Tasawuf/Akhlak

Warga Sipil dan Etika Perang dalam Islam

Jum, 24 November 2023 | 08:00 WIB

Warga Sipil dan Etika Perang dalam Islam

Ilustrasi. (Foto: NU Online/Freepik)

Menilik sejarah, adanya konflik dan peperangan sebenarnya sudah dimulai sejak adanya dunia ini dan akan terjadi terus selama masih ada manusia di muka bumi ini. Dalam Al-Qur’an sendiri dijelaskan bahwa peperangan adalah hal yang sulit dihindari dan dilegalkan jika bertujuan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh.

 

Walaupun peperangan diperbolehkan dalam Islam dengan ketentuan-ketentuan tersendiri, namun hakikatnya umat Islam dididik untuk tidak berperang dan memang benci dengan peperangan. Hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 216 yang artinya: “Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci,”

 

Jika pun terjadi perang, Islam sebagai agama keselamatan, tidak begitu saja membiarkan peperangan terjadi tanpa etika dan tanpa batas. Ada perhatian khusus pada warga sipil dan non-kombatan yang harus dibedakan guna melindungi mereka sehingga tidak terkena sasaran serangan.

 

Prinsip pembedaan kombatan dan warga sipil ini telah termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 190: 

 

وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ 

 

Artinya: ”Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu dan jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

 

Dalam Tafsir al-Qurthûbî dijelaskan bahwa Ibnu ʻAbbâs, ʻUmar bin ʻAbdul ʻAzîz, dan Mujâhid  menafsirkan ayat ini sebagai: “Perangilah orang yang dalam keadaan sedang memerangimu, dan jangan melampaui batas sehingga membunuh perempuan, anak-anak, tokoh agama, dan semisalnya.”

 

Atas dasar inilah maka seyogianya segala bentuk pertempuran hanya terjadi di kalangan dan dibatasi untuk kombatan (tentara) yang memang bertugas untuk berperang. Adapun warga sipil dan non-kombatan serta objek-objek dan fasilitas sipil harus dilindungi dari ekses destruktif yang ditimbulkan dari peperangan atau konflik bersenjata.

 

Prinsip pembedaan inilah yang kemudian diimplementasikan oleh Nabi yang melarang membunuh warga sipil yang tidak ikut andil dalam suatu peperangan. 

 

Beberapa teks hadits memerinci warga sipil dan non-kombatan yang harus dilindungi dari segala bentuk ekses operasi militer, serangan membabi buta, pembalasan dendam, dan tidak dijadikan objek serangan atau dijadikan sebagai perisai dari serangan militer. Antara lain adalah wanita dan anak-anak, para ‘asîf (pelayan bayaran), para manula atau lansia, para agamawan dan rohaniwan, serta tawanan perang.

 

Prinsip Nabi ini sudah ada lebih dulu sebelum adanya hukum perang positif yang dikenal dengan Hukum Humaniter Internasional (HHI) sebagaimana termaktub dalam konvensi Jenewa1864 yang mengalami penyempurnaan melalui konvensi Jenewa 1949 berkenaan dengan perlindungan korban perang. Dalam HHI dikenal adanya prinsip pembedaan (principle of distiction) yang terlibat dalam sengketa bersenjata harus membedakan antara peserta tempur (tentara/kombatan) dengan orang sipil.

 

Penjelasan ini semakin memastikan bahwa Islam menjamin keselamatan dan perlindungan warga sipil dan non-kombatan serta fasilitas atau objek sipil yang tidak boleh dijadikan sasaran perang. Jaminan ini berlandaskan prinsip- prinsip dasar dalam Islam sebagaimana disebutkan dalam Buku Damai Bersama Al-Qur’an: Meluruskan Kesalahpahaman seputar Konsep Perang dan Jihad dalam Al-Quran (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2018).

 

Prinsip tersebut meliputi pertama, tujuan pokok dari ajaran Islam (maqâshid syarîʻah) adalah menjaga dan memelihara hak-hak manusia yang paling mendasar, khususnya hak hidup, hak beragama, hak memelihara akal, keluarga, dan kepemilikan. Tidaklah aneh karenanya bila Islam mengecam berbagai bentuk tindak kekerasan dan kezaliman kepada orang atau kelompok lain. Sampai-sampai Islam menganggap kezaliman kepada seorang manusia sama dengan melakukan kezaliman kepada umat manusia secara keseluruhan. Sesungguhnya Islam memandang kehidupan dan nyawa manusia sebagai sesuatu yang suci yang menjadi tanda komitmen yang teguh untuk menjamin hak asasi manusia. 

 

Lebih dari itu, dalam pandangan Islam setiap individu manusia merupakan personifikasi dari kemanusiaan yang dimuliakan oleh Allah. Kemanusiaan yang sangat dihormati dan dijaga oleh Islam ini terefleksi dari bagaimana setiap manusia diperintahkan untuk menghormati manusia yang lain: kebebasannya, kehormatannya, dan hak-hak kemanusiaan lainnya.

 

Kedua, prinsip pembedaan (principle of distinction) antara warga sipil dan pejuang (militer). Walaupun peperangan diizinkan dalam Islam untuk tujuan-tujuan yang legal, tetapi di dalamnya terkandung ancaman untuk tidak melampaui batas-batas diperbolehkannya peperangan, termasuk di antaranya membunuh warga sipil yang tidak berdosa dan memporak-porandakan fasilitas-fasilitas mereka, seperti rumah sakit, sekolah, dan sejenisnya. 

 

Ketiga, prinsip fitrah dasar manusia adalah keadaan tidak bersalah secara moral (moral innocence), yakni bebas dari dosa. Dengan kata lain, Islam tidak mengenal istilah “dosa bawaan” atau “dosa turunan”. Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya dan tidak dapat membebankannya ke pundak orang lain. Sehingga, membunuh warga sipil yang tidak berdosa termasuk tindakan yang tidak direstui oleh Islam. 

 

Akhlak dan etika merupakan salah satu elemen penting dalam Islam. Tidak ada suatu aktivitas pun dalam Islam yang keluar dan dapat dipisahkan dari akhlak, termasuk dalam berperang. Penyempurnaan akhlak adalah misi utama Nabi Muhammad sehingga Allah menjadikannya sebagai contoh yang sempurna.

 

Oleh karena itu, setiap muslim harus selalu berusaha menjadikan Nabi sebagai teladan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam mengikuti etika, batasan, dan aturan tertentu dalam melaksanakan perang.

 

Kegagalan pihak lain untuk melakukan keadilan atau tidak mengindahkan kesepakatan internasional dalam pelaksanaan etika perang tidak dapat dijadikan alasan bagi Muslim untuk melakukan hal yang sama. Dalam Islam tidak dikenal istilah “menghalalkan segala cara”. Suatu tujuan yang baik dan mulia tidak boleh dicapai melalui cara yang buruk. “Allah itu baik dan tidak menerima selain yang baik.”.  Wallāhu a‘lam.

 

H Muhammad Faizin, Sekretaris PCNU Pringsewu, Lampung