Ilmu Tauhid

Ragam Pendapat Ulama Tentang Derivasi Lafal Allah

Kam, 2 Februari 2023 | 10:00 WIB

Ragam Pendapat Ulama Tentang Derivasi Lafal Allah

Asma Allah. (Ilustrasi: NU Online)

Akar kata memang selalu menuai silang pendapat di kalangan para pakar semantik. Jangankan kata demi kata dalam Bahasa Indonesia, bahasa yang ramai diucapkan dunia pun juga menyimpan kecamuk silang pendapat yang tak terhitung banyaknya.


Bahkan, lafal Allah saja dalam Bahasa Arab, berhasil menduduki “tranding satu” dalam “perang dingin” pena para ulama. Mereka berdebat luar biasa tentang apakah lafal Allah itu derivatif atau tidak. Sampai-sampai, Ibnul Qayyim al-Jauziyah melabelinya dengan istilah a’zhamal ikhtilaf (silang pendapat terbesar).


Namun, karena temanya bukan termasuk kajian dasar, maka silang pendapat ini akhirnya tenggelam dari perbincangan kebanyakan muslim, terutama di Indonesia.


Faktor lain adalah, karena kajian atas tema ini tidak bersinggungan langsung secara erat-khususnya di mata umum-dengan akidah yang telah melekat di hati mereka. Dengan kata lain, tidak penting apakah lafal Allah derivatif atau tidak, yang penting Allah tetap Tuhan.


Tetapi, bukan berarti juga ini harus tenggelam dari perbincangan. Mengingat, hal-hal semacam ini perlu menghiasi warna intelektual umat. Karena pada dasarnya, pengetahuan walau sekecil apapun, selalu berhasil menambah kesadaran dan makrifat seseorang terhadap Tuhannya.


Derivasi Lafal Allah

Terkait derivasi lafal Allah-apakah lafal Allah lahir dari lafal yang lain atau tidak-para ulama dari berbagai abad menuai silang paham yang besar.


Secara umum terbagi dua; (1) golongan yang meyakininya bukan termasuk lafal derivatif (ghairul musytaqq), alias tidak diambil dari lafal yang lain. Pendapat ini, dipelopori oleh mayoritas ulama mutakallimin, seperti imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, imam Khalil, imam Sibawaih, al-Mubarrad, dan sekian pakar sastra lainnya, beserta para pengikut mereka semua. 


Dan, (2) golongan yang meyakini sebaliknya, bahwa lafal Allah adalah lafal derivatif (al-musytaqq), atau lahir dari lafal yang lain. Pendapat ini digawangi oleh mayoritas ulama Muktazilah dan didukung oleh banyak para pakar sastra.


Dalam kajian ini, penulis bermaksud mengajak pembaca sekalian berkeliling lebih jauh, menyusuri argumentasi-argumentasi dari masing-masing golongan di atas. Keterangan ini telah ditulis dalam Kitab Syarh Asma’illah al-Husna ([Beirut, Dar al-Ma’rifah], halaman 161) karya Abu Sa’id Abdullah bin Umar as-Syirazi al-Baidhawi (w. 685 H).


Golongan Mutakallimin

Mayoritas mutakallimin termasuk yang sangat keras menyuarakan paham bahwa lafal Allah bukan termasuk lafal derivatif yang lahir dari lafal lain. Adalah imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H), salah satu yang mengeluarkan kritik tajam terhadap kelompok yang mengatakan derivatif.


Imam Al-Ghazali sampai mengatakan, (Wa kulluma dzukira fi isytiqaqihi wa ta’rifihi ta’assuf(un) wa takalluf(un)). Upaya apapun yang disampaikan untuk menguatkan Derivasi lafal Allah, adalah bentuk kekacauan berpikir dan berlebih-lebihan. (Imam al-Ghazali, al-Maqshidul Atsna fi Syarhi Ma’ani Asmail Husna, [Beirut, Dar Ibni Hazm, cetakan pertama: 1424 H/2003 M], halaman 61).


Hal ini berawal dari beberapa argumentasi kuat yang menjadi pijakan ulama mutakallimin. Argumentasi ini secara rinci ditulis oleh imam Abu Sa’id as-Syirazi al-Baidhawi (w. 685 H) dalam Syarh Asma’illah al-Husna (halaman 161-162). Berikut di antaranya:


Pertama, lafal derivatif adalah lafal dengan cakupan makna yang universal. Karena statusnya yang memiliki akar kata, maka maknanya pun tidak hanya tertentu pada satu zat melainkan dimiliki juga oleh zat-zat lain yang menyimpan substansi yang sama. Seperti lafal ar-rahim (sang pengasih). Maka, siapa pun yang dalam dirinya tersimpan nilai kasih, tentu berhak menyandang nama ar-rahim itu.


Oleh karenanya, jika lafal Allah termasuk derivatif, sudah barang pasti siapa pun boleh menggunakannya, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Akibatnya, kalimat tauhid (la ilaha illallah) tidak lagi esa bagi Allah. Lantaran, lafal Allah yang dapat juga disandang oleh makhluk-Nya.


Artinya, kesimpulan ini bagi mayoritas mutakallimin sangat tidak benar. Sebab, seorang hamba boleh saja menggunakan salah satu dari nama-nama Allah secara bebas. Tetapi, tidak untuk lafal Allah itu sendiri. Inilah alasan al-Ghazali menyebutnya dengan istilah akhasshul asma’ (nama paling eksklusif).


Kedua, lafal derivatif sejatinya adalah lafal yang mewakili suatu sifat. Namun dalam perjalanannya, lafal tersebut akhirnya digunakan sebagai nama. Artinya, lafal darivatif bukan nama murni (ismul ‘alam). Jadi, jika lafal Allah termasuk derivatif, sudah barang pasti bukan nama murni. Tetapi lafal yang mewakili sifat. Padahal tidak demikian. 


Ketiga, berawal dari ketetapan bahwa lafal derivatif adalah sifat-berdasarkan kaidahnya-ia pasti bersanding dengan nama satu zat. Contohnya, Allah ar-Rahman (Allah zat Maha Pengasih). Lafal Allah adalah nama murni (ismul ‘alam), sedang ar-Rahman adalah sifat. Dan, ini benar, karena keberadaan sifat yang bersandingan dengan nama murni. Tetapi jika lafal Allah itu derivatif-yang konsekuensinya berstatus sebagai sifat-maka pasti akan melenceng dari kaidah di atas.


Teruntuk argumentasi keempat dan kelima yang ditulis al-Baidhawi, secara substansi sudah tercakup dalam tiga argumentasi di atas, sehingga penulis merasa tidak perlu memperpanjang tulisan di sini.


Golongan Mu’tazilah

Mayoritas golongan Mu’tazilah yang dipimpin oleh seorang ulama besar bernama Washil bin Atha’ (80-131 H)-murid imam Hasan al-Bashri (21-110 H) yang “kabur” meninggalkan mazhab gurunya dan akhirnya mendirikan mazhab mu’tazilah-juga memiliki argumentasi yang tidak kalah kuat dari golongan mutakallimin. Sampai hari ini, mereka tetap kukuh mempertahankan pendapat bahwa lafal Allah termasuk lafal derivatif. Di antara argumentasinya:


Pertama, semua nama-nama Allah itu indah, termasuk lafal Allah itu sendiri. Karena yang menyandang nama tersebut adalah zat yang Maha Indah. Dan, sebuah keindahan, tentu tidak lepas dari sifat-sifat yang indah. Maka, semua nama-nama Allah pasti menunjukkan keberadaan sifat-sifat-Nya, tanpa terkecuali. Dari itu, tak bisa dipungkiri bahwa lafal Allah adalah lafal derivatif.


Kedua, lafal Allah bukan lah nama murni (ismul ‘alam). Ia adalah nama yang menunjukkan keberadaan sebuah sifat. Sebab, jika ia adalah nama murni, jelas tidak bisa lepas dari kaidah Ismul ‘alam innama yuhtaju ilaihi fi as-syai’i al-ladzi bil hissi wa yutashawwaru fil wahmi (Nama murni itu selalu membutuhkan fisik untuk diakui eksistensinya dan dapat diilustrasikan dalam angan). Sedangkan Allah subhanahu wa ta’ala suci dari segala bentuk fisik dan tentu mustahil diilustrasikan.


Membaca argumentasi dari dua golongan di atas, rasanya umat akan semakin bingung mana di antara keduanya yang benar dan layak diikuti. Tetapi, kegelisahan ini barangkali dapat terobati oleh statemen Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam karyanya Syarh Asma’illah al-Husna:


أنّ اسم الله غير مشتقّ لأنّ الإشتقاق يستلزم مادة يشتقّ منها واسمه تعالى قديم  والقديم لا مادة له فيستحيل الإشتقاق


Artinya, “Lafal Allah bukan lafal derivatif, karena Derivasi berkonsekuensi menghadirkan sebuah kata dasar. Dan, nama Allah itu bersifat kadim, sehingga yang kadim mustahil lahir dari yang baru.” (Ibnul Qayyim, Syarh Asmaillah al-Husna, [Dar an-Nafais, cetakan pertama: 1428 H/2008 M], halaman 31).


Singkat kalam, berdasarkan yang disampaikan Ibnul Qayyim ini tentang ketetapan bahwa lafal Allah bukan lafal derivatif merupakan kesimpulan yang bijaksana, rasional dan tentu tidak menabrak dalil-dalil universal (al-adillah al-kulliyah) dan partikular (al-adillah al-juziyah). Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni Ma’had Aly Situbondo dan founder Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok, NTB.