Tafsir

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 81: Kemuliaan Nabi Muhammad SAW dalam Pandangan Para Nabi Sebelumnya

Jumat, 20 September 2024 | 17:00 WIB

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 81: Kemuliaan Nabi Muhammad SAW dalam Pandangan Para Nabi Sebelumnya

Ilustrasi kaligrafi Muhammad. Sumber: Canva/NU Online

Pada umumnya, kemuliaan manusia dapat dilihat dari tutur kata dan perilakunya. Perilaku yang sopan dan tutur kata yang santun akan selalu menenangkan banyak orang, meskipun secara fisik orang tersebut mungkin tidak dianggap menarik oleh sebagian orang.

 

Sebaliknya, ketika seseorang memiliki penampilan fisik yang menawan, namun sering kali berkata kasar dan berperilaku tidak sopan, maka orang-orang akan menjauh darinya.


Berbeda dengan Nabi Muhammad SAW, yang memiliki perilaku agung dan tutur kata santun, beliau tetap menerima makian dan cercaan ketika mendakwahkan Islam. Namun, beliau selalu menghadapinya dengan tabah dan sabar, tanpa membalas cacian tersebut dengan hal serupa.

 

Inilah yang membuat beliau mulia di mata manusia, bahkan di hadapan Allah SWT. Menariknya, kemuliaan ini telah diungkapkan sebelum beliau dilahirkan ke dunia, dan bahkan menjadi bagian dari perjanjian Allah SWT dengan para nabi sebelumnya.


Lantas, bagaimana memahami kemuliaan tersebut di mata para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW? Berikut penjelasannya:


Ini adalah teks, transliterasi dan terjemah serta kutipan tafsir terhadap Surat Ali Imran ayat 81:
  

وَإِذۡ أَخَذَ ٱللَّهُ مِيثَٰقَ ٱلنَّبِيِّينَ لَمَآ ءَاتَيۡتُكُم مِّن كِتَٰبٖ وَحِكۡمَةٖ ثُمَّ جَآءَكُمۡ رَسُولٞ مُّصَدِّقٞ لِّمَا مَعَكُمۡ لَتُؤۡمِنُنَّ بِهِۦ وَلَتَنصُرُنَّهُۥۚ قَالَ ءَأَقۡرَرۡتُمۡ وَأَخَذۡتُمۡ عَلَىٰ ذَٰلِكُمۡ إِصۡرِيۖ قَالُوٓاْ أَقۡرَرۡنَاۚ قَالَ فَٱشۡهَدُواْ وَأَنَا۠ مَعَكُم مِّنَ ٱلشَّٰهِدِينَ


wa idz akhadzallâhu mîtsâqan-nabiyyîna lamâ âtaitukum ming kitâbiw wa ḫikmatin tsumma jâ'akum rasûlum mushaddiqul limâ ma‘akum latu'minunna bihî wa latanshurunnah, qâla a aqrartum wa akhadztum ‘alâ dzâlikum ishrî, qâlû aqrarnâ, qâla fasy-hadû wa ana ma‘akum minasy-syâhidîn


Artinya, "(Ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, “Manakala Aku memberikan kitab dan hikmah kepadamu, lalu datang kepada kamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada kamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.” Allah berfirman, “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian dengan-Ku atas yang demikian itu?” Mereka menjawab, “Kami mengakui.” Allah berfirman, “Kalau begitu, bersaksilah kamu (para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.


Ayat ini memuat berbagai ketetapan umum yang jelas dan pasti menurut ahli kitab tentang kenabian Muhammad SAW. Namun, dalam kenyataannya, mereka justru mencari banyak alasan untuk mengingkarinya.

 

Oleh karena itu, Allah SWT menetapkan perjanjian dengan para nabi, bahwa ketika datang seorang utusan yang membenarkan apa yang ada pada mereka, para nabi tersebut harus beriman kepadanya dan membantunya.

 

Fakhruddin ar-Razi menambahkan bahwa utusan yang dimaksud bukan hanya Nabi Muhammad SAW, tetapi juga semua nabi dan rasul. Yang istimewa dari kedatangan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT adalah kemandiriannya dalam menahbiskan diri sebagai utusan-Nya. Sebagaimana diungkapkan:


هَذَا إِثْبَاتٌ لِلشَّيْءِ بِنَفْسِهِ لِأَنَّهُ لِكَوْنِهِ رَسُوْلًا بِكَوْنِهِ رَسُوْلًا


Artinya, "Ini adalah penetapan terhadap sesuatu secara mandiri. Karena statusnya sebagai rasul dengan keberadaannya sebagai rasul". (Fakhruddin al-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut: Daar al-Fikr, 1981], jilid VIII, hal. 126).

 

Kemuliaan Nabi Muhammad SAW di mata para nabi setidaknya terungkap dalam beberapa hal berikut:


1. Kemuliaan Rasulullah dalam pandangan Nabi Adam AS

 

Kemuliaan Nabi Muhammad SAW di sisi Allah SWT sebelum kelahirannya di dunia pernah diakui dan bahkan dijadikan wasilah oleh Nabi Adam AS untuk mendapatkan ampunan-Nya.

 

Nabi Adam AS menggunakan nama Muhammad sebagai perantara. Artinya, hanya dengan menyebut nama Muhammad dan diiringi dengan memohon ampunan kepada Allah SWT, Nabi Adam AS diampuni.

 

Tidak mungkin seseorang memiliki kemuliaan di sisi Allah SWT namun dianggap hina oleh para nabi-Nya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dengan mengutip hadits berikut:


عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمُ الْخَطِيْئَةَ قَالَ : يَارَبِّ ! أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لَمَا غَفَرْتَ لِىْ، فَقَالَ اللهُ : يَاآدَمُ ! وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أَخْلُقْهُ ؟ قَالَ : يَارَبِّ ! لِأَنَّكَ لَمَّا خَلَقْتَنِى بِيَدِكَ وَنَفَخْتَ فِىَّ مِنْ رُوْحِكَ رَفَعْتُ رَأْسِى فَرَأَيْتُ عَلَى قِوَائِمِ الْعَرْشِ مَكْتُوْبًا لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ، فَعَلِمْتُ أَنَّكَ لَمْ تُضِفْ إِلَى اسْمِكَ إِلَّا أَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيْكَ، فَقَالَ اللهُ : صَدَقْتَ يَاآدَمُ، إِنَّهُ لَأَحَبُّ الْخَلْقِ إِلىَّ، اُدْعُنِى بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ، وَلَوْ لَا مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ. أَخْرَجَهُ الْحَاكِمُ فِى الْمُسْتَدْرَكِ


Artinya: "Dari Umar bin Al-Khattab RA berkata, 'Rasulullah SAW bersabda: "Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata, 'Wahai Tuhanku! Aku memohon kepada-Mu dengan hak Muhammad, agar Engkau mengampuniku.' Kemudian Allah berfirman: 'Wahai Adam! Bagaimana kamu tahu tentang Muhammad sedangkan Aku belum menciptakannya?'

 

Nabi Adam menjawab: 'Wahai Tuhanku! Ketika Engkau menciptakanku dengan kekuasaan-Mu dan Engkau tiupkan ruh-Mu kepadaku, aku mengangkat kepalaku dan melihat tiang penyangga Arasy bertuliskan 'Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.' Maka aku mengetahui bahwa Engkau tidak akan menyandingkan nama-Mu dengan makhluk lain kecuali makhluk yang paling Engkau cintai.'

 

Kemudian Allah berfirman: 'Kamu benar, wahai Adam. Sesungguhnya dia adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdoalah kepada-Ku dengan haknya, maka Aku benar-benar akan mengampunimu. Seandainya tidak ada Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu.'" (HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrak) (Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Mafahim Yajibu An Tushahhah, [Beirut: Darul Kutub Al-ilmiyah, 2009], Cet. II, hal. 120).


2. Kemuliaan Rasulullah dalam pandangan Nabi Ibrahim AS

 

Kemuliaan Nabi Muhammad SAW sebelum kelahirannya bermula dari munajat Nabi Ibrahim AS, yang menitipkan keturunannya kepada Allah SWT di lembah tandus tanpa tanaman di sekitar Baitullah, sebagaimana diabadikan dalam QS. Ibrahim: 37.

 

Secara khusus, Nabi Ibrahim AS juga memohon kepada Allah SWT agar diutus seorang rasul yang membacakan ayat-ayat-Nya, mengajarkan kitab dan hikmah, serta mensucikan jiwa, sebagaimana terungkap dalam QS. Al-Baqarah: 129.


Setelah sekian lama, Allah SWT mengabulkan permohonan Nabi Ibrahim AS dengan mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai rasul yang lahir dari garis keturunannya. Sebagaimana firman Allah SWT:


وَإِسۡمَٰعِيلَ وَٱلۡيَسَعَ وَيُونُسَ وَلُوطٗاۚ وَكُلّٗا فَضَّلۡنَا عَلَى ٱلۡعَٰلَمِينَ


Artinya, "(Begitu juga kepada) Ismail, Ilyasa’, Yunus, dan Lut. Tiap-tiap mereka Kami lebihkan daripada (umat) seluruh alam (pada masanya)". (QS. Al-An'am: 86)


Fakhruddin ar-Razi berpendapat bahwa tidak ada satu pun nabi yang lahir dari garis keturunan Nabi Ismail AS kecuali Nabi Muhammad SAW. Meskipun hanya satu nabi, kemuliaan dan keistimewaan yang disematkan kepada Nabi Muhammad SAW melebihi para nabi dari Bani Israil.

 

Hal ini karena Nabi Muhammad SAW diutus untuk menghilangkan kesyirikan di kalangan bangsa Arab, sedangkan para nabi Bani Israil, selain menjadi nabi, juga berperan sebagai raja. (Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut: Darul Fikr, 1981], jilid XIII, hal. 67).


3. Kemuliaan Rasulullah dalam pandangan Nabi Isa AS

 

Seperti para nabi sebelumnya, Nabi Isa AS juga mengabarkan bahwa akan ada utusan setelahnya yang bernama Ahmad. Seperti dalam ayat berikut : 


وَإِذۡ قَالَ عِيسَى ٱبۡنُ مَرۡيَمَ يَٰبَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ إِنِّي رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيۡكُم مُّصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيَّ مِنَ ٱلتَّوۡرَىٰةِ وَمُبَشِّرَۢا بِرَسُولٖ يَأۡتِي مِنۢ بَعۡدِي ٱسۡمُهُۥٓ أَحۡمَدُۖ فَلَمَّا جَآءَهُم بِٱلۡبَيِّنَٰتِ قَالُواْ هَٰذَا سِحۡرٞ مُّبِينٞ 


Artinya, "Dan (ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)". Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata". (QS. As-Shaff: 6)


Dalam menjelaskan ayat ini, Imam As-Suyuthi meriwayatkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ad-Darimi, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasa'i dari Jabir bin Muth’im, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnya aku memiliki beberapa nama: Aku Muhammad, aku Ahmad, aku Al-Hasyir (yang mengumpulkan manusia di telapak kakiku), aku Al-Mahi (yang menjadi sebab terhapusnya kekufuran), dan aku Al-‘Aqib (yang tidak ada nabi setelahku).”


Tugas menghapus kesyirikan juga menjadi salah satu penentu kemuliaan Nabi Muhammad SAW di mata para nabi sebelumnya. Hingga suatu saat, sahabat Abu Musa Al-Asy’ari dan Ja’far bin Abi Thalib diutus ke Najasyi.

 

Sesampainya di sana, sang raja memerintahkan mereka bersujud, namun mereka menolak perintah itu. Kemudian, mereka menegaskan bahwa Allah SWT telah mengutus seorang rasul seperti yang telah diberitakan oleh Isa bin Maryam, yaitu rasul yang memerintahkan sujud kepada Allah SWT dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. (Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Ad-Durrul Mantsur fit Tafsir Al-Ma’tsur, [Beirut: Darul Fikr, 2011], jilid XIV, hal. 448)


Sebagai perumpamaan, kedatangan Prof. Dr. Ahmad Thayyib, Grand Syaikh Al-Azhar Mesir, beberapa waktu lalu yang telah dipublikasikan melalui berbagai media, disambut hangat oleh berbagai kalangan, baik dari kalangan alumni Al-Azhar maupun ormas keagamaan.

 

Keterangan di atas menunjukkan betapa mulia kedudukannya di mata mereka. Lalu, bagaimana dengan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi akhir zaman dan penyempurna ajaran semua nabi sebelumnya? Tentunya, hal ini dipandang jauh lebih mulia.


Dari berbagai penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa berita yang berulang-ulang menunjukkan betapa penting, istimewa, dan mulianya hal tersebut, baik menurut yang memberitakan maupun media yang menyampaikan.

 

Terlebih lagi, ini adalah berita dari Allah SWT tentang Nabi Muhammad SAW sebagai nabi akhir zaman yang telah diberitakan melalui nabi-nabi sebelumnya. Maka, kemuliaannya pasti sangat istimewa. Wallahu A’lam.

 

Ustadz Muhammad Tantowi, Koordinator Ma'had MTsN 1 Jember