Tasawuf/Akhlak

Kiat Dakwah Ramah Tanpa Mencela

Jum, 5 November 2021 | 16:35 WIB

Kiat Dakwah Ramah Tanpa Mencela

Ilustrasi dakwah. (Foto: NU Online)

Posisi dakwah dalam peyiaran ajaran Islam sangat sentral dan strategis. Berdakwah berarti mengkomunikasikan ajaran Islam kepada masyarakat, dimana dai menyampaikan pesan ajaran Islammelalui lambang-lambang kepada mad’u, dan mad’u menerimapesan yang disampaikan, mengolahnya dan kemudian meresponnya.


Dalam proses ini, terjadi pengoperan pesan dari da’i kepada mad’u dan mad’u menginterpretasikan pesan tersebut. Dari proses tersebut, diharapkan dapat memberikan dampak terhadap perubahankepercayaan, sikap dan tingkah-laku mad’u ke arah yang lebih baik, lebih Islami.


Islam mengajarkan umatnya agar bersikap lemah lembut dalam berdakwah atau mengajak kebaikan. Rasulullah SAW dikenal dengan kelemahlembutannya dalam mengemban risalah Islam. Karena sikap lemah lembut beliau itu pula Islam memiliki daya tarik sangat kuat. 


Kelemahlembutan Rasul merupakan bagian dari rahmat Allah yang tak terbatas. Kelemahlembutan adalah sifat yang ditanamkan Tuhan kedalam jiwanya terkait dengan fungsinya sebagai dai. Sifat ini hendaknya mewarnai kehidupan para dai sebagai pelanjut risalah dakwah.


Bersikap lemah lembut juga merupakan bagian dari kasih sayang. Salah satu faktor penunjang keberhasilan sebuah dakwah adalah sang dai memiliki sifat lemah lembut, serta tidak menunjukkan watak yang keras lagi kasar. Sifat inilah yang senantiasa dipraktikkan oleh Rasulullah yang seandainya beliau bersikap kasar dalam berdakwah, tentulah umat manusia yang beliau dakwahi justru akan menjauhkan diri dari beliau.


Kalau kita melihat sejarah dakwah Rasulullah, beliau tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar, apalagi kekerasan dalam menyeru manusia untuk hidup di jalan Allah. Beliau menggunakan tutur kata yang santun dan perilaku yang ramah sebagai metode dakwah. Dengan metode tersebut, dakwah Rasulullah meraih sukses. Dalam waktu relatif singkat, beliau bisa mengislamkan jazirah Arabia. Sikap inilah yang harus dicontoh oleh umat Islam saat ini.


Pujian yang tinggi dari Allah SWT terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak lekas marah kepada umatnya, yang telah dituntun dan didiknya iman mereka lebih sempurna. Dalam ayat ini Allah menegaskan sebagai pujian kepada Rasulullah bahwa sikap yang lemah lembut ialah karena ke dalam dirinya telah dimasukkan oleh Allah sifat Rahmah-Nya. Rasa rahmah, belas kasihan, cinta kasih sayang itu telah ditanamkan Allah ke dalam diri beliau, sehinggarahmah itu pulalah yang mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin.


Dakwah berangkat dari niat baik, untuk tujuan yang baik, dan semestinya dilakukan dengan cara-cara yang baik. Itulah makna sejati dakwah. Bila ada pendakwah gemar menjelek-jelekan orang atau golongan lain, mungkin perlu diingatkan lagi tentang bahasa Arab dasar bahwa dakwah artinya mengajak bukan mengejek. Sehingga, dakwah mestinya ramah bukan marah, merangkul bukan memukul.


Bersikap lemah lembut dalam dakwah bukan berarti tidak punya pendirian, apalagi bersikap toleran terhadap keburukan. Lemah lembut hanya suatu cara untuk menyampaikan kebenaran dan mendidik orang lain agar tunduk kepada kebenaran.


Maka seorang dai harus memilih cara-cara yang baik dan bermanfaat, dan harus menjauhi sikap keras dan kasar. Karena sikap keras dan kasar itu, kadang-kadang mengakibatkan kepada tertolaknya kebenaran, dan mengakibatkan kepada perselisihan yang keras serta perpecahan di antara sesama manusia. 


Tujuan dakwah yaitu menjelaskan kebenaran dan bertujuan supaya dia menerimanya dan mendapatkan faedah dari dakwah itu. Bukan tujuan dakwah yang hanya berniat menampakkan (memamerkan) keilmuan. Tujuan dari dakwah adalah menyampaikan seruan Allah dan supaya orang-orang mendapatkan manfaat dari ucapan orang yang berdakwah.


Tuntunan dakwah secara ramah juga dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa: “Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu adalah Yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS An-Nahl  [16]: 125)


Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa ada tiga metode atau cara yang dapat dilakukan para pendakwah dengan kesadaran bahwa dakwah tidak hanya disampaikan kepada umat Islam saja, tetapi juga kepada umat manusia mengingat Islam yang mempunyai prinsip Rahmatan lil ‘Alamin.


Pertama, dengan hikmah, maksudnya dengan dalil (burhan) atau hujjah yang jelas (qath‘i maupun zhanni) sehingga menampakkan kebenaran dan menghilangkan kesamaran. Kedua, dengan maw‘izhah hasanah, yaitu peringatan yang baik yang dapat menyentuh akal dan hati (perasaan).


Ketiga, dengan jadal (jidâl/mujâdalah) billati hiya ahsan, yaitu debat yang paling baik. Dari segi cara penyampaian, perdebatan itu disampaikan dengan cara yang lunak dan lembut, bukan cara yang keras dan kasar.


Dakwah ramah yang dilakukan oleh para dai juga wujud dari pengamalan ayat Al-Qur’an dalam QS Ali ‘Imran ayat 110 yang menjelaskan, kuntum khoiro ummatin ukhrijat linnas... (kamu adalah umat terbaik yang diciptakan untuk manusia...). Di sini pentingnya menyampaikan kebaikan dengan cara yang baik dan benar menurut tuntunan Nabi Muhammad.


Seorang pakar dalam bidang ilmu tasawuf KH M. Luqman Hakim (2018) mengatakan, pendakwah yang baik juga merupakan manifestasi manusia-manusia Rahmat. Bagi yang mewarisi kepribadian Rahmat, ia akan melimpahkan Rahmat itu pada sesama hingga di akhirat. Bila misi Rasululllah adalah Rahmat, maka jejak Rahmat harus menjadi pijakan umatnya. Sebab Rahmatan lil 'Alamin adalah karakter Risalah yang maujud dalam kepribadian Sang Rasululllah SAW yang mempresentasikan Rahmat Allah SWT.


Dakwah dengan penyampaian yang sejuk, lemah lembut, dan ramah terhadap realitas sosial yang ada merupakan Rahmat yang nyata ajaran Rasulullah yang berpijak pada wahyu Tuhannya. Di titik ini, para pendakwah tidak hanya dituntut mempelajari sumber-sumber ajaran Ialam, tetapi juga harus memahaminya secara komprehensif melalui berbagai disiplin ilmu yang diintegrasikan dengan karakter dan kondisi sosial masyarakat. (Fathoni Ahmad)