Tafsir

Tafsir Surat Al-’Ashr Ayat 3: Ini 4 Kunci Keselamatan

Sen, 24 April 2023 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-’Ashr Ayat 3: Ini 4 Kunci Keselamatan

Ilustrasi: waktu (pixabay).

 Berikut ini adalah teks, terjemahan dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Al-’Ashr ayat 3:

 

اِلَّا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوۡا بِالۡحَقِّ ۙ وَتَوَاصَوۡا بِالصَّبۡرِ

 

Illallaziina aamanu wa 'amilus saali haati wa tawashaw bil haqqi wa tawashaw bis shabr.

 

Artinya, "Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran."

 

Ragam Tafsir Surat Al-’Ashr Ayat 3

Pada ayat sebelumnya dijelaskan bahwa seluruh manusia yang tidak memanfaatkan waktu atau mengisi waktu namun dengan hal-hal yang negatif, maka mereka dalam kerugian; kemudian ayat ini mengecualikan dari jenis manusia yang merugi itu sebagaimana berikut.

 

Firman Allah swt, “Illallaziina aamanu”, "Kecuali orang-orang yang beriman", adalah istisna' atau pengecualian dari al-insan (manusia) pada ayat sebelumnya, dan al-insan menurut pendapat yang shahih bermakna an-Nas.

 

Firman Allah swt, “wa 'amilus saali haati”, "Dan mengerjakan amal shalih", yakni melaksanakan segala kewajiban yang diwajibkan kepada mereka, merekalah para sahabat Nabi Muhammad saw. 

 

Ubay bin Ka'ab berkata, "Aku membaca di hadapan Rasulullah saw surah Al-’Ashr, kemudian aku berkata, apa tafsir surat tersebut wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: "Wal ’Ashr, yakni qasam Allah swt. Tuhan kalian bersumpah dengan akhir waktu siang. Innal-insāna lafi khusr, yakni Abu Jahal. Illallaziina aamanu, yakni Abu Bakar. Wa 'amilus shaali haati yakni sahabat Umar. Wa tawashaw bil haqqi yakni sahabat Utsman. Wa tawashaw bis shabr yakni sahabat Ali. Semoga Allah swt meridhai mereka semuanya."

 

Demikian pula Ibnu Abbas ketika berkhutbah di atas mimbar yang diriwayatkan secara mauquf darinya, bahwa makna wa tawashau yakni saling mencintai, sebagian mereka menasehati sebagian yang lain, dan sebagian mereka mengajak sebagian yang lain, bi al haqq yakni dengan tauhid, demikian Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas.

 

Imam Qatadah berkata, "Bil haqqi yakni Al Qur'an." As-Suddi berkata, Al-Haqq (kebenaran) di sini adalah Allah. Wa Tawashau bis shabri (dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran) dalam ketaatan kepada Allah swt, dan sabar untuk tidak bermaksiat kepada-Nya. Hal tersebut telah dijelaskan. (Syamsudin Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, [Mesir, Darul Kutub al-Mishriyah: 1384 H/1964 M], juz XX, halaman 180-181).

 

Sementara Syekh Wahbah az-Zuhaili (wafat 2015) menjelaskan ayat 3 sebagai berikut:
 

"Sesungguhnya seluruh manusia itu pastilah berada dalam kerugian, kekurangan dan kehancuran, kecuali orang-orang yang mengumpulkan antara iman kepada Allah dan beramal saleh. Sesungguhnya mereka itu dalam keberuntungan, bukan dalam kerugian. Mereka telah beramal untuk akhirat dan amalan dunia tidak memalingkan mereka dari amalan akhirat. Mereka beriman dengan hati dan beramal dengan anggota tubuh mereka.” 

 

Terkecuali juga orang-orang yang saling menasihati dengan perkara tetap yang tidak dapat diingkari lagi, yaitu beriman dan mentauhidkan Allah swt, serta menunaikan syari'at dan menjauhi larangan-Nya. Kebenaran adalah lawan dari kebatilan; mencakup segala bentuk kebaikan dan sesuatu yang harus dikerjakan atau dengan menunaikan ketaatan dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan.

 

Imam Zamakhsyari berkata, "ltu adalah seluruh kebaikan, berupa mentauhidkan Allah, menaati, menjalankan kandungan kitab-kitab dan risalah para rasul-Nya, zuhud di dunia dan mencintai akhirat."

 

Terkecuali juga orang-orang yang saling menasihati dengan kesabaran untuk menjalankan kewajiban yang dibebankan oleh Allah, bersabar dari tidak bermaksiat, juga terhadap segala takdir dan cobaanNya. Kesabaran mencakup menunaikan ibadah, menjauhi kemungkaran, mengemban berbagai kesulitan dan takdir, serta rintangan bagi orang-orang yang melakukan amar ma'ruf nahi munkar. (Wahbah bin Musthafa Az-Zuhaili, At-Tafsir Munir, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz XXX, halaman 394).

 

Walhasil, surat ini memuat ancaman yang keras. Itu karena Allah menghukumi dengan kerugian kepada seluruh manusia kecuali orang-orang yang disifati dengan empat (4) perkara, yaitu: (1) Iman; (2) amal saleh; (3) saling menasehati untuk kebenaran; dan (4) saling menasehati untuk kesabaran.
 

Hal ini menunjukan bahwa keselamatan bergantung pada terkumpulnya empat (4) perkara ini. Seperti kewajiban manusia untuk melakukan amal baik dan yang bermanfaat. Wajib juga baginya mengajak orang lain kepada agama, memberikan nasihat untuk berbuat baik dan amar ma'ruf nahi munkar, serta mencintai orang lain seperti mencintai diri sendiri dan dengan menetapi semua itu dan tidak berbuat menyimpang. Tidak pula menjauhkan orang lain dari dakwah yang akan bertemu pada kesulitan-kesulitan. (Muhammad Sayyid Thanthawi, Tafsirul Washit, [Kairo, Dar Nahdlah: 1997 M], juz XV halaman 502).

 

Terakhir Imam Ar-Razi berkata: "Ayat ini menunjukkan bahwa kebenaran itu berat. Kebenaran akan senantiasa diuji. Karena itu, penyebutan kebenaran disertai dengan penyebutan saling menasihati." (Az-Zuhaili, XXX/395). Wallahu a'lam bis shawab.

 

Ustadz Muhammad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo