Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 198: 2 Nikmat Allah bagi Orang Haji

Rab, 10 Mei 2023 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 198: 2 Nikmat Allah bagi Orang Haji

Ilustrasi: haji (freepik).

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, sababun nuzul dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Al-Baqarah ayat 198:
 

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلًا مِّنْ رَّبِّكُمْۗ فَاِذَآ اَفَضْتُمْ مِّنْ عَرَفٰتٍ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِۖ وَاذْكُرُوْهُ كَمَا هَدٰىكُمْۚ وَاِنْ كُنْتُمْ مِّنْ قَبْلِهٖ لَمِنَ الضَّاۤلِّيْنَ
 

Laisa ‘alaikum junāḫun an tabtaghū fadllam mir rabbikum, fa idzā afadltum min ‘arafātin fadzkurullāha ‘indal-masy‘aril-ḫarāmi wadzkurūhu kamā hadākum, wa ing kuntum ming qablihī laminadl-dlāllīn.
 

Artinya, “Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu (pada musim haji). Apabila kamu bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masyarilharam. Berzikirlah kepada-Nya karena Dia telah memberi petunjuk kepadamu meskipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.”
 

 

Sababun Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 198

Imam As-Suyuthi dalam Kitab Ad-Durrul Mantsur meriwayatkan sababun​​​​​​​ nuzul Al-Baqarah 198, berikut riwayatnya:

أخرج سُفْيَان وَسَعِيد بن مَنْصُور وَالْبُخَارِيّ وَابْن جرير وَابْن الْمُنْذر وَابْن أبي حَاتِم وَالْبَيْهَقِيّ فِي سنَنه عَن ابْن عَبَّاس قَالَ: كَانَت عكاظ ومجنة وَذُو الْمجَاز أسواقاً فِي الْجَاهِلِيَّة فتأثموا أَن يتجروا فِي الْمَوْسِم فسألوا رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم عَن ذَلِك فَنزلت {لَيْسَ عَلَيْكُم جنَاح أَن تَبْتَغُوا فضلا من ربكُم} فِي مواسم الْحَج
 

Artinya: “Sufyan, Said bin Mansur, Imam Bukhari, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan Al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya meriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata: “Ukadz, Majanah dan Dzulmajaz merupakan nama-nama pasar pada masa jahiliyah, pada saat itu orang-orang merasa berdosa untuk berdagang pada musim pelaksanaan haji, mereka bertanya kepada Rasulullah Saw terkait hal tersebut. Kemudian turun ayat: “Laisa ‘alaikum junāḫun an tabtaghū fadllam mir rabbikum” pada musim pelaksanaan haji. (As-Suyuthi, Ad-Durul Mantsur, [Beirut, Darul Fikr], juz I,halaman 534).
 

 

Ragam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 198

Abu Hayyan menjelaskan korelasi antara ayat ini dengan ayat sebelumnya dapat dilihat dari tiga (3) aspek:

  1. Pada ayat sebelumnya Allah melarang orang yang sedang melaksanakan haji untuk bermusuhan satu sama lain dan berdagang karena ​​​​​​dapat menjadi sumber permusuhan.
  2. Berdagang dulunya diharamkan oleh masyarakat Jahiliyah waktu pelaksanaan haji karena dianggap dapat menyibukkan diri dengan urusan duniawi.
  3. Melihat banyaknya hal-hal yang awalnya boleh menjadi tidak boleh dilakukan saat haji, menjadikan berdagang salah satu yang dianggap tidak diperbolehkan. Namun, Allah memperbolehkannya dan mengabarkan bahwa tidak mengapa melaksanakannya pada saat haji. (Abu Hayyan, Al-Bahrul Muhith, [Beirut, Darul Fikr], juz II, halaman 293). 


​​​​​​​Secara ringkas, sebagaimana dijelaskan Imam As-Suyuthi dalam Tafsirul Jalalain, ayat ini menjelaskan kebolehan untuk mencari rezeki dengan berdagang (atau lainnya) selagi melaksanakan ibadah haji. Kemudian ayat ini menjelaskan perintah Allah untuk memperbanyak berdzikir dengan membaca talbiyah, tahlil, doa dan lainnya di Masy’aril Haram (bukit di akhir batas Muzdalifah yang disebut Quzah) setelah melaksanakan wuquf di Arafah dan mabit di Muzdalifah. Juga perintah memperbanyak berdzikir sebagai wujud syukur kepada Allah yang telah memberi petunjuk untuk melaksanakan ibadah haji. (As-Suyuthi, Tafsirul Jalalain pada Hasyiyatus Shawi, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2013 M], juz I, halaman 123).​​​​​​​
 

Syekh Ahmad As-Shawi dalam Hasyiyah-nya atas Tafsirul Jalalain memberi catatan terkait berdagang selagi melaksanakan ibadah haji. Ia menjelaskan bahwa kebolehan berdagang tersebut berlaku selagi tidak menyibukkan atau bahkan memalingkannya dari melaksanakan ibadah haji. 
 

Ulama berbeda pendapat apakah berdagang saat haji dapat mengurangi pahala haji atau tidak. Sebagian berpendapat bahwa jika keinginan berdagang lebih tinggi dari berhaji dan berdagang menjadi tujuan utama di dalamnya, maka dapat menggugurkan kewajiban haji pada dirinya, namun pahala hajinya tidaklah sama dengan orang yang tujuannya hanya melaksanakan haji. Sedangkan jika keduanya sama, maka tidaklah mengapa. (As-Shawi, Hasyiyah Al-Shawi ’ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2013 M], juz I, halaman 123).
 

Syekh Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya menjelaskan makna “fa idzā afadltum min ‘arafātin fadzkurullāha ‘indal-masy‘aril-ḫarāmi”. Maksudnya ialah perintah untuk berdzikir kepada Allah dengan membaca talbiyah, tasbih, tahmid dan tahlil di tempat yang disebut dengan Masy’aril Haram, sekembali dari wuquf di Arafah. Syekh Nawawi menjelaskan maksud dari Masy’aril Haram sendiri ialah sebuah bukit yang menjadi tempat berdiri imam yang dinamakan Quzah, merupakan akhir batas Muzdalifah. Sedangkan sebagian ulama berpendapat maksud dari Masy’aril Haram ialah Muzdalifah itu sendiri dengan alasan dzikir yang diperintahkan dapat dilakukan setelah kembali dari Arafah dan kegiatan setelahnya tak lain ialah mabit atau menginap di Muzdalifah. (Nawawi Al-Bantani, Marah Labid, juz I, halaman 47).
 

Adapun makna perintah berdzikir sebagai wujud syukur kepada Allah yang disebutkan ayat di atas, Ibnu Katsir menjelaskannya sebagai berikut:
 

وَقَوْلُهُ: {وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ} تَنْبِيهٌ لَهُمْ عَلَى مَا أنْعَم بِهِ عَلَيْهِمْ، مِنَ الْهِدَايَةِ وَالْبَيَانِ وَالْإِرْشَادِ إِلَى مَشَاعِرَ الْحَجِّ، عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ إِبْرَاهِيمُ الْخَلِيلُ، عَلَيْهِ السَّلَامُ؛ وَلِهَذَا قَالَ: {وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ} قِيلَ: مِنْ قَبْلِ هَذَا الْهَدْيِ، وَقَبْلَ الْقُرْآنِ، وَقَبْلَ الرَّسُولِ، وَالْكُلُّ مُتَقَارِبٌ، وَمُتَلَازِمٌ، وَصَحِيحٌ
 

Artinya: “Firman Allah (wadzkurūhu kamā hadākum, wa ing kuntum ming qablihī laminadl-dlāllīn) merupakan pengingat kepada umat Islam atas nikmat yang telah diberikan Allah kepada mereka meliputi hidayah, penjelasan dan petunjuk untuk melaksanakan haji sesuai yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. Oleh karenanya, Allah berfirman (wa ing kuntum ming qablihī laminadl-dlāllīn), dikatakan: sebelum datangnya petunjuk, sebelum Al-Qur’an dan rasul ada. Semuanya berdekatan, saling melengkapi dan benar. (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anul Azhim, [Riyadh, Dar Thayyibah lin Nasyri wa Tauzi’: 1999 M/ 1420 H] juz I, halaman 555).
 

Kesimpulannya, dari penjelasan di atas ada dua (2) nikmat besar yang diberikan oleh Allah terhadap orang yang melaksanakan ibadah haji:

  1. Nikmat Allah kepada umat Islam dengan tidak melarangnya untuk mencari nafkah selagi tidak menghalangi ibadah.
  2. Nikmat Allah dengan memberikan petunjuk pelaksanaan haji sesuai dengan apa yang dilakukan Nabi Ibrahim ’alaihis salam. ​​​​​​​Wallahu a’lam.
 

Ustadz Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Mahasantri Ma'had Aly Saidussidiqiyah Jakarta.