Tafsir

Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 13: Larangan Membangga-banggakan Garis Keturunan

Jum, 10 Mei 2024 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 13: Larangan Membangga-banggakan Garis Keturunan

Ilustrasi sombong. (Foto: NU Online)

Surat Al-Hujurat ayat 13 menekankan persamaan hakiki manusia di hadapan Allah. Ayat ini menjelaskan bahwa asal mula manusia adalah sama, diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Perbedaan bangsa, suku, dan warna kulit yang ada bukanlah untuk menimbulkan kesombongan atau perpecahan, melainkan sebagai sarana untuk saling mengenal dan tolong-menolong.

 

Simak firman Allah dalam Q.S Al-Hujurat [49] ayat 13;

 

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ 

 

yâ ayyuhan-nâsu innâ khalaqnâkum min dzakariw wa untsâ wa ja‘alnâkum syu‘ûbaw wa qabâ'ila lita‘ârafû, inna akramakum ‘indallâhi atqâkum, innallâha ‘alîmun khabîr

 

Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha.”

 

Konsep kesetaraan ini menentang pandangan manusia yang seringkali mengaitkan kemuliaan dengan hal-hal duniawi seperti kebangsaan atau kekayaan. Dalam Islam, kriteria kemuliaan yang sesungguhnya adalah ketakwaan kepada Allah. Orang yang paling patuh menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dialah yang paling mulia di sisi Allah, tanpa memandang asal usul atau status sosialnya.

 

Syekh Syamsuddin al-Qurthubi dalam kitab al-Jami' li Ahkami al-Qur'an menjelaskan ayat ini, sebagaimana Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa pada hari penaklukan kota Makkah (Fathu Makkah), Nabi Muhammad SAW memerintahkan Bilal bin Rabah untuk naik ke atas Ka'bah dan mengumandangkan azan. Hal ini sontak menimbulkan beragam reaksi dari para tokoh Quraisy yang sebelumnya menentang Islam.

 

Atab bin Usaid bin Abi Said misalnya, justru melontarkan ucapan yang menunjukkan kekecewaan. Ia bersungkawa karena ayahnya tidak bisa menyaksikan peristiwa tersebut. Sementara Al-Haris bin Hisyam dengan nada sinis menyebut Bilal sebagai "gagak hitam" yang ditunjuk sebagai muadzin.

 

Sikap berbeda ditunjukkan oleh Suhail bin Amir. Ia menyadari bahwa kemenangan Islam adalah kehendak Allah SWT. Adapun Abu Sufyan memilih untuk bungkam karena khawatir kemarahan Allah SWT.

 

Malaikat Jibril kemudian datang kepada Nabi Muhammad SAW dan menyampaikan perkataan para tokoh Quraisy tersebut. Beliau pun memanggil mereka dan menanyakan kebenarannya. Tak dapat mengelak, para tokoh Quraisy tersebut akhirnya mengakui perkataan mereka.

 

Mengetahui hal tersebut, Allah SWT kemudian menurunkan firman-Nya yaitu Surat al-Hujurat ayat 13 untuk melarang orang-orang Quraisy bersikap sombong karena garis keturunan dan merendahkan kaum Muslim yang miskin.

 

Ayat 13 surat Al-Hujurat tersebut menegaskan bahwa semua manusia berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu Adam dan Hawa. Ukuran kemuliaan seseorang bukanlah berasal dari keturunan, melainkan ketakwaan kepada Allah SWT. Semakin seseorang bertakwa, maka semakin mulia kedudukannya di sisi Allah SWT. Hal ini menjadi pelajaran penting bagi umat Islam untuk senantiasa bersikap rendah hati dan tidak terlena dengan kesombongan.

 

Dengan demikian, Allah SWT mengingatkan kaum Quraisy untuk tidak terlena dengan kebanggaan mereka. Sebaliknya, mereka harus membuka diri terhadap ajaran Islam yang membawa mereka menuju ketakwaan dan kemuliaan sejati

 

فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى هَذِهِ الْآيَةَ. زَجَرَهُمْ عَنِ التَّفَاخُرِ بِالْأَنْسَابِ، وَالتَّكَاثُرِ بِالْأَمْوَالِ، وَالِازْدِرَاءِ بِالْفُقَرَاءِ، فَإِنَّ الْمَدَارَ عَلَى التَّقْوَى. أَيِ الْجَمِيعُ مِنْ آدَمَ وَحَوَّاءَ، إِنَّمَا الْفَضْلُ بِالتَّقْوَى

 

Artinya: “Maka Allah SWT menurunkan ayat ini. Dia melarang mereka untuk sombong atau membangga-banggakan garis keturunan, bermegah-megahan dengan harta, dan menghina orang miskin. Karena tolok ukurnya adalah ketakwaan. Semua manusia berasal dari Adam dan Hawa, dan yang lebih mulia adalah yang lebih bertakwa.” [Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami' li Ahkami al-Qur'an, [Kairo: Darul Kutub Misriyah, 1964 ] Jilid XVI, halaman 341].

 

Lebih jauh lagi, Rasulullah bersabda di Kota Makkah tentang kesetaraan manusia di hadapan Allah, di mana ketakwaan dan kebaikanlah yang menentukan kemuliaan, bukan keturunan atau status sosial. Nabi bersabda;

 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إن الله قد أذهب عنكم عيبة الْجَاهِلِيَّةِ وَتَعَاظُمَهَا بِآبَائِهَا. فَالنَّاسُ رَجُلَانِ: رَجُلٌ بَرٌّ تَقِيٌّ كَرِيمٌ عَلَى اللَّهِ، وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ هَيِّنٌ عَلَى اللَّهِ. وَالنَّاسُ بَنُو آدَمَ وَخَلَقَ اللَّهُ آدَمَ مِنْ تُرَابٍ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:" يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْناكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثى وَجَعَلْناكُمْ شُعُوباً وَقَبائِلَ لِتَعارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

 

Artinya; "Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah menghapuskan dari kalian kejahilan jahiliyah dan kesombongannya dengan nenek moyangnya. Manusia itu ada dua macam: orang yang baik, bertakwa, mulia di sisi Allah, dan orang yang fasik, celaka, rendah di sisi Allah. Manusia itu keturunan Adam, dan Allah menciptakan Adam dari tanah. Allah Ta'ala berfirman: 'Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbagai bangsa dan suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah yang paling takwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal,". [HR. Tirmidzi].

 

Lewat hadits ini, jelas bahwa Allah mengingatkan manusia, Dia menciptakan mereka dari pasangan laki-laki dan perempuan, serta memisahkan mereka menjadi berbagai bangsa dan suku agar mereka saling mengenal. Di sisi Allah, yang paling mulia adalah mereka yang paling bertakwa. Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat segala perbuatan manusia.

 

Lewat Islam, Allah telah membebaskan manusia dari kegelapan dan keangkuhan masa lampau, peninggalan leluhur yang tak pantas. Kini, manusia terbagi dalam dua golongan: mereka yang beriman, bertakwa, dan mulia di hadapan Allah, dan mereka yang fasik, terkutuk, dan hina dalam pandangan-Nya. Semua manusia berasal dari Adam, ciptaan Allah dari tanah liat.

 

Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir, mengatakan bahwa surat Al-Hujurat ayat 13 ini mengajak manusia untuk saling menghormati dan menjalin persaudaraan, karena semua manusia diciptakan sama dan bersaudara. Persaudaraan ini harus didasari oleh ketakwaan kepada Allah SWT, bukan oleh kesombongan nasab atau asal usul. (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir, [Beirut: Darul Fikr, 1991 M], Jilid XXVI, halaman 260)

 

Lebih lanjut, ayat ini mengingatkan bahwa semua manusia berasal dari satu asal, yaitu Adam dan Hawa. Kesamaan asal ini menjadi dasar persaudaraan dan kesetaraan manusia. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk membanggakan nasab dan merendahkan orang lain. 

 

Sejatinya, keberagaman bangsa dan suku diciptakan Allah SWT sebagai sarana untuk saling mengenal dan menjalin hubungan persaudaraan, bukan untuk saling bermusuhan dan merendahkan.

 

Keutamaan di antara manusia ditentukan oleh ketakwaan mereka kepada Allah SWT, bukan oleh nasab atau asal usul mereka. Kesadaran ini penting untuk menumbuhkan rasa rendah hati dan saling menghormati. 

 

Allah SWT mengetahui segala sesuatu tentang manusia, termasuk batin, keadaan, dan seluruh urusan mereka. Kesadaran ini harus mendorong manusia untuk saling menghormati dan tidak saling menghina, karena Allah SWT lah yang akan menentukan keutamaan mereka.

 

Singkatnya, ayat ini mengajak manusia untuk saling menghormati, menjalin persaudaraan, dan membangun tatanan masyarakat yang harmonis. Kesadaran bahwa semua manusia diciptakan sama dan bersaudara menjadi landasan penting untuk mewujudkan hal tersebut.

 

Sejatinya, banyak sekali hadits sahih yang menjelaskan tentang konsep kesetaraan manusia dalam Islam.  Nabi Muhammad sendiri dalam berbagai kesempatan menyampaikan pesan ini. Hal ini sejalan dengan tauhid, keyakinan terhadap keesaan Allah SWT. Jika kita semua ciptaan Allah, maka tidak ada alasan bagi manusia untuk merasa lebih tinggi dari yang lainnya.

 

كلكم بنو آدم وآدم خلق من تراب، ولينتهين قوم يفخرون بآبائهم، أو ليكونن أهون على الله تعالى من الجعلان

 

Artinya: “Kalian semua adalah keturunan Adam, dan Adam diciptakan dari tanah. Berhentilah kaum dari sikap membanggakan leluhur mereka, atau jika tidak, mereka adalah orang-orang yang lebih rendah bagi Allah SWT dari al-ju’lan (serangga yang mendorong kotoran dengan hidungnya)," [HR. al-Bazzar].

 

Lebih lanjut, dalam kitab Musnad, Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah menyampaikan khutbah di Mina pada pertengahan hari tasyriq dari atas unta. Dalam khutbahnya, Nabi bersabda tentang kesetaraan manusia. 

 

Beliau menegaskan bahwa dalam pandangan Allah, semua manusia memiliki nilai yang sama tanpa memandang suku, ras, atau status sosial. Rasulullah mengajarkan bahwa keadilan dan persaudaraan sesama manusia adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi dalam masyarakat

 

حدثنا إسماعيل حدثنا سعيد الجريري عن أبي نضرة حدثني من سمع خطبة رسول الله صلى الله عليه وسلم في وسط أيام التشريق فقال يا أيها الناس ألا إن ربكم واحد وإن أباكم واحد ألا لا فضل لعربي على أعجمي ولا لعجمي على عربي ولا لأحمر على أسود ولا أسود على أحمر إلا بالتقوى أبلغت قالوا بلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم قال أي يوم هذا قالوا يوم حرام ثم قال أي شهر هذا قالوا شهر حرام قال ثم قال أي بلد هذا قالوا بلد حرام قال فإن الله قد حرم بينكم دماءكم وأموالكم قال ولا أدري قال أو أعراضكم أم لا كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا أبلغت قالوا بلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ليبلغ الشاهد الغائب

 

Artinya: “Ismail meriwayatkan dari Said Al-Jurjiri, dari Abu Nadrah, dari orang yang mendengar khutbah Rasulullah SAW di tengah hari-hari Tasyrik. Rasulullah SAW bersabda, "Wahai manusia, ketahuilah bahwa Tuhan kalian adalah Esa dan bapak kalian adalah Satu. 

 

Tidak ada keistimewaan bagi orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak ada keistimewaan bagi orang non-Arab atas orang Arab, tidak ada keistimewaan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, dan tidak ada keistimewaan bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, kecuali dalam hal ketakwaan. Apakah aku telah menyampaikannya?"

 

Para sahabat menjawab, "Rasulullah telah menyampaikannya." Rasulullah SAW kemudian bertanya, "Hari apa ini?" Para sahabat menjawab, "Hari Haram." Rasulullah SAW kemudian bertanya, "Bulan apa ini?" Para sahabat menjawab, "Bulan Haram." Rasulullah SAW kemudian bertanya, "Negeri apa ini?" Para sahabat menjawab, "Negeri tanah Haram."

 

Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan darah dan harta kalian di antara kalian. Dan aku tidak tahu, mungkin juga Allah telah mengharamkan kehormatan kalian, seperti keharaman hari ini, bulan ini, dan negara ini. Apakah aku telah menyampaikannya?" Para sahabat menjawab, "Rasulullah telah menyampaikannya." Kemudian, Rasulullah SAW kemudian berkata, "Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir." [Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad,  [Jeddah: Darul Ihya Turats al-Arabi, 1993], Jilid V, halaman 411].

 

Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Tafsir Marah Labid mengatakan semua manusia, tanpa terkecuali, diturunkan dari Adam dan Hawa, kemudian dari ayah dan ibu. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi siapapun untuk membanggakan keturunannya. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan berbagai bangsa dan suku. Tujuannya adalah agar manusia saling mengenal satu sama lain dan memahami kekayaan budaya yang beragam.

 

Pembagian bangsa dan suku ini tidak dimaksudkan untuk menciptakan perbedaan derajat di antara manusia. Semua manusia diciptakan sama oleh Allah SWT, dan kehormatan seseorang datang dari takwanya kepada Allah SWT, bukan dari keturunannya. Oleh karena itu, tidak boleh ada yang mengaku keturunan selain dari nenek moyangnya yang sebenarnya.

 

 أي من آدم وحواء، ومن أب وأم، فالكل سواء في ذلك، فلا وجه للتفاخر بالنسب،

 

Artinya: “Dari Adam dan Hawa, dari ayah dan ibu, semua manusia sama. Tidak ada alasan untuk membanggakan keturunan.” (Syekh Nawawi Al-Bantani, Tafsir Marah Labid, [Beirut: Darul Kitab Ilmiyah, 1417 H] Jilid II, halaman 440). 

 

Dengan demikian, ayat ini mengandung pesan penting tentang penciptaan manusia oleh Allah SWT.  Secara tegas dikatakan bahwa manusia diciptakan dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa), kemudian dikaruniai keberagaman suku, bangsa, dan warna kulit. 

 

Keberagaman ini bukan untuk saling merendahkan atau mencemoohkan, melainkan untuk saling mengenal dan bahu-membahu dalam kebaikan.

 

Allah SWT tidak menyukai kesombongan atas keturunan, pangkat, ataupun kekayaan. Di sisi Allah, kemuliaan manusia ditentukan oleh ketakwaannya. Semakin taat dan beriman seseorang kepada Allah, semakin mulia kedudukannya di mata Allah SWT.

 

Dengan memahami makna ayat ini, diharapkan manusia dapat saling menghormati dan menghargai perbedaan, serta fokus pada peningkatan ketakwaan kepada Allah SWT sebagai satu-satunya tolok ukur kemuliaan.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Keislaman Tinggal di Ciputat