Tasawuf/Akhlak

Tanda Hati yang Mati, Kering, Tertutup, dan Gelap menurut Kitab Al-Hikam

Ahad, 30 Oktober 2022 | 15:00 WIB

Tanda Hati yang Mati, Kering, Tertutup, dan Gelap menurut Kitab Al-Hikam

Hati mati, kering, dan gelap.

Syekh Ali Baras di dalam Syarah Al-Hikam-nya mengibaratkan hati dan batin laksana bumi yang dapat tumbuh dan hidup, dan juga dapat kering atau mati. Sedangkan air kehidupan yang turun dari langit sir adalah makrifat dan keimanan yang akan menghidupi bumi tersebut. (Syekh Ali Baras, Syifaus Saqam wa Fathu Khaza’inil Kilam fi Ma’anil Hikam, [Beirut, Darul Hawi: 2018 M/1439 H], halaman 282).


Hati yang mati, kering, dan gelap tidak akan merasakan apapun. Hati yang mati, kering, dan gelap tidak memiliki sensitivitas spiritual. Ia tidak akan merasakan manis, pahit, asamnya spiritualitas sehingga hatinya tidak merasakan kelezatan ibadah dan kepedihan atas kesempatan ibadah yang luput.


Imam Ibnu Athaillah dalam Matan Al-Hikam-nya menyebut semua itu sebagai tanda kematian hati:


من علامات موت القلب عدم الحزن على ما فاتك من الموافقات وترك الندم على ما فعلت من وجود الزلات


Artinya, “Salah satu kematian hati adalah tidak adanya kesedihan atas kesempatan ibadah yang terlewat dan tidak adanya penyesalan atas kehilafan yang pernah dilakukan.”


Hati yang mati, kering, dan gelap tidak menganggap dosa, kekhilafan, dan kesalahan baik yang berkaitan dengan hak Allah maupun hak adami sebagai masalah serius. Hati yang mati, kering, dan gelap juga tidak akan menganggap waktu ibadah dan waktu kebaikan sebagai kesempatan emas yang harus dipenuhi sesuai haknya sehingga hati yang mati dan kering takkan menyesali kesempatan kebaikan yang berlalu.


Syekh Ibnu Ajibah menyebutkan tiga tanda kematian hati: pertama, tidak bersedih atas kesempatan ibadah yang terlewat; kedua tidak menyesali perbuatan buruk yang telah dilakukan; dan ketiga persahabatan dengan orang-orang lalai yang juga mati hatinya. (Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz I, halaman 82). 


Sahabat Abu Musa Al-Asy’ari ra meriwayatkan sebuah hadits Nabi Muhammad saw perilah perbedaan orang yang hatinya hidup, segar, dan terang; dan orang yang hatinya mati, kering, dan gelap.


قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ


Artinya, “Dari Abu Musa Al-Asy’ari ra, Rasulullah saw bersabda, ‘Siapa saja yang merasa senang oleh kebaikannya dan merasa susah oleh keburukannya, maka ia adalah orang yang beriman.’” (HR At-Thabarani).


Sahabat Abdullah bin Mas’ud ra menjelaskan bahwa orang yang hatinya mati, kering, dan gelap akan menganggap remeh dosa, kesalahan, dan kekhilafannya. Karena itu, penyesalan atas dosa dan kesalahan tidak akan pernah hinggap pada orang yang hatinya mati, kering, dan gelap.


Sahabat Abdullah bin Mas’ud ra mengatakan, “Orang yang beriman memandang dosa-dosanya seperti seorang yang sedang duduk di kaki bukit dan ia khawatir sekali sebuah batu besar menimpanya dari dari atas bukit. Sedangkan orang munafik memandang ringan dosanya seperti lalat-lalat menggangu ringan yang hinggap di hidungnya, lalu ia berkata, ‘Apa ini, enyah kau,’ seraya mengusirnya.” (Syekh Ahmad Zarruq, Syarhul Hikam, [Kairo, Syirkah Qaumiyyah: 2010 M], halaman 63).


Kematian, kekeringan, dan kegelapan ini yang merusak dan menyakitkan hati karena semua itu membuatnya jauh dari rahmat Allah dan justru mendatangkan murka-Nya. Manakah yang lebih merusak keimanan melebihi kematian dan kekeringan hati? Sedangkan penyesalan itu dapat membangkitkan seseorang untuk memperbaiki diri dan memanfaatkan kesempatan yang tersisa untuk kebaikan. (Syekh Ali Baras, 2018 M/1439 H: 282-283).


Syekh Ibnu Ajibah menganjurkan bagi para pendosa untuk tidak larut dalam memikirkan dosa yang mengurangi harapannya kepada Allah dan melahirkan buruk sangka kepada-Nya bahwa Allah tidak akan mengampuninya. (Syekh Ibnu Ajibah: I/82).


Kesedihan dan penyesalan itu cukup dimanfaatkan untuk bertobat dan memaksmalkan kesempatan ke depan yang tersisa sambil berharap ampunan Allah atas kesalahan di masa lalu. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan).