Tafsir

Tafsir Surat Al-Quraisy Ayat 1-2: Rahasia Kesuksesan Dagang Suku Quraisy

Ahad, 22 Oktober 2023 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-Quraisy Ayat 1-2: Rahasia Kesuksesan Dagang Suku Quraisy

Ilustrasi: Makkah - Kakbah - Masjidil Haram (freepik).

Berikut ini adalah teks, terjemahan, kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Al-Quraisy 1-2. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
 

لِاِيْلٰفِ قُرَيْشٍۙ (١) اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ (٢)
 

(1) Li'ilafi quraisy(in). (2) läfihim riḥlatasy-syita'i was-saif(i).
 

Artinya, "(1) Disebabkan oleh kebiasaan orang-orang Quraisy; (2) (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas (sehingga mendapatkan banyak keuntungan)."
 

Ragam Tafsir Ulama

Al-Khazin (wafat 741) dalam tafsirnya menjelaskan bahwa terkait huruf lam dalam firman Allah Li Iilafi Quraisy terdapat perbedaan pendapat ulama. Ada yang mengatakan bahwa lamnya berhubungan (muta'aliq) dengan surat sebelumnya. Hal ini berdasarkan bahwa dalam surat sebelumnya, surat Al-Fil, Allah mengingatkan penduduk Makkah betapa besarnya nikmat Allah yang diberikan kepada mereka. Allah berfirman: "Fa ja'alahum ka'aṣhfim ma'kūl, Li' iilafi quraisy". Yakni Allah membinasakan ashabul fil supaya eksistensi suku Quraisy tetapa terjaga dan juga aktivitas mereka untuk berdagang di musim dingin dan musim panas. Karenanya Ubai bin Ka'ab dalam mushafnya menjadikan surat Al-Fil dan Al-Quraisy menjadi satu surat. Ia tidak memisahkan antara keduanya dengan basmalah.
 

Adapun pendapat mayoritas Sahabat dan pendapat inilah yang masyhur bahwa surat ini terpisah dengan surat Al-Fil dan tidak ada hubungan di antara kedua surat tersebut. Berdasarkan pendapat ini ulama berbeda pendapat terkait alasan lam pada kata 'Li iilafi'.
 

Pendapat pertama mengatakan bahwa lamnya lam ta'ajub. Adapun maknanya adalah:
 

أي اعجبوا الإيلاف قريش رحلة الشّتاء والصّيف، وتركهم عبادة رب هذا البيت، ثم أمرهم بعبادته
 

Artinya, "Maksudnya takjublah kalian pada kebiasaan orang-orang Quraisy, mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas, dan meninggalkan beribadah kepada Tuhan pemilik Ka'bah. Kemudian Allah memerintahkan mereka untuk menyembah-Nya."
 

Pendapat kedua mengatakan bahwa lamnya berhubungan (berta'alluq) dengan kalimat setelahnya, sehingga maknanya adalah:
 

فليعبدوا رب هذا البيت لإيلافهم رحلة الشتاء والصيف، أي ليجعلوا عبادتهم شكرا لهذه النعمة

 

Artinya, "Maka hendaknya mereka menyembah Tuhan pemilik Kakbah disebabkan oleh kebiasaan orang-orang Quraisy bepergian di musim dingin dan panas. Maksudnya, supaya mereka menjadikan ibadahnya sebagai wujud syukur untuk kenikmatan ini." (Lihat: Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar As-Syaikhi Al-Khozin, Lubabut Ta'wil Fi Ma'ani Tanzil, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 1415 H], juz IV, halaman 475).
 

Syekh Nawawi Banten (wafat 1316 H) dalam tafsirnya, Marah Labid, menjelaskan kedua ayat di atas bahwa kaum Quraisy mempuyai dua perjalanan niaga; ke Yaman saat musim dingin karena di sana lebih hangat, dan ke Syam saat musim panas. Suku Quraisy merupakan orang-orang mulia penduduk Makkah. Mereka melakukan dua perjalanan niaga tersebut. Mereka datang ke negara-negara tersebut dengan membawa apa-apa yang menjadi kebutuhan mereka berupa makanan dan pakaian.
 

Adapun keuntungan mereka saat melalukan perjalanan niaga karena para raja-raja daerah tersebut mengagungkan penduduk Makkah. Mereka menyebutnya dengan: "Mereka tetangga Baitullah, penduduk tanah Haram dan penguasa Ka'bah" , hingga mereka disebut "Ahlullah" (keluarga Allah). Kalau saja tentara Habasyah berhasil menghancurkan Kakbah maka hilanglah keistimewaan, penghormatan dan pengagungan yang disematkan kepada mereka penduduk Makkah, utamanya suku Quraisy. Sehingga mereka hanya seperti halnya penduduk-penduduk daerah pada umumnya yang mendapat perlakuan perampasan dan hal-hal yang membahayakan jiwa dan raga dari kabilah-kabilah Arab yang lain.
 

Ketika Allah membinasahkan Ashabul Fil, harga diri atau nilai penduduk Makkah semakin meningkat dan raja-raja wilayah lain semakin mengagungkan penduduk Makkah. Hal ini semakin meningkatkan kemanfaatan tersebut, serta semakin menambah lokasi-lokasi niaga, sehingga orang fakir penduduk Makkah seperti halnya jutawan penduduk lain. Sampai Islam datang keadaannya masih persis seperti itu. (Lihat: Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsîrul Munîr li Ma’âlimit Tanzîl, [Surabaya, al-Hidayah], juz II, halaman 665-666).
 

Syekh Wahbab (wafat 2015) dalam tafsirnya menambahkan informasi, perjalanan mereka  ke Yaman pada musim dingin untuk belanja minyak wangi dan merica yang datang dari India dan negara teluk. Perjalanan tersebut dilakukan pada musim dingin karena negeri-negeri tersebut bersuhu panas. Sementara perjalanan ke Syam dilakukan pada waktu musim panas untuk membeli biji-bijian tanaman pertanian.
 

Kaum Quraisy di Makkah bermata pencaharian sebagai pedagang. Seandainya tidak ada dua perjalanan dagang ini, niscaya mereka tidak akan betah tinggal di kota Makkah. Seandainya juga mereka tidak mendapatkan rasa aman tinggal di dekat Ka'bah, mereka tidak akan mampu untuk berdagang. (Lihat: Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz XXX, halaman 296).
 

Walhasil, penduduk Makkah atau lebih spesifiknya suku Quraisy adalah suku yang mendapatkan nikmat besar dari Allah yakni nikmat rezeki dan terpenuhinya kebutuhan karena perjalanan mereka ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim panas untuk berdagang berbagai macam makanan dan pakaian. Mereka juga mendapat privilege jaminan keamanan dari gangguan kabilah-kabilah Arab yang lain, dimuliakan dan diagungkan karena statusnya sebagai kabilah penghuni sekitar Kakbah. Hal inilah yang menjadi faktor utama kesuksesan perniagaan mereka. Wallahu a'lam bisshawab.
 

 

Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo