Tasawuf/Akhlak

Teladan Cara Belajar Imam Az-Zuhri

Jum, 24 Februari 2023 | 19:00 WIB

Teladan Cara Belajar Imam Az-Zuhri

Ilustrasi: Akal (via LinkedIn).

Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab Al-Madani Az-Zuhri, atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Syihab Az-Zuhri (wafat 123 H). Ia adalah guru Imam Malik bin Anas, Imam Al-Laitsi, Imam Ibnu Abi Dzi’ib, dan imam-imam lainnya dari generasi tabi’it tabi’in. Ia dijuluki al-imâm Al-‘âlim (imam yang ‘alim). Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan:
 

الزهري أحسن الناس حديثا، وأجود الناس إسنادا

 

Artinya, “Az-Zuhri adalah orang terbaik (dalam) hadits, dan orang terbaik (dalam) isnad (transmisi hadits).” (Ad-Dzahabi, Siyar A’lâmin Nubalâ’, [Beirut, Muassasah Ar-Risalah: 2001], juz V, halaman 336). 
 

Ibnu Syihab Az-Zuhri adalah ulama yang sangat terkenal kealimannya. Dalam ilmu hadits, ia dijuluki hâfidh zamânihi, orang yang hafal banyak hadits beserta jalur periwayatannya. Untuk sampai di posisi tersebut, Imam Az-Zuhri harus berjuang dan bersusah payah dalam belajar. Jika dikelompokkan, paling tidak ada dua hal penting dalam proses belajarnya.
 

Pertama, Imam Az-Zuhri sangat gemar menuntut ilmu, berkhidmah kepada ahli ilmu, dan sangat memuliakan mereka. Ia membersamai Sayyidina Sa’id bin Al-Musayyab (wafat 94 H), mahaguru para tabi’in, selama delapan tahun. Sa’id bin Al-Musayyab meriwayatkan hadits dari Sayyidina Zaid bin Tsabit, Sayyidah ‘Aisyah, Sayyidina Abdullah bin ‘Abbas, dan sahabat-sahabat nabi lainnya. Ia merupakan menantu Sayyidina Abu Hurairah, dan orang yang paling tahu tentang hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidina Abu Hurairah. (Ad-Dzahabi, Siyar, juz IV, halaman 219).
 

Imam Az-Zuhri mengatakan:
 

مست ركبتي ركبة سعيد بن المسيب ثماني سنين

 

Artinya, “Lututku menyentuh lutut (Sayyidina) Sa’id bin Al-Musayyab selama delapan tahun.” (Imam Ad-Dzahabi, Siyar, juz V, halaman 333). 
 

Ini membuktikan bahwa Imam Az-Zuhri belajar secara langsung kepada Sayyidina Sa’id bin Al-Musayyab (talaqqi), hingga lutut mereka saling menyentuh. Hal ini juga menunjukkan kedekatan dan keakrabannya dengan gurunya. Ia belajar tanpa henti selama delapan tahun lamanya.

 

Di samping itu, ia gemar berkhidmah kepada para ulama. Ia tidak berat hati jika khidmahnya tidak diketahui oleh orang lain, termasuk ulama yang dilayaninya. Imam Az-Zuhri mengatakan:
 

كنت أخدم عبيد الله بن عبد الله، حتى إن كنت أستقي له الماء المالح، وكان يقول لجاريته من بالباب؟

 

Artinya, “Aku biasa melayani (Imam) ‘Ubaidillah bin Abdullah, sekalipun mengambilkan air asin (air laut) untuknya, dan ia biasa berkata pada pelayannya, ‘siapakah yang di depan pintu?”. (Ad-Dzahabi, Siyar, juz V, halaman 333). 
 

Imam Az-Zuhri memahami bahwa ridha guru atau orang alim membawa keberkahan. Keberkahan itulah yang membuat ilmunya tidak hanya hafalan di dada dan catatan di atas kertas, tapi juga laku yang diamalkan dan disebarkan. Pantas saja jika di kemudian hari, Imam Az-Zuhri melahirkan banyak murid-murid luar biasa. Ia menjadi penanda zaman, begitu juga murid-muridnya. Darinya, mata rantai (sanad) keilmuan semakin bertumbuh dan berkembang hingga sekarang.
 

Kedua, Imam Az-Zuhri selalu mencatat semua pelajaran yang didapat dan didengarnya. Ada beberapa riwayat yang menjelaskan soal ini, bahkan tidak jarang ia ditertawakan oleh teman-temannya karena membawa suhuf (lembaran) dan alwâh (papan untuk menulis). Salah satu riwayat mengatakan: 
 

عن أبي الزناد، قال: كنت أطوف أنا والزهري ومعه الألواح والصحف فكنا نضحك به
 

Artinya, “Dari Abu Zanad, ia berkata: “Aku berkeliling bersama Az-Zuhri, dan ia membawa (semacam) papan (untuk mencatat) dan lembaran (untuk mencatat), kemudian kami menertawakannya.” (Ad-Dzahabi, Siyar, juz V, halaman 333). 
 

Cerita ini diriwayatkan oleh seorang ahli fiqih dan ahli hadits yang diakui kealiman dan ketsiqqahannya, Abu Zanad Abdullah bin Dzakwan (wafat 130 H), guru dari Imam Malik, Imam Al-Laitsi, Imam Sufyan At-Tsauri, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa ketekunan Imam Az-Zuhri melebihi teman-temannya, bahkan di saat berkeliling pun, ia tetap membawa lembaran untuk mencatat. Ia selalu bersiap menerima ilmu kapan pun dan di mana pun ia berada. Bersiap andaikan ia bertemu seorang ulama saat berkeliling, atau berpapasan di jalan.
 

Imam Abu Zanad Abdullah bin Dzakwan berkata kepada anaknya:
 

كنا نكتب الحلال والحرام، وكان ابن شهاب يكتب كلما سمع، فلما احتيج إليه، علمت أنه أعلم الناس
 

Artinya, “Kami biasa (hanya) menulis (apa yang) halal dan (apa yang) haram. Adapun Ibnu Syihab menulis semua yang didengarnya (tanpa terkecuali). Lalu, ketika (kami) membutuhkannya, aku tahu bahwa Ibnu Syihab adalah orang paling ‘alim.” (Ad-Dzahabi, Siyar, juz V, halaman 333). 
 

Imam Az-Zuhri mencatat semua pelajaran yang diberikan, tanpa memilih ‘mana yang penting’ dan ‘mana yang tidak’. Itulah yang membuat Imam Abu Zanad mengakui bahwa Ibnu Syihab Az-Zuhri adalah orang yang paling alim di kalangan manusia. Namun, perlu diketahui juga, bahwa kebiasaan mencatat Imam al-Zuhri bukan karena daya hafalnya yang lemah, tidak. Imam Az-Zuhri terkenal memiliki hafalan yang luar biasa tajam. Imam Ibnu al-Mulaqqin menulis di kitabnya:
 

ومن حفظ الزهري أنه حفظ القرآن في ثمانين ليلة
 

Artinya, “(Salah satu bukti kuatnya) hafalan Az-Zuhri adalah, ia menghafal Al-Qur’an dalam (waktu) delapan puluh malam.” (Imam Ibnu Mulaqqin, Al-I’lâm bi Fawâid ‘Umdatil Ahkâm, [Riyadh, Darul ‘Ashamah], juz VIII, halaman 381). 
 

Meski demikian, ia tetap mencatat semua pelajaran yang ia dapatkan, sebagai bentuk kehati-hatian. Sebab, secerdas dan setajam apapun otak manusia, peluang lupa selalu ada. Imam Az-Zuhri yang secerdas itu, hafal Al-Qur’an dalam waktu delapan puluh malam, masih mencatat dan mempelajari catatannya. Ini menunjukkan kehati-hatiannya dalam menjaga ilmu. Ia pernah mengatakan:
 

 ما استودعت قلبي شيئاً قط فنسيته
 

Artinya, “Aku tidak pernah mempercayakan hatiku (dengan) sesuatu yang (mungkin) aku melupakannya.” (Ibnu Mulaqqin, Al-I’lâm, juz VIII, halaman 381). 
 

Kemungkinan lupa itulah yang dijaganya. Jika ia memiliki catatan tentang itu, ia bisa melakukan lintas pengamanan dan penjagaan. Satu sama lain saling menjaga, hafalannya yang kuat dijaga oleh catatannya, dan catatannya yang lengkap dijaga oleh hafalannya. Begitulah cara Imam al-Zuhri belajar dan menuntut ilmu. Sebuah keteladanan yang patut diamalkan. Wallahu a’lam bish shawwab.

 


Ustadz Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.