرِيْبٍۗ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيْلٌۚ وَالْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقٰىۗ وَلَا تُظْلَمُوْنَ فَتِيْلًا

Artinya, “Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, ”Tahanlah tanganmu (dari berperang), laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat!” Ketika mereka diwajibkan berperang, tiba-tiba sebagian mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih takut (dari itu). Mereka berkata, “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tunda (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?”  Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa (mendapat pahala turut berperang) dan kamu tidak akan dizalimi sedikit pun.”

Di dalam ayat ini lafal khasyah digunakan dengan disertai penyandarannya pada sesuatu yang dianggap lebih agung (ta’dhim). Orang munafik menganggap bahwa tampil dengan pencitraan di hadapan manusia adalah lebih penting dibandingkan menyatakan ketaatan pada perintah Allah SWT. Hakikatnya mereka sebenarnya adalah takut untuk berhadapan muka dengan musuhnya, sehingga perintah melaksanakan jihad dianggapnya sebagai sesuatu yang memberatkan baginya. Itulah sebabnya Allah SWT membantahnya, bahwa kesenangan di dunia itu teramat sedikit bila dibandingkan kenikmatan yang akan diterimanya kelak di akhirat. Walhasil, makna khasyah dalam ayat ini adalah bermakna takut yang disertai adanya rasa takut dan menganggap ada sesuatu yang agung untuk ditakuti. 

Ketiga, Surat Al-Isra ayat 31
 
وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَاِيَّاكُمْۗ اِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْـًٔا كَبِيْرًا

Artinya, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.”

Di dalam ayat ini, lafal khasyah disandarkan penggunaannya pada sesuatu yang dianggapnya lebih penting di masa mendatang yang tidak sanggup mereka bayangkan. Bayangan yang tak sanggup dibayangkan ini hanya bisa diredam bila memiliki sandaran kepada zat yang serba maha. Jadi, seolah dalam ayat ini Allah SWT memberikan perintah agar rasa ketakutan itu (khasyah) dibelokkan kepada rasa takut kepada-Nya dan tenang dengan jaminan rezeki yang diberikannya.

Keempat, Surat Al-Isra ayat 100
 
قُلْ لَّوْ اَنْتُمْ تَمْلِكُوْنَ خَزَاۤىِٕنَ رَحْمَةِ رَبِّيْٓ اِذًا لَّاَمْسَكْتُمْ خَشْيَةَ الْاِنْفَاقِۗ وَكَانَ الْاِنْسَانُ قَتُوْرًا ࣖ

Artinya, “Katakanlah (Muhammad), ‘Sekiranya kamu menguasai perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya (perbendaharaan) itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya.’ Dan manusia itu memang sangat kikir.”

Lafal khasyah dalam ayat ini seolah memiliki pengertian yang sama dengan ayat sebelumnya, yakni Surat Al-Isra ayat 31. Jadi, rasa takut itu timbul pada sesuatu yang tidak sanggup diterima oleh akal mereka. Oleh karenanya, hendaknya rasa ini dibelokkan pada zat yang memberi jaminan atas perbendaharaan/rezeki itu.

Kelima, Surat Al-Mukminun ayat 57
 
اِنَّ الَّذِيْنَ هُمْ مِّنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُّشْفِقُوْنَ ۙ

Artinya, “Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Tuhannya, mereka sangat berhati-hati,”

Penggunaan lafal khasyah dalam ayat ini disandarkan pada kekuasaan Allah SWT dalam memberikan azab dan bersifat Maha Mutlak. Walhasil, pengertiannya sama dengan yang diungkap dalam pengertian khasyah dari sudut pandang terminologi bahasanya, yaitu takut yang disertai dengan rasa mengagungkan dan haibah. 

Keenam, Al-Hasyr ayat 21
 
لَوْ اَنْزَلْنَا هٰذَا الْقُرْاٰنَ عَلٰى جَبَلٍ لَّرَاَيْتَهٗ خَاشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللّٰهِ ۗوَتِلْكَ الْاَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Artinya, “Sekiranya Kami turunkan Al-Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir.”

Penggunaan lafal khasyah pada ayat ini disandarkan pada Allah SWT. Digambarkan dalam ayat bahwa beban tanggung jawab dengan diturunkannya Al-Qur’an adalah sangat berat hingga gunung-gunung pun merasa tidak sanggup menanggungnya. Bahkan andai dipaksa turun kepadanya, mereka akan lebur karena rasa takutnya kepada Allah SWT hingga mereka tiada sanggup bangkit untuk melaksanakannya.

Implikasi Hukum dari Penafsiran Al-Khasyah
Setelah kita mencermati beberapa sisi penggunaan lafal al-khasyah di dalam Al-Qur’an, maka simpulan yang bisa ditarik adalah bahwa lafal khasyah senantiasa menunjuk pada pengertian khusus berupa rasa takut yang sangat terhadap keberadaan suatu efek yang besar di belakang. 

Efek besar ini merupakan sesuatu yang tidak sanggup diterima oleh nalar manusia, khususnya bila ia tidak memiliki sandaran. Sandaran utama dari rasa takut ini adalah Allah SWT, Zat Yang Serba Maha, Zat Yang Maha Agung dan tidak pernah ingkar janji. Walhasil, sesuai dengan pengertian ini, penggunaan lafal khasyah condong digunakan untuk menyatakan rasa takut yang disertai ketundukan untuk melaksanakan perintah dan tidak berani membangkang sedikit pun.

Bila simpulan ini kita komparasikan dengan penggunaannya pada beberapa ayat lain di dalam Al-Qur’an, tampak ada kecocokan dengan apa yang telah diuraikan. Di dalam beberapa ayat yang lain, karakteristik khasyah senantiasa dilekatkan pada pihak-pihak berikut ini, yakni:
 
1.    Para utusan yang menyampaikan risalah dari Allah SWT (Surat Al-Ahzab ayat 39).

2.    Orang yang senantiasa mengikuti peringatan dari Tuhannya (Surat Yasin ayat 11).

3.    Ulama’ (Surat Fathir ayat 28).

4.    Orang yang diridhai oleh Allah SWT, pun mereka juga ridha terhadap Allah SWT sebagai Tuhannya (Surat Al-Bayyinah ayat  8). Wallahu a’lam bis shawab.

Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudhu’iyah, Pengurus Wilayah Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Jawa Timur