Tafsir

Tafsir Kata Amin pada Surat Al-Fatihah

Jum, 24 Januari 2020 | 06:30 WIB

Tafsir Kata Amin pada Surat Al-Fatihah

(Ilustrasi: alray.ps)

آمين

Āmīn.

Artinya, “Terimalah (ya Allah).”

Ali As-Shabuni dalam karyanya Shafwatut Tafasir mengatakan, kata “āmīn” bukan merupakan ayat menurut kesepakatan ulama. Kata “āmīn” berarti “Terimalah doa kami.” (As-Shabuni, 1999: 25).

Imam Al-Baghowi mengatakan, makna kata ini “Allāhumma isma‘ wa istajib” atau “Tuhanku, dengar dan kabulkanlah.” Sahabat Ibnu Abbas dan Qatadah mengatakan, makna kata ini “ka dzālika yakūnu” atau “demikian itu (semoga) ia menjadi.” Mujahid berpendapat, “āmīn” adalah salah satu asma Allah. Ada juga ulama berpendapat bahwa “āmīn” adalah sampul atau segel doa. Ada juga ulama yang mengatakan, “āmīn” adalah segel Allah atas para hamba-Nya yang dapat melindungi mereka dari bahaya sebagaimana sampul buku yang memeliharanya dari kerusakan.

Imam Al-Baghowi dalam Tafsir Ma'alimut Tanzil-nya meriwayatkan hadits dari sahabat Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Jika imam membaca ‘ghairil maghdhūbi alaihi wa lad dhālīn’, hendaklah kalian menjawab ‘āmīn’ karena malaikat juga menjawab ‘āmīn’ dan imam juga membaca ‘āmīn.’ Siapa saja yang jawaban ‘āmīn’-nya berbarengan dengan malaikat ‘āmīn’ malaikat, maka akan diampuni dosanya (dosa kecil) yang telah lalu.”

Imam Ibnu Katsir dalam karyanya Tafsirul Qur'anil Azhim mengatakan serupa. Menurutnya, kata “āmīn” bermakna “Allāhumma, istajib” (Tuhanku, kabulkanlah). Dalil atas pandangan ini adalah hadits riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi dari Wa’il bin Hajar. Ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah membaca, ‘Ghairil maghdhubi alaihim wa lad dhāllīn,’ lalu ia mengucap dengan panjang (dengan keras menurut riwayat Abu Dawud) kata ‘āmīn.’ Menurut At-Tirmidzi, kualitas hadits ini hasan. Ia meriwayatkannya dari Sayyidina Ali, Ibnu Mas‘ud, dan sahabat lainnya.

Sebagian ulama Syafi’iyah dan lainnya, kata Ibnu Katsir, pelafalan kata “āmīn” juga dianjurkan di luar shalat, terlebih lagi di dalam shalat, baik shalat sendiri, sebagai imam, maupun sebagai makmum. Pelafalan “āmīn” juga dianjurkan dalam segala situasi sesuai hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah. Rasulullah SAW bersabda, “Bila imam membaca ‘āmīn,’ hendaklah kalian jawab, ‘āmīn.’ Siapa saja yang pelafalan ‘āmīn’-nya bersamaan dengan ‘āmīn’ malaikat, niscaya dosanya yang telah lalu diampuni.”
 
Adapun pada riwayat Imam Muslim, Rasulullah bersabda, “Bila salah seorang kamu mengucap ‘āmīn’ dalam shalatnya, dan malaikat di langit juga mengucap kata yang sama, lalu ucapan ‘āmīn’ keduanya bertemu, niscaya dosanya yang telah lalu diampuni.” Pertemuan, ketepatan, atau kebarengan ucapan “āmīn” keduanya, menurut sebagian ulama, adalah kebarengan waktunya. Menurut sebagian ulama lain, kebarengan keduanya itu adalah soal ijabah. Ada juga ulama lain yang memahami kesamaan ucapan keduanya terletak pada soal keikhlasan.

Imam Ibnu Katsir mengutip beberapa makna “āmīn.” Sahabat Ibnu Abbas pernah bertanya kepada Rasulullah SAW perihal makna kata ini. Rasulullah menjawab, “Rabbi, if‘al” atau “Tuhanku, lakukanlah.” Al-Jauhari mengatakan, makna “āmīn” adalah “ka dzālika fal yakun” atau “Demikian, semoga terjadi.” Imam At-Tirmidzi berpendapat, makna “āmīn” adalah “Lā tukhayyib rajā’anā” atau “Jangan Kau sia-siakan harapan kami.” Tetapi kebanyakan ulama mengartikan kata ini dengan “āllāhumma, istajib lanā” atau “Tuhanku, kabulkanlah (permohonan) kami.”

Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam Tafsir Al-Munir mengatakan, kata “āmīn” merupakan sebuah doa. Ia bukan bagian dari Al-Qur’an. Kelas katanya adalah ism fi’il. Maknanya “Allāhumma, istajib” atau “Tuhanku, terimalah doaku.”

Ragam Pelafalan Kata “Āmīn”
Imam Ibnu Katsir mengatakan, seseorang dianjurkan untuk membaca “āmīn” seperti orang membaca “Yāsīn” setiap kali selesai pembacaan Surat Al-Fatihah. Ada yang bilang pelafalannya pendek pada hamzah, yaitu “amīn” seperti pelafalan kata “yamīn.” Abu Nashar Al-Qusyairi meriwayatkan pelafalan Al-Hasan dan Ja’far As-Shadiq dengan tasydid pada mim, “āmmīn” sebagaimana pelafalan “āmmīnal baytal harāma” pada Surat Al-Maidah ayat 2.

Imam Al-Baghowi mengatakan, seseorang dianjurkan untuk membaca “āmīn” setiap kali selesai pembacaan Surat Al-Fatihah dengan jeda terpisah dari Surat Al-Fatihah, bukan diwasal. Kata “āmīn” juga dibaca takhfif pada mim “āmīn.” Menurut ulama nahwu, hamzah dapat dibaca panjang, yaitu “āmīn” atau pendek, yaitu “amīn.”

Soal lantang (jahar) atau perlahan (sirr) pelafalan “āmīn”, ulama berbeda pendapat seperti diangkat oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Kalau imam lupa, makmum membaca lantang “āmīn” menurut satu pendapat ulama. Tetapi jika imam membaca “āmīn” dengan lantang, menurut qaul jadid makmum tidak perlu lagi melantangkan pelafalannya. Ini juga pandangan mazhab Hanafi dan sebuah riwayat dari Imam Malik karena “āmīn” merupakan zikir sehingga tidak perlu dilantangkan sebagaimana zikir lain di dalam shalat.
 
Adapun menurut qaul qadim, makmum tetap melantangkan “āmīn.” Ini juga menjadi pandangan Mazhab Ahmad bin Hanbal dan riwayat lain dari Imam Malik. Tetapi ada juga ulama yang mengaitkan kelantangan dan pelafalan perlahan “āmīn” dengan keluasan ruangan masjid atau mushalla. Jika masjid berukuran kecil, makmum tidak perlu melantangkan “āmīn.” Tetapi jika masjid berukuran luas, maka makmum perlu melantangkannya agar terdengar sampai jamaah lainnya di sudut-sudut masjid. Wallahu a‘lam. (Alhafiz Kurniawan)