Tafsir

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 139: Motivasi agar Bangkit dari Keterpurukan

NU Online  ·  Selasa, 18 Juni 2024 | 11:30 WIB

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 139: Motivasi agar Bangkit dari Keterpurukan

Ilustrasi sedih. (Foto: NU Online/Freepik)

Manusia adalah makhluk dinamis yang memiliki karakter mudah berubah dalam setiap kondisi. Suasana hati manusia menjadi bagian paling rentan mengalami keadaan tersebut. Salah satu kejadian bersejarah yang menggambarkan suasana hati manusia terdapat pada Surat Ali Imran ayat 139. 

 

Ayat ini secara umum menjelaskan keadaan umat Islam yang mengalami kesedihan akibat kekalahan dalam perang Uhud. Pada akhirnya, Allah memberikan motivasi agar umat Islam segera bangkit dari keterpurukan.

 

Padahal saat awal perang, umat Islam mampu memimpin dengan ketangkasan pasukan perang dan didukung 50 pasukan pemanah yang menguasai daerah perbukitan Uhud. Namun saat melihat pasukan musuh terpukul mundur dan meninggalkan harta rampasan banyak (ghanimah), pasukan muslim merasa sangat senang, termasuk pemanah yang berada di atas bukit Uhud.

 

Sayangnya, kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama. Turunnya sebagian besar pasukan pemanah dari atas bukit untuk mengambil harta ghanimah mengakibatkan pasukan musuh menyerang wilayah strategis itu sekaligus menguasai dan membalikkan keadaan. Awalnya umat Islam merasa gembira atas kemenangan namun berubah menjadi sedih yang berkepanjangan atas kekalahan. 

 

Berikut ini adalah teks, terjemahan dan ragam tafsir ulama atas Surat Ali Imran ayat 139:

 

وَلَا تَهِنُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَنْتُمُ الْاَعْلَوْنَ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

 

wa lâ tahinû wa lâ taḫzanû wa antumul-a‘launa ing kuntum mu'minîn

 

Artinya: “Janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, padahal kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang mukmin.”

 

Tafsir Al-Baghawi

Al-Baghawi dalam kitab tafsirnya, Ma’alimut Tanzil fi Tafsir al-Qur’an menjelaskan bahwa ayat ini merupakan motivasi untuk para sahabat Nabi Muhammad agar senantiasa berjuang dan bersabar atas musibah kekalahan yang mereka alami pada perang Uhud.

 

وَلَا تَهِنُوا أَيْ: لَا تَضْعُفُوا وَلَا تَجْبُنُوا عَنْ جِهَادِ أَعْدَائِكُمْ بِمَا نَالَكُمْ مِنَ الْقَتْلِ وَالْجَرْحِ، وَكَانَ قَدْ قُتِلَ يَوْمَئِذٍ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ خَمْسَةٌ مِنْهُمْ: حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَمُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ، وَقُتِلَ مِنَ الْأَنْصَارِ سَبْعُونَ رَجُلًا

 

Artinya: “Wa lâ tahinû, maksudnya: kalian jangan lemah dan merasa takut oleh kekuatan musuh dengan apa yang mereka peroleh dalam perang (peristiwa Uhud). Setidaknya, Ada lima orang terbunuh dari kalangan Muhajirin dalam perang tersebut, di antaranya: Hamzah bin Abdul Mutthalib, Mush’ab bin Umair. Pasukan yang gugur dari kalangan Anshar ada tujuh puluh orang.” (Imam Al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, [Beirut: Darul Ihya’ At-Turats, 1999] juz 1, halaman 514).

 

Menurut Al-Baghawi, maksud lafaz “وَلَا تَحْزَنُوْا” adalah umat Islam tidak diperkenankan bersedih atas peristiwa yang telah berlalu ataupun yang telah terjadi. Adapun maksud kalimat “وَاَنْتُمُ الْاَعْلَوْنَ” adalah umat Islam akan mendapat pertolongan dan keberuntungan dari serangan musuh-musuh di masa mendatang. Dengan syarat “اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ” yaitu apabila umat Islam benar-benar beriman.

 

Mengutip Al-Kalbi, Al-Baghawi mengungkapkan bahwa ayat ini turun setelah perang Uhud meletus, tepat ketika Nabi Muhammad memerintahkan para sahabat agar tidak merasa lemah ketika berhadapan dengan musuh setelah peristiwa perang Uhud. Maka turun ayat ini sebagai motivasi dan perintah agar menumbuhkan semangat dalam diri kaum muslimin.

 

Dalil yang menunjukkan bahwa hal itu terjadi adalah firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 104, sebagaimana berikut:

 

وَلَا تَهِنُوْا فِى ابْتِغَاۤءِ الْقَوْمِ

 

Artinya: “Janganlah kamu merasa lemah dalam mengejar kaum itu (musuhmu).” (QS An-Nisa ayat 104)

 

Tafsir Marah Labid

Syekh Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid menjelaskan, makna yang terkandung dalam kalimat “وَلَا تَهِنُوا” adalah perintah agar umat Islam tidak merasa lemah untuk berjuang melawan musuh. 

 

Selanjutnya kalimat “وَلَا تَحْزَنُوْا” merupakan perintah agar umat Islam tidak merasa bersedih atas apa yang telah berlalu dan hilang (kelebihan rezeki), berupa harta ghanimah di hari Uhud. Begitu pun dengan kekalahan yang mereka alami.

 

Syekh Nawawi merinci, setidaknya ada tujuh pasukan Islam terbaik yang gugur pada perang Uhud, lima di antaranya dari kalangan Muhajirin, yakni Hamzah bin Abdul Muthallib (paman Rasulullah), Mush’ab bin Umair (pemegang panji Rasulullah), Abdullah bin Jahsy (anak bibi Rasulullah), Syamsuddin bin Utsman dan Sa’ad (budak Utbah bin Robi’ah).

 

Adapun arti dari “اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ” adalah sesungguhnya pada akhirnya umat Islam akan diberikan pertolongan atas musuh-musuh Allah akibat dari perbuatan mereka yang berujung kepada pembantaian dan kerasnya pasukan mereka. Dengan catatan “اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ” (jika kalian orang-orang mukmin). (Syekh Nawawi al-Bantani, Marah Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, 1996] juz 1, halaman 155).

 

Tafsir Al-Maraghi

Ahmad bin Musthafa al-Maraghi merinci makna ayat di atas dalam kitab Tafsir al-Maraghi, Allah memberikan motivasi kepada kaum muslimin untuk tidak merasa lemah ketika berperang melawan orang-orang kafir akibat kekalahan dan kemalangan yang mereka alami dalam perang Uhud. Umat Islam juga tidak boleh terlalu bersedih terhadap apa yang telah hilang pada peristiwa tersebut.

 

Al-Maraghi menambahkan, ayat ini menandakan bahwa kekhawatiran dan kesedihan tidak bisa beriringan dalam diri kaum muslimin, sebab mereka mempunyai derajat yang tinggi di sisi Allah.

 

Selain itu, ayat ini juga memberikan tanda bahwa kaum muslimin dilarang untuk bersedih atas sesuatu yang telah hilang atau apapun yang telah berlalu, sebab hal itu bisa menjadi penyebab hilangnya keteguhan hati.

 

Adapun kandungan makna larangan bersedih pada kalimat “وَلَا تَحْزَنُوْا” adalah supaya umat Islam tidak larut dalam kesedihan sekaligus menjadi respons baik yang bisa menjadi penawar jiwa, yakni menggantikan perasaan sedih dengan amalan yang bermanfaat, meski terasa lumayan berat.

 

Setelah itu, makna dari “اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ”, hal ini sebagai kabar gembira bagi kaum muslimin bahwa setelah kekalahan dalam peristiwa Uhud akan diberikan pertolongan oleh Allah di masa mendatang. (Ahmad bin Musthofa, Tafsir al-Maraghi [Mesir: Musthofa al-Babi, 1946] juz 4, halaman 78-79).

 

Demikian penjelasan tafsir Surat Ali Imran ayat 139, intinya ayat ini menjelaskan tentang peristiwa kesedihan kaum muslimin setelah kekalahan mereka pada perang Uhud. Selanjutnya, motivasi yang tercantum dalam ayat tersebut masih berlaku sampai saat ini, umat Islam jangan pernah merasa lemah dan bersedih terlalu larut. Wallahu a’lam.

 

Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Mahasantri Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta