Tasawuf/Akhlak

Dzikir Menyebut Nama Allah Saja Bukan Termasuk Dzikir?

Sel, 6 Februari 2024 | 17:00 WIB

Dzikir Menyebut Nama Allah Saja Bukan Termasuk Dzikir?

Ilustrasi: Allah (NU Online).

Dalam ajaran Islam, dzikir adalah salah satu ibadah yang sangat dianjurkan untuk menghidupkan hati. Bentuk dari dzikir bisa bermacam-macam, meliputi tahlil, tahmid, takbir, ataupun tasbih. Membaca Al-Qur'an dan bershalawat kepada Nabi saw juga bagian dari dzikir.

 

Termasuk dari sekian banyak jenis dzikir adalah menyebut nama Allah secara tunggal tanpa diikuti kalimat lain. Dzikir ini diucapkan dengan mengulang-ulang kata “Allah, Allah, Allah”.  Di dalam kajian tasawuf, bentuk dzikir tersebut dikenal dengan berdzikir dengan istilah ismul mufrad.

 

Dasar pengamalan dzikir ismul mufrad tersebut dapat ditemukan baik di dalam Al-Qur'an maupun hadis. Dalam Al-Quran surat Al-Muzammil, ayat 8 disebutkan:

 

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ اِلَيْهِ تَبْتِيْلًا

 

Artinya, “Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepadaNya dengan sepenuh hati.”

 

Adapun di dalam hadis, Nabi Muhammad saw mengisyaratkan bahwa berdzikir dengan ismul mufrad merupakan sesuatu yang terpuji di akhir zaman dan hilangnya hal tersebut adalah tanda-tanda dekatnya kiamat:

 

لا تقومُ السَّاعةُ حتَّى لا يُقالَ في الأرضِ اللهُ اللهُ

 

Artinya, “Tidak akan bangkit hari kiamat sampai di bumi tak lagi terucap Allah, Allah.” (HR Muslim).

 

Namun, tampaknya tidak semua kelompok menerima ismul mufrad sebagai bentuk dzikir yang sah. Ketidaksepakatan itu dapat ditelusuri secara mudah di video-video yang beredar di media sosial.

 

Dalam sebuah video misalnya, seorang ustadz secara terang-terangan menyatakan bahwa menyebut kata Allah saja tidak bisa dianggap sebagai dzikir. Ia berkata, “Awas kalimat (kata) Allah bukan dzikir. Tidaklah seorang dapat pahala dengan menyebut Allah, awas.”

 

Sang ustadz beralasan bahwa nama Allah baru bisa dianggap dzikir apabila disertai dengan kalimat lainnya, seperti subhanallah, astaghfirullah, atau laa ilaaha illallah.

 

Alasan semacam ini dapat dilacak sumbernya dari perkataan Ibnu Taimiyyah yang menyatakan bahwa dzikir yang dianjurkan oleh syariat adalah sebuah kalimat yang sempurna, seperti kalimat tahlil, takbir, dan sejenisnya. (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ul Fatawa, [Madinah: Majma’ul Malik Fahd, 2004], juz x, halaman 556).

 

Penolakan yang hampir senada juga disampaikan oleh ustadz lain. Dalam sebuah video, ia mengatakan bahwa nama Allah itu tidak mengandung pujian. Ia berargumen, “Karena kata Allah saja itu tidak mengandung pujian, tidak mengandung cela. Cuma nyebut nama saja.”

 

Namun demikian, penolakan-penolakan di atas sebetulnya berakar pada dua asumsi yang keliru. Pertama, mereka berasumsi bahwa sebuah nama bisa terlepas dari maknanya. Kedua, mereka menganggap bahwa penyebutan nama Allah itu tidak mempunyai unsur pengagungan (takzim).

 

Kekeliruan asumsi pertama bisa dibuktikan dengan logika sederhana bahwa sebuah nama meniscayakan sebuah makna yang melekat di dalamnya. 

 

Seseorang yang menyebutkan nama sesuatu, apalagi berulang kali, tak ayal akan menghadirkan dzat yang memiliki nama tersebut. Misalnya, seseorang yang menyebutkan nama “apel”, sudah pasti tergambar bentuk atau karakter apel di dalam benaknya.

 

Begitu juga seseorang yang berdzikir dengan nama Allah berulangkali akan 'menghadirkan' Allah ataupun salah satu sifat-Nya di dalam hati. Sementara memikirkan makna nama atau sifat Allah 'azza wa jalla adalah sesuatu yang disyariatkan. Dalam hal ini Syekh Abdul Fattah Al-Yafi’i menuliskan:

 

فَإِنَّ التَّفَكُّرَ فِي مَعَانِي أَسْمَاءِ اللهِ تعالى وَصِفَاتِهِ مَشْرُوعٌ, وَالمُكَرِّرُ لِاسْمِ الجَلَالَةِ (الله) إِنَّمَا هُوَ يَتَفَكَّرُ فِي مَعَانِي أَسْمَاءِ اللهِ تعالى, فَكُلَّمَا قَالَ : (الله) فَإِنَّهُ يَتَذَكَّرُ مَعْنَى اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ الله تعالى أَو صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ

 

Artinya, “Sesungguhnya berpikir mengenai makna nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah sesuatu yang disyariatkan. Sementara orang yang mengulang-ngulang nama yang agung (Allah), tidak lain tengah memikirkan makna nama-nama Allah. Maka setiap kali ia mengucap (Allah), ia sebenarnya sedang mengingat satu nama dari nama-nama Allah atau satu sifat dari sifat-sifatNya.” (Abdul Fattah Al-Yafi’i, Ad-Dzikru Bismil Mufrad Bainal Mujizin wal Mani’in, [Sana’a, Markaz Kholidil Walid: 2016], halaman 44).

 

Adapun pendapat mengenai penyebutan nama Allah yang tidak termasuk pengagungan tanpa kalimat sempurna adalah asumsi yang menyalahi pemahaman para ulama. Salah satu dari ulama yang diselisihi adalah Imam Abu Hanifah sebagaimana dipaparkan Imam Al-Kasani:

 

وَلِأَبِي حَنِيفَةَ: اَنَّ النَّصَّ مَعْلُولٌ بِمَعْنَى التَّعْظِيمِ وَأَنَّهُ يَحْصُلُ بِالْاِسْمِ المُجَرَّد

 

Artinya, “Menurut Abu Hanifah: sesungguhnya teks (perintah bertakbir pada Allah) tersebut dimaksudkan bermakna takzim, dan sesungguhnya makna takzim itu sudah tercapai dengan nama (Allah) belaka” (Imam Al-Kasani, Badai’us Shanai’, [Beirut, Darul Kutubil Ilmiyyah: 2003], juz I, halaman 594).

 

Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pendapat yang menolak keabsahan dzikir dengan ismul mufrad merupakan pendapat yang berdasar pada asumsi yang kurang jeli. Menyebut nama Allah secara tunggal tanpa disambung dengan kalimat lain termasuk ibadah dzikir yang disyariatkan. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Zainun Hisyam, Pengajar di Pondok Pesantren Attaujieh Al-Islamy Banyumas