Tasawuf/Akhlak

Ajaran Islam untuk Saling Mengenal

Sabtu, 18 Desember 2021 | 16:15 WIB

Ajaran Islam untuk Saling Mengenal

Ilustrasi keragaman bangsa Indonesia. (Foto: NU Online)

Kehadiran Islam sejak awal menunjukkan sikap-sikap yang merangkul. Rasulullah mengawali dakwahnya di Makkah secara pelan-pelan: mulai dari keluarga, kawan-kawan terdekat, orang-orang tertindas seperti budak, dan seterusnya. Yang penting dicatat, tahapan demi tahapan dilalui tanpa paksaan, apalagi kekerasan. Bahkan, beliau sendiri yang justru kerap mendapatkan perlakuan kasar hingga percobaan pembunuhan dari para penentangnya, terkecuali dua pamannya, Abu Jahal dan Abu Lahab. 


Sejak belia Nabi mendapat julukan al-amin karena karakternya yang jujur. Rasulullah juga dikenal sebagai pribadi yang ramah kepada siapa pun, gemar menolong, dan pembela yang lemah. Kepribadian inilah yang menjadi modal dasar beliau mengatasi beragam tantangan tersebut hingga sukses mensyiarkan Islam di Tanah Arab yang kemudian terus meluas ke seluruh penjuru dunia.


Meskipun diakui adanya perbedaan, tidak bisa dipungkiri adanya titik-titik temu yang menghubungkan budaya Islam secara universal. Salah satu titik temu itu berupa komitmen masing-masing pribadinya.


Kewajiban menjalankan setiap usaha untuk menciptakan masyarakat yang sebaik-baiknya di muka bumi ini. Kewajiban itu dinyatakan dalarn Firman Allah: "Hendaknya di antara kamu ada umat yang melakukan dakwah ila al-khayr, amar ma'ruf dan nahy munkar, dan mereka itulah orang-orang yang bahagia." (QS. Ali ‘Imran [3]:104)


Maksud al-khayr dalam ayat tersebut adalah kebaikan universal; suatu nilai yang menjadi titik temu semua agama yang benar, yaitu agama Allah yang disampaikan kepada umat manusia lewat wahyu Ilahi.


Pemahaman keberagaman ini perlu mendapat perhatian semua pihak karena upaya membina kerukunan umat beragama seringkali terkendala oleh adanya kenyataan bahwa sosialisasi ajaran keagamaan di tingkat akar rumput lebih banyak dikuasai oleh juru dakwah yang kurang peka terhadap kerukunan umat beragama. Semangat berdakwah yang tinggi dari para pegiat dakwah ini seringkali dinodai dengan cara-cara menjelek-jelekan milik (agama) orang lain.


Membangun harmonisasi beragama memang hal yang mesti dilakukan oleh umat beragama dalam menyatukan serta menanamkan rasa persaudaraan juga rasa kekeluargaan walau itu berbeda keyakinan. Keragaman suku, ras, agama di dunia khususnya di Indonesia memang bukan hal yang baru kita ketahui untuk itu perlu kiranya jika kerukunan umat beragama di Indonesia khususnya ditanamkan untuk saling bahu membahu satu sama lain dalam pembangunan Indonesia yang tercinta ini.


Namun harmonisasi bukanlah ranah untuk menyatukan kepercayaan umat beragama melainkan hanya untuk menanam rasa welas asih antar sesama. Dengan pengakuan dan pelaksanaan inilah, Islam akan senantiasa menjadi rahmat bagi semua (rahmatan lil 'alamin).


Al-Qur’an menyatakan, diciptakan-Nya manusia berbeda suku bangsa untuk "saling mengenal" (lita’arafu) (QS Al-Hujurat: 13). Sebab, keragaman itu merupakan sarana untuk kemajuan peradaban. Kalau kita hanya lahir di suku kita saja, tidak pernah mengenal budaya orang lain, tidak pernah bergaul dengan berbagai macam anak bangsa, dan hanya tahunya orang di sekitar kita saja, maka sikap dan tindak-tanduk kita seperti katak di dalam tempurung. 


Seseorang tidak bisa memilih lahir dari rahim ibu yang beragama apa, atau keturunan siapa atau tinggal di mana. Keragaman tidak dimaksudkan untuk saling meneror, memaksa atau melukai. Al-Qur'an mengenalkan konsep yang luar biasa: keragaman itu untuk kita saling mengenal satu sama lain.

 

Dengan saling mengenal perbedaan kita bisa belajar membangun peradaban. Dengan saling tahu perbedaan di antara satu dengan yang lain, maka orang akan lebih terbuka dan menghargai; satu sama lain mendapat kesempatan belajar. Kesalahpahaman sering terjadi karena belum saling mengenal keragaman. 


Al-Qur'an menggunakan bentuk tafa'ala dalam redaksi lita'arafuu yang bermakna saling mengenal. Fungsinya lil musyaarakati baina itsnaini fa aktsara.


Tidak cukup interaksi seseorang hanya untuk mengenal yang lain, mereka pun harus juga mengenal orang lain. Interaksi kedua belah pihak akan melahirkan tidak hanya simpati tapi juga empati. Kalau seseorang meminta orang lain memahami dirinya, maka pihak lain pun meminta hal yang sama. Langkah awalnya persis seperti pesan Al-Qur'an: saling mengenal. (Fathoni)