Tafsir

Tafsir Al-Baqarah Ayat 187: Mendekatkan Diri pada Allah Lewat I'tikaf Ramadan

Sel, 9 April 2024 | 02:00 WIB

Tafsir Al-Baqarah Ayat 187: Mendekatkan Diri pada Allah Lewat I'tikaf Ramadan

Ilustrasi Itikaf Ramadhan. (Foto: NU online/Suwitno)

I'tikaf adalah ibadah sunnah yang dianjurkan untuk dilakukan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. i‘tikaf dilakukan dengan cara menetap di dalam masjid dengan niat beribadah kepada Allah SWT. Selama menjalani i‘tikaf, seseorang disunnahkan untuk memperbanyak ibadah seperti shalat, membaca Al-Quran, berdzikir, dan berdoa.

 

Melaksanakan i‘tikaf  dapat memberikan banyak manfaat bagi yang menjalankannya. Sejatinya, amalan ini membantu seseorang untuk fokus beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selain itu, i'tikaf  juga  merupakan kesempatan untuk  meningkatkan kualitas ibadah selama bulan Ramadhan dan  menjauhkan diri dari gangguan-gangguan yang dapat mengurangi kekhusyukan ibadah.

 

Salah satu ayat dalam Al-Qur'an tentang i'tikaf adalah Q.S Al-Baqarah ayat 187. Ayat ini menjelaskan tentang i'tikaf, ibadah yang mana seorang muslim berdiam diri di masjid dalam waktu tertentu. Ibadah ini bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan penuh ketenangan dan kekhusyu'an.

 

Allah berfirman;

 

وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ

 

Artinya: "Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beriktikaf di masjid. "

 

Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Tafsir Ad-Durr Al-Mantsur, menjelaskan tentang kebiasaan Nabi Muhammad SAW yang selalu melakukan i'tikaf (berdiam diri di masjid untuk beribadah) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Kebiasaan ini beliau lakukan hingga wafat. Bahkan setelah wafat, kebiasaan ini dilanjutkan oleh istri-istri Nabi.

 

عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.

 

Artinya: "Dari Aisyah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beriktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau wafat. Kemudian, istri-istrinya beriktikaf setelah beliau wafat." [HR. Bukhari]

 

Lebih lanjut, saat sedang 'i‘tikaf dianjurkan untuk tidak keluar masjid kecuali untuk keperluan yang sangat mendesak (hajat) seperti buang air, makan, atau minum. Pun tidak diperkenankan mengikuti iringan jenazah, menjenguk orang sakit, menyentuh wanita, atau berhubungan suami istri. Simak Penjelasan Imam Suyuthi berikut;

 

والسنة في المعتكف ألا يخرج إلا لحاجة الإنسان، ولا يتبع جنازة، ولا يعود مريضا، ولا يمس امرأة ولا يباشرها، ولا اعتكاف إلا في مسجد جماعة، والسنة في المعتكف أن يصوم .

 

Artinya: "Sunnah bagi orang yang ber'i‘tikaf adalah tidak keluar kecuali untuk keperluan [hajat] manusiawi, tidak mengikuti jenazah, tidak menjenguk orang sakit, tidak menyentuh wanita dan tidak bersetubuh dengannya. 'i‘tikaf tidak dilakukan kecuali di masjid. Sunnah bagi orang yang ber'i‘tikaf adalah berpuasa." (Imam Jalaluddin Suyuthi, Tafsir Ad-Durr Al-Mantsur [Beirut: Darul Fikr, 1432], Jilid II, halaman 297].

 

Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Misbah menerangkan, setelah menjelaskan tentang hukum puasa dan anjuran berdoa di sela-selanya, teks ini membahas tentang ibadah lain yang sangat dianjurkan di bulan Ramadhan, yaitu i'tikaf. I'tikaf adalah berdiam diri di masjid untuk merenung dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ibadah ini begitu penting dan banyak dilakukan pada masa turunnya ayat-ayat tentang i'tikaf, sehingga hampir semua orang yang berpuasa melakukannya. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, [Ciputat, Lentera Hati: 2002], jilid I, halaman 412).

 

Lebih lanjut, ayat ini juga menjelaskan syarat sahnya ibadah i'tikaf. I'tikaf dapat dilakukan selama beberapa saat atau beberapa hari, tergantung pada kemampuan dan keinginan masing-masing individu. Ibadah ini tidak sah jika dilakukan di luar masjid, dan menurut sebagian ulama, harus dilakukan di masjid jami' (masjid besar) yang biasa digunakan untuk shalat Jumat.

 

Kata "masjid" dalam ayat tersebut tidak merujuk pada makna "bercampur". Jika seorang yang sedang beri‘tikaf harus keluar masjid untuk keperluan mendesak, i‘tikafnya tidak batal. Namun, selama berada di luar masjid, ia tetap tidak boleh melakukan hubungan seksual. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, [Ciputat, Lentera Hati: 2002], jilid I, halaman 412).

 

Sementara itu, Syekh Syamsuddin al-Qurthubi dalam Tafsir  Al-Jāmi' Li Ahkām Al-Qur'ān menjelaskan bahwa dalam ayat ini menerangkan tentang i'tikaf. Secara hukum fiqih, i'tikaf hukumnya sunnah. Amalan ini senantiasa dilakukan oleh Rasulullah, sahabat, dan juga istri-istrinya. 

 

وَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِوَاجِبٍ، وَهُوَ قُرْبَةٌ مِنَ الْقُرَبِ وَنَافِلَةٌ مِنَ النَّوَافِلِ عَمِلَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ وَأَزْوَاجُهُ، وَيَلْزَمُهُ إِنْ أَلْزَمَهُ نَفْسَهُ، وَيُكْرَهُ الدُّخُولُ فِيهِ لِمَنْ يُخَافُ عَلَيْهِ الْعَجْزُ عَنِ الْوَفَاءِ بِحُقُوقِهِ

 

Artinya: “Para ulama sepakat bahwa i'tikaf bukanlah suatu perkara wajib. I'tikaf merupakan salah satu amalan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT dan termasuk ibadah yang senantiasa dikerjakan oleh Rasulullah SAW, para sahabatnya, dan para istrinya pernah melaksanakan i'tikaf. Jika seseorang telah berniat untuk melaksanakan i'tikaf, maka dia wajib untuk menyelesaikannya. Namun, orang yang khawatir tidak mampu memenuhi hak-haknya dalam i'tikaf, dianjurkan untuk tidak menjalankannya.”

 

Dalam ayat ini juga dijelaskan para ulama sepakat bahwa orang yang berjima' dengan istrinya dengan sengaja di dalam farjinya saat sedang iktikaf, maka iktikafnya batal. Hal ini berlaku baik siang maupun malam hari, dan baik di dalam masjid maupun di luar masjid.

 

Sementara itu, bermesraan tanpa bersenggama saat i'tikaf, jika diniatkan untuk mencari kenikmatan, maka hukumnya makruh. Jika tidak diniatkan demikian, maka tidak makruh. Hal ini karena Aisyah pernah menyisir rambut Rasulullah SAW saat beliau sedang beriktikaf, dan tidak diragukan lagi bahwa Aisyah pasti menyentuh badan Rasulullah SAW dengan tangannya. Hal ini menunjukkan bahwa bermesraan tanpa syahwat tidaklah terlarang.

 

 فَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَالزُّهْرِيُّ: عَلَيْهِ مَا عَلَى الْمُوَاقِعِ أَهْلَهُ فِي رَمَضَانَ. فَأَمَّا الْمُبَاشَرَةُ مِنْ غَيْرِ جِمَاعٍ فَإِنْ قَصَدَ بِهَا التَّلَذُّذَ فَهِيَ مَكْرُوهَةٌ، وَإِنْ لَمْ يَقْصِدْ لَمْ يُكْرَهْ، لِأَنَّ عَائِشَةَ كَانَتْ تُرَجِّلُ رَأْسَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ، وَكَانَتْ لَا مَحَالَةَ تَمَسُّ بَدَنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهَا، فَدَلَّ بِذَلِكَ عَلَى أَنَّ الْمُبَاشَرَةَ بِغَيْرِ شَهْوَةٍ غَيْرُ مَحْظُورَةٍ، هَذَا قَوْلُ عَطَاءٍ وَالشَّافِعِيِّ وَابْنِ الْمُنْذِرِ.

 

Artinya: “Hasan al-Basri dan az-Zuhri berkata; Saat i'tikaf berlaku apa-apa yang berkaitan dengan larangan bersentuhan dengan istrinya di bulan Ramadhan. Adapun bermesraan tanpa bersetubuh, jika diniatkan untuk mencari kenikmatan, maka itu makruh. Namun, jika tidak diniatkan untuk mencari kenikmatan, maka tidak makruh.”

 

Aisyah pernah menyisir rambut Rasulullah SAW saat beliau sedang beriktikaf. Dan tidak mungkin Aisyah tidak menyentuh badan Rasulullah SAW dengan tangannya. Hal ini menunjukkan bahwa bermesraan tanpa nafsu syahwat tidak terlarang. Ini adalah pendapat dari Atha', Syafi'i, dan Ibnu Mundzir." (Syekh Syamsuddin al-Qurthubi dalam Tafsir  Al-Jāmi' Li Ahkām Al-Qur'ān, Jilid II, [Kairo; Darul Kutub Al-Misriyah, 1964] halaman 332).

 

Dengan demikian, ayat 187 dalam Surah Al-Baqarah ini membahas tentang ibadah i'tikaf. Seyogianya, orang yang sedang i'tikaf di masjid, khususnya pada bulan Ramadhan, diwajibkan untuk fokus beribadah dan menjauhi hubungan suami istri.  Ini diartikan sebagai upaya untuk menyucikan ibadah dan memaksimalkan kekhusyuan dalam mencari ridha Allah SWT.

 

Intinya, larangan tersebut bertujuan agar orang yang tengah beriktikaf dapat  mengarahkan seluruh konsentrasi dan keikhlasannya hanya kepada Allah SWT.  Dengan demikian, momen i'tikaf menjadi sarana untuk semakin dekat dan meningkatkan ketaatan kepada Allah SWT.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, pegiat Kajian Islam Tinggal di Ciputat.