Tafsir

Momentum Akhir Tahun: Waktu yang Tepat untuk Muhasabah Diri dengan Bertobat

Ahad, 29 Desember 2024 | 07:00 WIB

Momentum Akhir Tahun: Waktu yang Tepat untuk Muhasabah Diri dengan Bertobat

Ilustrasi sujud. (Foto: NU Online/Suwitno)

Penghujung tahun, momen yang istimewa, bukan sekadar akhir dari sebuah kalender, tetapi juga waktu untuk merenung, mengevaluasi diri, serta mempersiapkan langkah baru. Dalam Islam, akhir tahun waktu yang tepat untuk melakukan muhasabah diri, sebuah refleksi atas perjalanan hidup kita selama ini.

 

Dengan muhasabah, kita diingatkan untuk merenungi apa yang telah kita lakukan, entah itu kebaikan maupun kekhilafan, sebagai langkah awal menuju taubat. Dalam Surat Al-Hasyr ayat 18, Allah SWT berfirman:

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ ۝١٨

 

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan."

 

Ibnu Katsir, dalam Tafsir Al-Qur'an Al-Adhim, menjelaskan bahwa ayat ini mengandung perintah untuk melakukan muhasabah atau introspeksi diri sebelum seseorang dihisab oleh Allah pada hari kiamat.  Kalimat “dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok”, berarti sebagai perintah untuk menghitung amal perbuatan yang telah dilakukan sebagai bekal menuju akhirat.

 

وقوله : ( ولتنظر نفس ما قدمت لغد ) أي : حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا ، وانظروا ماذا ادخرتم لأنفسكم من الأعمال الصالحة ليوم معادكم وعرضكم على ربكم

 

Artinya: “Dan firman-Nya: (Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok), artinya: hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan perhatikanlah apa yang telah kalian simpan untuk diri kalian berupa amal-amal saleh untuk hari kembali kalian dan saat kalian diperlihatkan di hadapan Tuhan kalian.” (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Adhim, [Saudi Arabia: Dar Tayyibah, 2002], Jilid VIII, hal. 77).

 

Lebih jauh lagi, muhasabah tidak akan sempurna tanpa disertai tobat. Sejatinya, tobat merupakan jalan untuk membersihkan diri dari dosa dan memperbarui komitmen kepada Allah SWT. Dalam Surat Ali Imran ayat 135, Allah berfirman:

 

وَالَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُۗ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلٰى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ ۝١٣٥

 

Artinya: “Demikian (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya. Siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan apa yang mereka kerjakan (perbuatan dosa itu) sedangkan mereka mengetahui(-nya).”

 

Imam Thabari dalam kitab Tafsir Jamiul Bayan menjelaskan bahwa Surat Ali Imran mengajarkan agar orang yang telah berbuat dosa dan maksiat segera bertobat dan memohon ampunan kepada Allah. Dalam ayat 135, Allah menggunakan kata "الفاحشة" (al-fahisyah), yang berarti perbuatan keji dan buruk yang melampaui batas yang diizinkan oleh Allah. Kata ini menggambarkan segala bentuk perbuatan buruk yang sangat tercela, baik berupa dosa besar maupun tindakan yang sangat bertentangan dengan ajaran agama.

 

Lebih jauh, seruan untuk bertobat  bermakna bahwa hanya Allah yang berhak dan mampu mengampuni dosa. Allah tidak hanya memaafkan, tetapi juga menutupi aib pelaku dosa sehingga mereka terhindar dari celaan. Hal ini memberikan pelajaran bahwa manusia harus selalu berharap kepada rahmat Allah, meskipun mereka telah melakukan dosa besar.

 

Simak penjelasan Imam Thabari:

 

فاستغفروا لذنوبهم)، يقول: فسألوا ربهم أن يستُر عليهم ذنوبهم بصفحه لهم عن العقوبة عليها، (ومن يغفر الذنوب إلا الله)، يقول: وهل يغفر الذنوب -أي يعفو عن راكبها فيسترها عليه- إلا الله، (ولم يصروا على ما فعلوا)، يقول: ولم يقيموا على ذنوبهم التي أتوها، ومعصيتهم التي ركبوها، (وهم يعلمون)، يقول: لم يقيموا على ذنوبهم عامدين للمقام عليها، وهم يعلمون أنّ الله قد تقدم بالنهي عنها، وأوعد عليها العقوبةَ من ركبها

 

Artinya: "Maka mereka memohon ampun atas dosa-dosa mereka," artinya: mereka memohon kepada Tuhan mereka agar menutupi dosa-dosa mereka dengan memberikan maaf kepada mereka dari hukuman atas dosa-dosa tersebut.

 

(Dan siapakah yang mengampuni dosa selain Allah?) artinya: Adakah yang mengampuni dosa, yakni memaafkan pelakunya dan menutupinya, selain Allah?

 

(Dan mereka tidak terus-menerus atas apa yang mereka lakukan), artinya: mereka tidak menetap dalam dosa-dosa yang telah mereka lakukan dan dalam maksiat yang mereka perbuat.

 

(Sementara mereka mengetahui), artinya: mereka tidak menetap dalam dosa-dosa mereka dengan sengaja, sedangkan mereka mengetahui bahwa Allah telah melarangnya sebelumnya dan telah mengancam hukuman bagi siapa saja yang melakukannya.” (Imam Thabari, Jamiul Bayan, [Makkah: Darul Tarbiyah wa Turats, tt], Jilid VII, hal. 219).

 

Pada ayat lain, yaitu Surat An-Nur ayat 31, Allah juga mengingatkan umat Islam untuk bertobat dan memperbaiki hubungan dengan-Nya, sebagai langkah penting dalam meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Ayat ini berbicara kepada orang-orang yang beriman, mengajak mereka untuk kembali kepada Allah dengan hati yang tulus.

 

Pasalnya, dalam kehidupan yang penuh dengan godaan dan ujian, kita sering kali terjatuh dalam kesalahan dan dosa. Namun, Allah membuka pintu taubat seluas-luasnya bagi hamba-Nya yang mau kembali dan memperbaiki diri.

 

وَتُوْبُوْا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

 

Artinya: "Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung." (QS. An-Nur: 31)

 

Sementara itu, Ibnu Aysur dalam kitab Tahrir wa Tanwir, mengatakan tobat kepada Allah merupakan bentuk pengakuan seorang hamba atas kelemahan dirinya dan kesalahan yang telah diperbuat. Tobat yang sejati [sebenarnya] tidak hanya terucap melalui lisan, tetapi juga diwujudkan dalam hati dengan rasa penyesalan, niat tulus untuk meninggalkan dosa, serta tekad kuat untuk tidak mengulanginya.

 

Dalam syariat Islam, kata Ibnu Asyur, istighfar memiliki makna yang serupa dengan tobat karena melibatkan pengakuan dosa di hadapan Allah serta permohonan ampunan dengan kesadaran penuh. Permintaan ampun tanpa niat untuk meninggalkan dosa justru dianggap sebagai bentuk kemunafikan-- lebih buruk daripada dosa itu sendiri. Oleh sebab itu, istighfar yang benar menjadi salah satu tingkatan dalam perjalanan menuju ketakwaan.

 

 وَلَمَّا كَانَ طَلَبُ الصَّفْحِ عَنِ الْمُؤَاخَذَةِ بِالذَّنْبِ لَا يَصْدُرُ إِلَّا عَنْ نَدَامَةٍ، وَنِيَّةِ إِقْلَاعٍ عَنِ الذَّنْبِ، وَعَدَمِ الْعَوْدَةِ إِلَيْهِ، كَانَ الِاسْتِغْفَارُ فِي لِسَانِ الشَّارِعِ بِمَعْنَى التَّوْبَةِ، إِذْ كَيْفَ يَطْلُبُ الْعَفْوَ عَنِ الذَّنْبِ مَنْ هُوَ مُسْتَمِرٌّ عَلَيْهِ، أَوْ عَازِمٌ عَلَى مُعَاوَدَتِهِ، وَلَوْ طَلَبَ ذَلِكَ فِي تِلْكَ الْحَالَةِ لَكَانَ أَكْثَرَ إِسَاءَةً مِنَ الذَّنْبِ، فَلِذَلِكَ عُدَّ الِاسْتِغْفَارَ هُنَا رُتْبَةً مِنْ مَرَاتِبِ التَّقْوَى

 

Artinya: “Dan karena permintaan maaf atas kesalahan tidak mungkin muncul kecuali dari rasa penyesalan, niat untuk meninggalkan dosa, serta tekad untuk tidak mengulanginya lagi, maka istighfar dalam istilah syariat memiliki makna yang sama dengan taubat. Sebab, bagaimana seseorang dapat meminta pengampunan atas dosa, sementara ia terus-menerus melakukan dosa tersebut, atau bahkan bertekad untuk mengulanginya? Jika seseorang meminta ampun dalam kondisi semacam itu, hal tersebut akan lebih buruk daripada dosa itu sendiri. Oleh karena itu, istighfar di sini dianggap sebagai salah satu tingkatan dari ketakwaan”. (Ibnu Asyur, Tahrir wa Tanwir, [Tunisia: Darul Tunusiyah lin Nasyar, 1984 M] Jilid IV, hal. 93).

 

Ada satu perkataan indah dari Rabi'ah al-Adawiyah, seorang tokoh sufi, tentang tobat, "Istighfar kami membutuhkan istighfar lagi." Ucapan ini mengandung makna istighfar tidak cukup hanya diucapkan, tetapi juga harus diiringi dengan perbaikan diri secara nyata. Ketika seseorang mengucapkan "Astaghfirullah" sambil tetap bergelimang dosa, istighfar tersebut menjadi kurang bermakna.

 

Oleh karena itu, istighfar sejati harus menjadi awal dari perubahan perilaku dan tekad untuk menjauhi maksiat. Dengan demikian, istighfar bukan hanya ritual lisan, melainkan juga kesadaran diri untuk berhenti dan tidak mengulangi kembali dosa dan kesalahan yang diperbuat. Wallahu a‘lam.

 

Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam, Tinggal di Parung.