Tafsir

Tafsir Surat Yunus ayat 12: Karakter Manusia saat Tertimpa Kesusahan

Sab, 1 Juni 2024 | 11:15 WIB

Tafsir Surat Yunus ayat 12: Karakter Manusia saat Tertimpa Kesusahan

Seseorang yang sedang tettimpa kesusahan. (Foto: NU Online/Freepik)

Karakter asli manusia dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, apabila ditimpa suatu kesusahan, Kedua, jika terbebas dari kesusahan tersebut. Fenomena semacam ini dapat ditemukan dalam aktivitas sehari-hari, bagaimana interaksi mereka jika susah dan interaksi apabila terbebas dari kesusahan.


Salah satu ayat Al-Qur’an yang membuktikan bahwa manusia memiliki karakter tersebut adalah Qur’an Surat Yunus ayat 12. Ayat ini secara umum memberikan gambaran sifat manusia ketika diberikan cobaan dengan masalah yang cukup berat. 


Dalam ayat tersebut, Allah swt memperlihatkan sifat manusia saat ia memiliki keinginan tertentu, seperti terbebas dari kesusahan. Memanjatkan banyak doa setiap waktu, berharap pertolongan dari Tuhannya. Namun apabila permintaannya dikabulkan dan dikeluarkan dari segala masalahnya, ia ingkar kemudian lupa atas apa yang telah dianugerahkan serta kembali kepada kemaksiatan.


Berikut adalah teks, terjemahan dan kutipan beberapa tafsir ulama atas Surat Yunus ayat 12:


وَاِذَا مَسَّ الْاِنْسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنْۢبِهٖٓ اَوْ قَاعِدًا اَوْ قَاۤىِٕمًا ۚفَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهٗ مَرَّ كَاَنْ لَّمْ يَدْعُنَآ اِلٰى ضُرٍّ مَّسَّهٗۗ كَذٰلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِيْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ


Wa idzâ massal-insânadl-dlurru da‘ânâ lijambihî au qâ‘idan au qâ'imâ, fa lammâ kasyafnâ ‘an-hu dlurrahû marra ka'al lam yad‘unâ ilâ dlurrim massah, kadzâlika zuyyina lil-musrifîna mâ kânû ya‘malûn


Artinya: “Apabila manusia ditimpa kesusahan, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri. Namun, setelah Kami hilangkan kesusahan itu darinya, dia kembali (ke jalan yang sesat) seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) kesusahan yang telah menimpanya. Demikianlah, dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas itu apa yang selalu mereka kerjakan.


Tafsir Marah Labid

Dalam menafsirkan ayat ini, Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa manusia memiliki karakter kurang sabar ketika diberikan cobaan, sedikit bersyukur apabila dianugerahkan banyak kenikmatan. 


Manusia jika ditimpa kesusahan, ia akan menghadap kepada Tuhannya dengan penuh kesungguhan, berdoa dalam kondisi terlentang, duduk, atau berdiri, semuanya dilakukan dengan serius, semata-mata agar cobaannya segera diangkat dan digantikan dengan ketenangan hidup.


Ketika semua masalahnya dihilangkan, saat itu juga, manusia tidak bersyukur, tidak mau mengingat kembali apa yang telah terjadi dan tidak mau mengetahui kadar kenikmatan yang diberikan kepadanya setelah itu.


Usai menjelaskan maksud dari ayat tersebut, Syekh Nawawi al-Bantani memberikan nasihat, bahwa wajib hukumnya, bagi siapa saja yang berakal untuk bersabar apabila ditimpa kesusahan, bersyukur ketika diberikan kesenangan dengan segala kenikmatan, sering berdoa dengan penuh pengharapan sekalipun dalam kondisi yang tenang dan diliputi kesejahteraan. (Nawawi al-Bantani, Marah Labid li Kasyfi ma’na al-Qur’an al-Majid, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, 1996] juz 1, halaman 481]


Tafsir Ibnu Katsir

Berikutnya, Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, menjelaskan makna ayat tersebut. Bahwasanya Allah swt mengabarkan informasi tentang manusia dengan karakteristiknya yang mudah berkeluh kesah dan resah ketika ditimpa kesusahan. Sebagaimana dalam ayat lain juga dijelaskan, “Apabila (manusia) ditimpa malapetaka, maka ia akan banyak berdoa” (QS. Fusshilat: 51)


Apabila manusia ditimpa dengan kesusahan yang amat besar, mereka akan banyak berdoa dalam semua keadaan. Ia akan memohon pertolongan kepada Allah swt ketika berbaring, duduk, atau berdiri dan bahkan segala aktivitas, agar masalahnya segera dihilangkan. 


Namun, setelah Allah swt melapangkan kesusahan tersebut, mereka berpaling, menjauh, kemudian menghilang, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Dalam ayat itu Allah mencela mereka dengan sindiran, “Demikianlah, dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas itu apa yang selalu mereka kerjakan.”


Akan tetapi, karakter semacam ini dikecualikan terhadap orang-orang yang memperoleh anugerah hidayah dan taufiq dari Tuhannya. Dalam surat Hud ayat 11, Allah menjelaskan, “Kecuali orang-orang yang bersabar dan mengerjakan amal shaleh.” 


Begitu juga dalam hadits diterangkan, “Betapa menakjubkannya urusan orang yang beriman. Allah tidak menetapkan takdir kecuali berupa hal yang baik bagi mereka. Apabila ditimpa kesusahan, maka sabar adalah respon mereka yang terbaik. Jika tertimpa kesenangan, maka mereka bersyukur. Tidaklah hal tersebut terjadi kecuali pada orang yang beriman.” (HR. Muslim) (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiah, 1998] juz 4, halaman 220-221)


Tafsir Baghawi

Kemudian, Abu Muhmmad al-Husaini al-Baghawi dalam menafsirkan ayat tersebut, ia menjelaskan dalam kitab Ma’alim at-Tanzil fii Tafsir al-Qur’an atau yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Baghawi, bahwa apabila manusia tertimpa suatu musibah berupa kesusahan dan kesukaran, maka ia akan memohon pertolongan kepada Allah swt dalam semua keadaan, baik terlentang, duduk ataupun ketika berdiri.


Akan tetapi apabila segala cobaan manusia tersebut diangkat oleh Allah swt ia akan kembali melanjutkan kesesatan yang telah dilakukan sebelumnya, kemudian melupakan segala bentuk pertolonganNya. Seakan-akan tidak terjadi apapun dan ia tidak pernah sama sekali memohon bantuan.


Al-Baghawi juga memaparkan pendapat Ibnu Juraih tentang maksud dari potongan ayat di atas, yang berarti, “Demikianlah, dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas itu apa yang selalu mereka kerjakan.” Bahwasanya, karakteristik manusia yang diterangkan pada ayat tersebut adalah mereka akan berdoa memohon pertolongan ketika diberikan cobaan dan lupa cara bersyukur ketika sudah diberikan kelapangan. (Abu Muhammad al-Husaini al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, [Beirut: Darul Ihya’ at-Turots al-‘Arobi, 1999] juz 2, halaman 413)


Tafsir Qurtubi

Al-Qurtubi menjelaskan bahwa makna manusia dalam ayat tersebut adalah orang kafir. Dikatakan pula, bahwa manusia di situ merupakan Abu Hudzaifah bin al-Mughirah yang masih dalam keadaan musyrik. Pada saat ia ditimpa kesusahan, dia berdoa kepada Allah swt dalam keadaan terlentang, duduk atau berdiri bahkan setiap waktu.


Sebagian ulama mengatakan, bahwa urutan keadaan ketika manusia memohon pertolongan adalah dimulai dari terlentang, sebab cobaan itu amat berat sehingga mengalahkan ketertarikan terhadap segala urusan lain. Saat itu, manusia berdoa sebanyak mungkin dan berusaha sekuat tenaga, kemudian ia duduk dan berdiri.


Setelah doanya dikabulkan, manusia kembali kepada kekufurannya, tidak pernah sama sekali bersyukur dan mengambil pelajaran dari apa yang telah menimpanya. Al-Qurtubi berpendapat, bahwa ayat ini menjelaskan karakteristik manusia secara umum, baik kafir dan lainnya. (Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, [Kairo: Darul Kutub al-Mishriah, 1964] juz 8, halaman 317)


Demikianlah penjelasan tentang karakteristik manusia ketika sedang ditimpa kesusahan menurut Al-Qur’an Surat Yunus ayat 12. Bahwasanya manusia akan memohon pertolongan supaya ujiannya berupa kesukaran tersebut agar segera diangkat. Ia memohon dalam segala keadaan. Akan tetapi, apabila doanya dikabulkan, dan diberikan kelapangan, ia kembali berbuat maksiat lagi. Wallahu a’lam


Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantern Ishlahul Muslimin dan Mahasantri Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta